Koran Sulindo – Peneliti dari Pusat Studi Pancasila Universitas Gajah Mada (UGM), Sutaryo menegaskan, Indonesia memang sedang mengalami krisis keteladanan, yang sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam menghadapi serangan globalisme. Terlebih, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia dianggap telah melenceng jauh sudah tidak sesuai dengan filosofi kenegaraan yang dibangun para pendiri bangsa.
“Yang pantas untuk menghadang segara serangan faham baik kanan maupun kiri, itu hanya Pancasila. Sayangnya bangsa ini lebih senang mengadopsi tradisi dari bangsa asing,” ujarnya di Yogjakarta, Rabu (19/10).
Menurut Sutaryo, sejak reformasi Pancasila tidak lagi mendapat tempat yang layak, baik dalam dunia pendidikan maupun lini-lini sosial. Akibatnya, aneka paham masuk tanpa kendali yang kemudian memberangus rasa nasionalisme itu sendiri.
Menyoal, bahwa sosialisasi Pancasila secara masif kepada masyarakat seperti program penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dianggap program rezim Orba yang harus ditinggalkan.
“Padahal bukan itu. P4 tetap dibutuhkan, tetapi konsepnya diubah dan. dilepaskan dari kepentingan golongan dan praktik politik,” tegasnya.
Menurutnya, dalam ketatanegaraan, masih banyak produk undang-undang yang sesungguhnya bertentangan dengan Pancasila. Contohnya, Undang-undang tentang Minerba, yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45 dan masih banyak lagi.
“Inilah muara dari kelalaian bangsa ini pada ideologi negara,” tuturnya.
Dia melanjutkan, masyarakat yang hanya jadi “pengikut” dari kebijakan stakeholders termasuk pada anggota DPR yang melahirkan undang-undang, hanya menjadi korban dari salah arah ideologis.
Sejatinya, guna mengembalikan roh Pancasila ke dalam negara dan bangsa, memang dibutuhkan upaya masif, termasuk para politikus. Mengingat, sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan undang-undang dan. produk-produk politik yakni para anggota DPR/DPRD yang menjadi ujung tombak perubahan tata negara, khususnya implementasi Pancasila dari seluruh produk perundang-undangan di Indonesia.
Sementara, guru besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sekaligus aktivis Muhammadiyah, Chamamah Soeratno menegaskan, Pancasila adalah identitas Keindonesiaan. Agama di Indonesia tetap berjalan berdasar Pancasila, dan keduanya tidak saling bertentangan. Karena itu, ujarnya, nilai Pancasila pun tertuang dalam pengamalan keagamaan. Namun, tidak dipungkiri bahwa pragmatisme sebagai dampak dari derasnya pengaruh asing, telah mendegradasi nilai-nilai yang seharusnya melekat erat antara agama dan Pancasila. Sehingga basis-basis keagamaan dijadikan dalil untuk memperoleh keuntungan pragmatis.
Isu SARA
Ketua Presidium Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Rebuplik Indonesia (PMKRI) Angelo Wako Kako menyatakan, perbedaan atau kebhinekaan yang ada di Indonesia merupakan sumber kekuatan bangsa dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam negara Pancasila. Karenanya, isu seputar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam konteks apa pun sudah tidak pantas diperdebatkan.
“Apalagi, jika diperuncing kepadahal-hal yang menjurus kepada perpecahan sesama anak bangsa. Konsensus kebangsaan kita sudah jelas bahwa kebhinekaan menjadi sumber kekuatan kita untuk mewujudkan persatuan Indonesia dalam negara Pancasila,” ujar Angelo.
Menurut dia, seseorang tidak boleh mengaku orang Indonesia kalau masih mempersoalkan masalah SARA. Angelo menyesali fenomena akhir-akhir ini, dimana isu SARA banyak dimainkan untuk kepentingan politik. “Kita semua tentu tidak pernah meminta harus terlahir menjadi orang suku A atau B. Itu adalah realitas terberi, yang tidak bisa kita tolak,” ujarnya.
Angelo menambahkan, hal yang patut dilakukan adalah saling menghargai perbedaan dengan tidak terlalu jauh masuk dalam urusan yang bukan wilayah kita. Apalagi, jika kita masuk ke dalam wilayah SARA, khususnya agama orang lain, karena agama merupakan ruang privat.
“Kita mesti belajar banyak dari para pendiri bangsa ini, terutama cara mereka meletakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu ataupun komunal,” pungkasnya. (CHA/DAS)