Koran Sulindo – Pengaruh kampanye Amerika Serikat (AS) soal Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) nampaknya sangat mempengaruhi pemerintah. Pasalnya, setelah kampanye itu, pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla berkali-kali menyampaikan keinginannya agar Indonesia masuk dalam skema TPP.
Kali ini keluar dari mulut Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang menyampaikan keinginan Indonesia untuk masuk TPP dalam lawatannya ke Jepang pada pekan lalu. Kepada Wakil Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang Takumi Ihara, Airlangga membocorkan rencana pemerintah itu.
“Saya juga ketemu Ketua Liga Parlemen Indonesia-Jepang Toshihiro Nikai dari Liberal Democratic Party (LDP). Partai itu bahkan akan menyiapkan tim khusus untuk membantu Indonesia mempersiapkan diri bergabung ke TPP,” kata Airlangga dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (18/10).
Akan tetapi, pemerintah selama ini tidak pernah sekalipun menjelaskan secara lengkap apa itu TPP. Seolah-olah TPP akan memberi manfaat yang besar bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
TPP merupakan model kesepakatan kerja sama perdagangan yang memiliki standar paling tinggi saat ini, karena memuat poin-poin yang lebih liberal dibandingkan skema Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Karena itu, TPP juga kemudian disebut sebagai “WTO plus”.
Hal-hal yang diatur dalam TPP seperti Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), Kebijakan Kompetisi (Competition Policy) dan Belanja Pemerintah (Government Procurement) serta fasilitas perdagangan hingga poin perselisihan negara dan investor (Investment-State Disputed Settlement).
Sebelumnya, AS juga sangat agresif dalam mengkampanyekan skema perjanjian perdagangan seperti Perjanjian TPP melalui OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development). Skema perdagangan bebas ini sesungguhnya sudah didesain sejak Maret 2010. Tujuannya membuat perjanjian perdagangan bebas yang terikat secara hukum untuk kawasan Asia Pasifik.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu menolak terlibat dalam skema TPP karena merasa belum siap mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan. Lewat TPP setiap negara anggota diharuskan mengikuti standar yang sudah ditetapkan berdasarkan kepentingan negara-negara pendiri. Ini berarti memberi jalan bagi perusahaan asing bahkan boleh terlibat dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya mencapai miliaran dolar AS.
TPP juga menetapkan aturan non-diskriminasi bagi perusahaan asing. Artinya setiap perusahaan dan negara dianggap memiliki posisi setara tanpa mempedulikan kapasitasnya. Ini sungguh hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar asing dari AS karena hanya berlomba dengan perusahaan teri dari negara seperti Indonesia. Karena itu, sekitar 250 juta penduduk Indonesia hanya akan menjadi pasar menggiurkan bagi perusahaan asing.
6 Skema TPP
Dalam skema TPP setidaknya ada enam poin yang mengemuka yaitu, pertama, mensubordinasikan kebijakan kesehatan dan obat-obatan negeri-negeri di bawah permintaan perusahaan farmasi raksasa milik AS, termasuk memperluas hak paten, agar perusahaan raksasa tersebut dapat menarik harga yang lebih tinggi dalam jangka waktu yang lama, dan menghapuskan kontrol negara terhadap harga obat-obatan.
Selanjutnya, mewajibkan seluruh pemerintahan untuk bersikap terbuka terhadap perusahaan AS – tidak ada konten lokal atau kebijakan pelatihan lokal. Lalu, mewajibkan semua kebijakan media yang mendukung konten budaya lokal harus dihapuskan sehingga sepenuhnya didominasi korporasi media AS. Kemudian, untuk memaksakan hukum tentang hak cipta AS kepada semua negara-negara lain – hak cipta diperpanjang sehingga pembayaran royalti yang sangat menguntungkan perusahaan AS.
Kemudian, membuat penyedia layanan internet dapat dipidanakan, bertanggung jawab atas pembajakan hak cipta pada jaringan mereka. Terakhir, untuk menuntut akses bebas tarif untuk ekspor AS ke semua pasar, sementara membatasi akses ke pasar AS.
Selain AS, keanggotan TPP terdiri atas Kanada, Australia, Jepang, Selandia Baru, Meksiko, Cile, Peru, dan 4 negara Asia Tenggara: Malaysia, Singapura, Brunei dan Vietnam. (KRG)