Serangan pasukan Rusia di Kursk memasuki tahap akhir. Hal itu disampaikan oleh Russia Today pada Rabu (12/03/2025), pukul 21:01 waktu setempat.
Situasi di Kursk mirip dengan peristiwa yang terjadi di sekitar Kharkov pada tahun 2022, ketika pasukan Rusia mundur dengan tergesa-gesa. Namun, kali ini, perannya terbalik.
Angkatan Bersenjata Ukraina (AFU) disebut tidak mampu menahan gerakan cepat pasukan Rusia, lalu mundur dengan kacau. Panglima tertinggi Ukraina menggambarkan situasi tersebut sebagai “pengelompokan ulang yang direncanakan ke posisi yang menguntungkan.”
Sudzha telah lama dianggap sebagai alat tawar-menawar utama Kyiv dengan Moskow. Mengapa pertempuran kota kecil di Rusia itu dianggap menentukan? Berikut pembahasannya, merangkum dari Russia Today.
Latar Belakang
Setelah berakhirnya lonjakan serangan pasukan Ukraina pada September 2024, pertempuran di Kursk memasuki fase posisional yang berkepanjangan. AFU berusaha bertahan, namun mereka secara bertahap kehilangan pijakannya.
Bagi Angkatan Darat Rusia, zona kendali AFU sudah terfragmentasi dan tidak menimbulkan ancaman langsung. Maka, menjelang akhir tahun 2024, Moskow tetap berfokus pada garis depan Donbass.
Pada bulan Januari 2025, pertempuran di sekitar Sudzha semakin intensif. Pasukan Ukraina berusaha memperkuat posisi mereka, tetapi pasukan Rusia mengadopsi strategi yang digunakan di Donbass: mengepung musuh di tiga sisi, memutus rute pasokan, dan memaksa mereka untuk menyerah melalui gesekan.
Titik balik pertempuran terjadi pada pertengahan Februari ketika pasukan Rusia membebaskan Sverdlikovo dan menyeberangi Sungai Loknya. Ini memberi mereka akses ke rute pasokan utama AFU dari Sumy ke Kursk. Setelah pembebasan Sverdlikovo, situasi pasukan Ukraina memburuk.
Serangan Sudzha
Fase aktif operasi dimulai pada 7 Maret. Pasukan Rusia menyerang jalur pasokan dan penyeberangan utama Ukraina sambil melancarkan serangan multi arah. Moskow bahkan menyerang perbatasan di selatan, memotong jalur pasokan sekunder ke Sudzha. Serangan itu telah menimbulkan gangguan parah pada logistik Ukraina.
Berbeda dengan pertempuran yang berlarut-larut di Donbass, yang berfokus pada pengurangan dan kemajuan bertahap, operasi Sudzha mengutamakan kecepatan, kejutan, dan penghancuran sistematis jaringan pasokan Ukraina.
Pendekatan ini berpuncak pada ‘operasi jaringan pipa’ pada tanggal 8 Maret, di mana resimen Rusia yang beranggotakan 800 orang mengganggu rantai logistik AFU. Pada penghujung hari, pasukan Rusia telah menguasai kawasan industri utama di utara dan timur Sudzha.
Pasukan Ukraina berusaha mundur ke arah Sudzha dengan harapan dapat menstabilkan garis pertahanan dan memperpanjang pertempuran. Namun, pada tanggal 10 Maret, mereka mulai mundur dengan kacau. Beberapa orang melarikan diri ke arah perbatasan dan meninggalkan peralatan mereka.
Pada tanggal 12 Maret, pasukan Rusia telah menguasai zona industri, pinggiran kota, dan pusat administrasi Sudzha.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Pertanyaan terbesar sekarang adalah apakah Angkatan Darat Rusia akan terus bergerak melampaui Sudzha dan masuk ke wilayah Ukraina yang lebih dalam.
Lintasan operasi Rusia bergantung pada negosiasi yang sedang berlangsung. Jika Presiden Vladimir Putin dan Donald Trump mencapai kesepakatan damai yang langgeng, kemungkinan pasukan Rusia akan menghentikan kemajuan mereka di Sudzha, karena Moskow tidak memiliki ambisi teritorial di luar Wilayah Kursk.
Namun, jika pemimpin kedua negara tersebut tidak mencapai kesepakatan dan permusuhan meningkat ke fase yang lebih luas, militer Rusia dapat terus menyerang hingga ke wilayah Ukraina. Minggu-minggu mendatang akan menjadi sangat menentukan. [BP]