Saat ini, menonton film sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dari layar ponsel hingga bioskop modern, kita bisa menikmati berbagai tontonan dengan kualitas visual yang semakin canggih. Namun, sebelum revolusi digital mengambil alih industri sinema, ada masa ketika film seluloid 35mm menjadi standar emas dalam perfilman. Teknologi ini bukan hanya medium rekaman, tetapi juga saksi perjalanan panjang sejarah sinema dunia.
Untuk merayakan warisan sinematik ini, setiap tanggal 5 Maret diperingati sebagai Reel Film Day, sebuah hari yang didedikasikan bagi film 35mm dan upaya pelestariannya. Bukan sekadar nostalgia, perayaan ini mengingatkan kita akan keindahan serta keunikan film analog yang masih memiliki tempat tersendiri di hati para sineas dan pecinta film. Bagaimana sejarah di balik Reel Film Day? Dan bagaimana perjalanan format 35mm dalam industri film, termasuk di Indonesia? Mari kita telusuri lebih dalam.
Mengutip laman National Today, setiap tanggal 5 Maret, pecinta film di Amerika Serikat merayakan Reel Film Day, sebuah hari khusus yang didedikasikan untuk mengenang dan melestarikan film 35mm. Perayaan ini diramaikan dengan berbagai acara, mulai dari pemutaran film di bioskop independen, pameran sinema, peluncuran trailer, hingga pesta dan ajang sosial lainnya yang melibatkan para insan perfilman. Tidak hanya itu, para penggemar film juga turut meramaikan hari ini dengan menonton film klasik favorit mereka atau mengikuti berita terkini dari dunia perfilman.
Sejarah Reel Film Day
Penemuan film 35mm tidak lepas dari peran para insinyur, teknisi, dan pembuat film yang berkontribusi dalam pengembangan teknologi sinema. Thomas Edison merupakan sosok penting dalam sejarah ini karena berhasil menciptakan kamera dan proyektor yang mampu merekam film dengan lebar 35mm. Inovasi ini semakin berkembang dengan kontribusi George Eastman, pendiri Eastman Kodak Company, yang memproduksi rol film yang menjadi standar dalam industri perfilman.
Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, dunia perfilman mulai beralih ke format digital. Pada tahun 2002, Disney, Paramount, Sony Pictures Entertainment, Universal, dan Warner Bros. Studios bersatu membentuk Digital Cinema Initiative (DCI) guna memastikan kualitas dan standar produksi film digital. Meskipun demikian, film 35mm tetap memiliki tempat tersendiri bagi para sineas dan penggemar film klasik. Untuk itulah, pada 5 Maret 2017, Kodak dan Alamo Drafthouse mencetuskan Reel Film Day sebagai penghormatan bagi film 35mm dan upaya pelestariannya. Sebagian hasil dari perayaan perdana ini bahkan disumbangkan ke Film Foundation guna mendukung restorasi film klasik.
Sejarah Bioskop di Indonesia
Sementara itu, perkembangan dunia sinema di Indonesia juga memiliki sejarah yang panjang. Bioskop pertama di Indonesia didirikan pada Desember 1900 di Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Pada masa itu, bioskop masih berbentuk bangunan sederhana dengan dinding dari anyaman bambu dan atap seng. Salah satu bioskop keliling yang terkenal adalah Talbot, yang membawa film ke berbagai kota di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, industri bioskop di Indonesia semakin berkembang dengan munculnya berbagai bioskop tetap seperti Jules Francois de Calonne yang berlokasi di Deca Park, Elite di Pintu Air, Rex di Kramat Bunder, Astoria, Capitol di Pintu Air, Rialto di Senen, serta banyak lagi yang bermunculan setelah tahun 1940-an. Film yang ditayangkan pada masa itu masih berupa film bisu yang diiringi musik orkes, meskipun sering kali tidak sinkron dengan adegan dalam film.
Pada tahun 1951, bioskop Metropole di Jakarta diresmikan dengan kapasitas 1.700 kursi dan teknologi ventilasi modern. Kemudian pada tahun 1955, bioskop Indra di Yogyakarta mulai mengembangkan konsep bioskop yang terintegrasi dengan toko dan restoran.
Memasuki era Orde Baru, industri perfilman nasional mengalami masa keemasan dengan meningkatnya jumlah produksi film serta perkembangan infrastruktur bioskop. Pada tahun 1990-an, Indonesia mencapai puncak kejayaan perfilman dengan total 112 judul film nasional yang diproduksi dalam satu dekade. Selain itu, konsep bioskop sinepleks mulai marak sejak tahun 1987, dengan banyaknya bioskop yang dibangun di pusat perbelanjaan dan mal, menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat urban.
Film pertama yang ditayangkan di bioskop Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng, sebuah film lokal yang diproduksi oleh NV Java Film Company pada tahun 1926. Film ini menjadi tonggak awal perkembangan industri film nasional yang terus bertumbuh hingga saat ini.
Di tengah dominasi teknologi digital dalam dunia perfilman, Reel Film Day mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan film 35mm sebagai bagian dari sejarah budaya dan hiburan. Film klasik yang diabadikan dalam format ini menyimpan nilai artistik dan estetika yang berbeda dibandingkan produksi digital. Oleh karena itu, upaya restorasi film menjadi langkah penting agar generasi mendatang tetap dapat menikmati keindahan sinema masa lalu.
Bagi para pecinta film, Reel Film Day bukan sekadar perayaan tahunan, tetapi juga momen refleksi akan perjalanan panjang dunia perfilman. Baik di Amerika maupun Indonesia, sejarah sinema terus berkembang seiring waktu, tetapi film 35mm tetap memiliki tempat istimewa di hati para penikmatnya. [UN]