Jagat media sosial belakangan ini dihebohkan dengan larangan sementara terhadap lagu Bayar Bayar Bayar milik band punk rock Sukatani. Lagu yang secara gamblang menyinggung praktik pungutan liar ini sempat dilarang oleh kepolisian sebelum akhirnya kembali diizinkan untuk diputar dan dibawakan secara bebas. Larangan ini justru menimbulkan reaksi publik yang membela kebebasan berekspresi dalam bermusik.
Berikut cuplikan lirik lagu Bayar Bayar Bayar yang menjadi sorotan:
Bayar Bayar Bayar
Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau bikin gigs bayar polisi
Lapor barang hilang bayar polisi
Masuk ke penjara bayar polisi
Keluar penjara bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau korupsi bayar polisi
Mau gusur rumah bayar polisi
Mau babat hutan bayar polisi
Mau jadi polisi bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi.
Lirik lagu ini secara eksplisit mengkritik praktik yang kerap dikaitkan dengan institusi kepolisian. Meski sempat dilarang, belakangan Polda Jawa Tengah akhirnya mengizinkan lagu ini untuk kembali diedarkan dan dibawakan secara bebas oleh Sukatani.
Namun, fenomena pelarangan lagu di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Mengutip berbagai sumber, ternyata sudah ada beberapa lagu yang sempat dicekal karena dianggap berpotensi mengganggu stabilitas nasional atau tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
Lagu-Lagu yang Pernah Dilarang di Indonesia
1. Mimpi di Siang Bolong – Doel Sumbang
Dirilis pada era 1970-an, lagu ini dengan cepat menjadi hits di kalangan anak muda Indonesia saat itu. Lagu ini pernah menjadi subjek kontroversi dan dilarang diputar di era Orde Baru.
Lagu Mimpi di Siang Bolong mengandung kritik terhadap pemerintahan Soeharto yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Komponen musik dan liriknya dianggap provokatif serta berpotensi untuk membangkitkan opini publik yang negatif terhadap pemerintah.
Meski judul lagunya tampak santai, namun isi lagu sebenarnya adalah mengkritik koruptif dan manipulatif elit politik yang dominan pada era Orde Baru.
2. Gossip Jalanan – Slank
Lagu ini masuk ke dalam album ke-13 Slank yang bertajuk Plur. Album ini dirilis pada tahun 2004. Mirip dengan lagu Mimpi di Siang Bolong, lagu Gossip Jalanan mengkritik perilaku korupsi dan manipulatif yang umum dialami oleh elite politis dan pejabat pada era Orde Baru.
Liriknya menggambarkan mafia polisi, mafia pemilu, tentara yang menjadi pengawal pribadi, serta mafia narkoba yang beroperasi dengan bebas. Oleh karenanya, lagu ini sempat dilarang beredar karena dianggap mengganggu stabilitas nasional.
3. Surat untuk Wakil Rakyat – Iwan Fals
Masih di era Orde Baru, hal yang sama juga terjadi pada Iwan Fals. Lagu yang dirilis pada tahun 1987 ini masuk ke dalam album berjudul Wakil Rakyat.
Lewat lagu ini, Iwan Fals mengungkapkan kekecewaannya terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, seperti kebiasaan tidur saat sidang dan kurangnya perhatian terhadap aspirasi rakyat.
Karena liriknya yang dianggap menghina dan mengkritik kinerja DPR, lagu ini akhirnya sempat dilarang tayang di media dan televisi karena mengganggu stabilitas politik saat itu.
4. Pak Tua – Elpamas
Elpamas merupakan band rock asal Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur yang berdiri tahun 1983. Meski dinyanyikan oleh Elpamas, lagu ini sebenarnya ditulis oleh Iwan Fals.
Lagu yang merupakan bagian dalam album Tato (1991) ini mengisahkan sosok seorang pemimpin yang sudah tua dan rapuh, namun masih berusaha mempertahankan jabatannya.
Liriknya dibuat terkesan komikal, di mana sang tokoh utama dalam lirik tersebut seolah-olah sedang mempertanyakan sosok Pak Tua dan siap untuk menggantikan posisinya.
Banyak pihak yang beranggapan bahwa lagu ini merupakan sindiran langsung kepada Presiden Soeharto yang saat itu masih berkuasa.
Karena liriknya yang dianggap provokatif dan membuat pemerintah merasa terancam, lagu Pak Tua akhirnya dilarang diputar di radio. Bukan hanya itu, video klip band Elpamas juga dilarang ditampilkan di televisi nasional maupun swasta.
5. Hati yang Luka – Betharia Sonata
Lagu Hati yang Luka bercerita tentang kehidupan pernikahan yang diwarnai dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Meskipun tidak ada satupun lirik yang menyindir atau berkaitan dengan pemerintahan, lagu ini tetap dilarang diputar dan ditayangkan di televisi pada era Orde Baru karena dianggap sebagai lagu “cengeng”.
Pada acara perayaan ulang tahun TVRI ke-26 tanggal 24 Agustus 1988, Harmoko selaku Menteri Penerangan saat itu dengan tegas meminta untuk menghentikan pemutaran lagu-lagu cengeng seperti Hati yang Luka.
Harmoko menganggap bahwa lagu itu memuat lirik yang tidak sesuai kenyataan dan tidak positif bagi masyarakat.
Lagu-lagu cengeng juga dianggap tidak bisa menumbuhkan semangat kerja sehingga mengakibatkan pembangunan suatu negara tidak akan berhasil untuk diwujudkan.
Bukan hanya lagu Hati yang Luka, lagu cengeng lainnya seperti Gelas-Gelas Kaca dari Nia Daniaty juga turut dilarang.
Larangan Musik dan Kebebasan Berekspresi
Kasus pelarangan lagu Bayar Bayar Bayar oleh Sukatani menunjukkan bahwa hingga saat ini, musik masih bisa menjadi subjek sensor, terutama jika liriknya dianggap sensitif oleh pihak berwenang. Padahal, musik sering kali menjadi medium bagi masyarakat untuk menyampaikan kritik sosial dengan cara yang kreatif.
Jika menilik sejarah, larangan-larangan terhadap lagu di Indonesia umumnya berkaitan dengan dua hal utama: kritik terhadap pemerintah dan isu moralitas. Pada era Orde Baru, lagu-lagu yang menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan sering kali mendapat tekanan atau bahkan larangan total. Kini, meski reformasi telah membawa kebebasan yang lebih besar, nyatanya beberapa musisi masih menghadapi hambatan dalam menyuarakan kritik lewat musik.
Kisah Sukatani bisa menjadi pengingat bahwa musik bukan sekadar hiburan, tetapi juga alat untuk menyampaikan pesan sosial yang penting. Larangan terhadap sebuah lagu sering kali justru membuatnya semakin populer dan mendorong masyarakat untuk mempertanyakan kebijakan yang ada. [UN]