Suku Himba (Foto: Trevor Cole/Atlas Of Humanity)

Bayangkan hidup di tengah gurun yang tandus, di mana air begitu langka hingga mandi pun bukan pilihan. Tapi bagi suku Himba, ini bukan sekadar soal bertahan hidup—ini tentang menjaga warisan, identitas, dan hubungan yang erat dengan alam.

Dengan kulit berbalut pasta merah khas, mereka menjalani keseharian yang jauh dari hiruk-pikuk dunia modern, tetap setia pada tradisi yang diwariskan turun-temurun. Bagaimana mereka menjaga keseimbangan antara adat dan perubahan zaman? Mari kita telusuri kisah mereka lebih dalam.

Keunikan Suku Himba

Melansir laman Atlas Of Humanity, Suku Himba, atau Ovahimba, adalah masyarakat adat yang tinggal di Namibia utara, khususnya di Wilayah Kunene (sebelumnya Kaokoland) serta di seberang Sungai Kunene di Angola. Mereka adalah masyarakat semi-nomaden yang menggembala ternak dan memiliki budaya yang khas serta unik dibandingkan suku Herero, dengan bahasa Otji-Himba yang berasal dari keluarga Bantu di Niger-Kongo.

Salah satu ciri khas suku Himba adalah penggunaan pasta otjize, campuran lemak mentega, tanah liat dan pigmen oker merah, yang dioleskan ke seluruh tubuh mereka. Selain sebagai kosmetik kecantikan, otjize berfungsi untuk menjaga kebersihan kulit akibat kelangkaan air serta melindungi tubuh dari iklim panas dan gigitan serangga. Warna merah dari otjize melambangkan bumi yang kaya dan darah sebagai esensi kehidupan, menjadikannya simbol kecantikan yang diidamkan oleh masyarakat Himba.

Sejarah Suku Himba

Pemukiman pertama suku Himba dapat ditelusuri hingga abad ke-16 ketika mereka bermigrasi dari Angola ke wilayah Kaokoland, yang kini dikenal sebagai Wilayah Kunene. Pada akhir abad ke-19, wabah penyakit menyerang ternak yang menjadi sumber kehidupan mereka, menyebabkan perpecahan dengan suku Herero yang memilih berpindah ke wilayah lain. Suku Himba yang tetap bertahan di tanah asalnya akhirnya membentuk identitas sendiri.

Namun, penderitaan mereka tidak berhenti di situ. Pada tahun 1904, mereka menjadi korban genosida yang dilakukan oleh otoritas kolonial Jerman di bawah pimpinan Lothar von Trotha, menambah tantangan dalam mempertahankan eksistensi mereka.

Suku Himba menggantungkan hidup pada peternakan domba dan kambing berekor gemuk, serta ternak sapi yang menjadi simbol kekayaan. Selain itu, mereka menanam tanaman pangan seperti jagung dan millet. Makanan utama mereka meliputi susu, daging, tepung jagung, herba liar, dan madu. Hanya dalam keadaan tertentu, ternak dijual untuk mendapatkan uang tunai.

Sebagian kecil pendapatan juga diperoleh dari pekerjaan di konservasi, pensiun hari tua, serta bantuan kekeringan dari pemerintah Namibia. Pekerjaan nonpertanian hanya memainkan peran kecil dalam mata pencaharian mereka.

Peran Gender dalam Masyarakat Himba

Perempuan dan anak perempuan bertanggung jawab atas sebagian besar pekerjaan berat, seperti membawa air, membangun dan merawat rumah, mengumpulkan kayu bakar, memasak, serta memerah susu ternak. Mereka juga terlibat dalam pembuatan kerajinan tangan, pakaian, dan perhiasan.

Sementara itu, laki-laki bertugas menggembala ternak, menyembelih hewan, membangun tempat tinggal, serta mengadakan musyawarah dengan kepala suku. Sering kali, mereka meninggalkan rumah dalam waktu lama untuk mencari padang rumput bagi ternak mereka.

Suku Himba menganut animisme dengan sosok tertinggi yang disebut Mukuru. Mereka berkomunikasi dengan Tuhan melalui api suci yang selalu menyala di setiap desa. Asap dari api suci dipercaya sebagai penghubung dengan leluhur yang dapat menyampaikan doa kepada Mukuru.

Di desa mereka terdapat garis suci yang tidak boleh dilewati oleh orang luar. Garis ini dimulai dari pintu masuk gubuk kepala suku, melewati api suci, hingga pintu kandang ternak.

Tradisi Kebersihan Tanpa Air

Karena kelangkaan air, wanita Himba tidak diperbolehkan menggunakan air untuk mencuci tubuh maupun pakaian mereka. Sebagai gantinya, mereka melakukan mandi asap dengan membakar arang dan herba di dalam mangkuk, lalu membungkus tubuh mereka dengan selimut agar asap terperangkap dan membantu membersihkan tubuh mereka.

Suku Himba mempraktikkan poligami, di mana seorang pria biasanya memiliki dua istri atau lebih. Mereka juga menjalankan pernikahan dini yang diatur oleh ayah gadis yang bersangkutan. Gadis-gadis muda sering kali dinikahkan saat mereka baru mencapai pubertas, meskipun praktik ini ilegal di Namibia dan mendapat tentangan dari sebagian anggota suku.

Selain itu, sunat bagi anak laki-laki dilakukan sebelum masa pubertas. Seorang laki-laki dianggap dewasa setelah menikah, sedangkan seorang wanita baru dianggap dewasa setelah melahirkan anak.

Selain itu, Suku Himba memiliki ciri khas yang unik, dimana wanita Himba mengenakan Erembe, mahkota dari kulit sapi atau kambing yang diberikan saat mereka mencapai pubertas. Mereka mulai mengoleskan otjize saat sudah mampu merawat kebersihan diri sendiri. Sementara itu, para pria tidak menggunakan otjize.

Pasta oker merah dibuat dengan menumbuk batu oker (hematit), mencampurkannya dengan mentega, lalu memanaskannya sebelum dioleskan ke kulit. Selain sebagai penanda gender, pasta ini melindungi kulit dari sinar matahari, menjaga kelembaban, dan menghambat pertumbuhan rambut tubuh.

Meskipun banyak anggota suku Himba masih mempertahankan gaya hidup tradisional, mereka tetap berinteraksi dengan budaya modern. Beberapa dari mereka yang tinggal dekat ibu kota Wilayah Kunene, Opuwo, sering bepergian ke kota untuk berbelanja, menjual hasil bumi, atau mendapatkan perawatan kesehatan.

Suku Himba memiliki sistem garis keturunan bilateral yang langka, di mana setiap individu menjadi anggota dua klan: satu dari pihak ayah (oruzo) dan satu dari pihak ibu (eanda). Sistem ini menguntungkan dalam lingkungan ekstrem karena memungkinkan seseorang untuk bergantung pada dua jaringan keluarga yang tersebar luas.

Dalam sistem warisan, kekayaan seperti ternak tidak diwarisi dari ayah ke anak laki-laki, melainkan dari paman ibu kepada keponakannya. Sistem ini juga ditemukan pada beberapa kelompok di Afrika Barat, India, Australia, Melanesia, dan Polinesia.

Suku Himba adalah salah satu kelompok adat yang berhasil mempertahankan identitas budaya mereka meskipun menghadapi tantangan lingkungan ekstrem dan pengaruh dunia modern. Dengan kehidupan semi-nomaden, sistem sosial yang kuat, serta kepercayaan animisme yang mendalam, mereka tetap menjadi bagian penting dari keragaman budaya dunia. [UN]