Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) bukanlah cerita eksklusif kota besar dengan hiruk-pikuk teknologi dan media sosial yang sering dikaitkan dengan anak muda. Kenyataannya, fenomena ini merambah hingga pedesaan, menyentuh kehidupan petani di sektor pertanian. Salah satu kisah menarik datang dari Desa Cimenga, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan. Di sini, para petani kapulaga menghadapi dinamika yang penuh pelajaran.
Pada tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 melanda, petani kapulaga di Desa Cimenga mengalami masa keemasan. Harga kapulaga melambung hingga Rp350.000 per kilogram, menciptakan gelombang euforia. Kesuksesan ini menjadi magnet bagi petani lain untuk ikut menanam kapulaga, berharap meraih keuntungan serupa.
Namun, seperti kebanyakan tren ekonomi komoditas, masa kejayaan ini tak bertahan lama. Seiring meredanya pandemi, harga kapulaga terus menurun. Kini, pada 2024, harga kapulaga hanya berkisar Rp85.000 hingga Rp90.000 per kilogram di Kabupaten Kuningan. Banyak petani yang harus menelan kekecewaan, hanya memanen penyesalan atas keputusan impulsif mereka.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana FOMO beroperasi, bahkan di desa kecil. Ketika melihat kesuksesan tetangga, dorongan untuk mengikuti langkah serupa menjadi sangat kuat. Padahal, dinamika harga komoditas sangat fluktuatif, dipengaruhi oleh permintaan pasar, kebijakan perdagangan, dan ketersediaan stok.
Banyak petani terjebak dalam ilusi bahwa tren sesaat akan bertahan selamanya, tanpa mempertimbangkan risiko yang menyertainya. Hal ini menjadi pengingat akan pentingnya edukasi terkait pasar dan manajemen risiko, terutama di sektor pertanian yang rentan terhadap perubahan.
Meskipun harga kapulaga kini tak lagi menguntungkan, petani di Desa Cimenga menunjukkan kemampuan bertahan yang luar biasa. Mereka tetap memperoleh penghasilan tambahan dari kapulaga, juga dari tanaman lain seperti cengkeh dan pala. Pengalaman ini menegaskan pentingnya fleksibilitas dan diversifikasi dalam pertanian.
Petani yang terlalu bergantung pada satu komoditas rentan terhadap kerugian besar ketika harga anjlok. Oleh karena itu, kejadian ini harus menjadi pelajaran bersama. Pemerintah daerah, penyuluh pertanian, dan organisasi terkait perlu meningkatkan edukasi bagi petani, termasuk manajemen usaha tani, analisis pasar, dan diversifikasi produk agar mereka lebih siap menghadapi risiko di masa depan.
Untuk menghindari jebakan FOMO di sektor pertanian, langkah strategis sangat diperlukan. Petani perlu memahami bahwa harga komoditas bersifat dinamis. Analisis pasar yang mendalam serta akses informasi yang akurat dapat membantu mereka membuat keputusan yang lebih bijaksana. Ketergantungan pada satu jenis tanaman juga terlalu berisiko.
Dengan menanam beragam jenis tanaman, petani dapat meminimalkan dampak kerugian akibat fluktuasi harga. Kolaborasi dalam kelompok tani yang solid juga memberikan keuntungan berupa pertukaran informasi, sumber daya, dan akses pasar yang lebih baik.
Kisah petani kapulaga di Desa Cimenga adalah cerminan nyata bahwa keputusan berdasarkan ketakutan ketinggalan tren sering kali membawa risiko besar. Dalam sektor pertanian, edukasi, perencanaan matang, dan diversifikasi adalah fondasi utama yang harus diperkuat. Melalui pendekatan yang lebih terencana dan berkelanjutan, para petani dapat menghadapi tantangan pasar dengan lebih percaya diri dan tangguh. Semoga pengalaman ini menjadi batu loncatan menuju masa depan yang lebih cerah bagi petani di seluruh Indonesia. [UN]