Koran Sulindo – Tanggal 22 Oktober memperingati dimulainya masa kepausan Karol Józef Wojtyła dari Polandia. Dilantiknya Wojtyła sebagai Paus Yohanes Paulus II menjadikannya paus Slavia pertama sekaligus paus termuda dalam lebih dari satu abad.
Masa kepausannya yang lebih dari 26 tahun merupakan yang terpanjang ketiga dalam sejarah.
Selama dua puluh enam tahun masa kepausannya, Wojtyła mengunjungi lebih dari 129 negara, termasuk tujuh kunjungan ke Amerika Serikat. Ini adalah bagian dari upayanya untuk meningkatkan toleransi dan pengertian antar negara dan antar agama.
Wojtyła juga menunjukkan komitmennya dalam hal toleransi antar umat beragama dengan mengeluarkan beberapa permintaan maaf kepada kelompok-kelompok yang secara historis telah dirugikan oleh umat Katolik, terutama Yahudi dan Muslim.
Dalam hal politik, Wojtyła berkampanye melawan penindasan politik dan mengkritik materialisme Barat. Dia terkenal sangat nasionalis, namun dia menekankan pentingnya aktivisme politik tanpa kekerasan.
Kampanyenya ini membantu jalannya gerakan Solidaritas di Polandia pada tahun 1980-an dan berkontribusi pada pembubaran Uni Soviet secara damai pada tahun 1991.
Sejarah Hidup
Melansir dari berbagai sumber, Karol Józef Wojtyła adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, lahir pada 18 Mei 1920. Ayahnya adalah seorang perwira Angkatan Darat Austria-Hungaria dan kapten di Angkatan Darat Polandia. Ibunya, Emilia Kaczorowska, adalah seorang penjahit.
Meski terlahir di keluarga yang penyayang, Wojtyła menyaksikan banyak penderitaan dan mengalami kehilangan. Kakak perempuannya, Olga, meninggal saat masih bayi sebelum Wojtyła lahir. Kakak laki-lakinya Edmund meninggal saat melayani orang-orang yang menderita Demam Scarlet. Ibunya meninggal karena gagal ginjal.
Kota kelahirannya, Wadowice, terletak hanya 31,4 km dari Oświęcim, lokasi kamp utama Auschwitz (Stammlager) di masa mendatang. Namun hanya ada sedikit anti-Semitisme di kota itu sebelum perang.
Saat masih muda, Wojtyła dikenal berkepribadian supel namun memiliki sisi serius. Di bawah bimbingan ayahnya yang penyayang, dia hidup disiplin dan menjalankan ajaran agama dengan rajin.
Wojtyła menerima Komuni Pertama saat usianya 9 tahun. Dia secara rutin membantu Pastor Kazimierz Figlewicz, bapa pengakuannya dan guru pertamanya dalam ajaran Katolik, di gereja utama Wadowice. Gereja itu ada di sebelah apartemen kecil keluarga Wojtyła.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas di Wadowice, dia pindah ke Kraków bersama ayahnya dan mendaftar di Universitas Jagellonian di Krakow pada tahun 1938. Sayangnya, studinya berakhir secara tiba-tiba ketika Nazi Jerman menginvasi Polandia pada tanggal 1 September 1939.
Pada bulan-bulan berikutnya, orang-orang Yahudi serta pemimpin budaya dan politik non-Yahudi, termasuk profesor dan pendeta, dibunuh atau dideportasi ke kamp konsentrasi. Nazi pun menganggap bangsa Slavia sebagai ras yang lebih rendah.
Wojtyła dan ayahnya melarikan diri bersama ribuan orang ke timur, tetapi segera kembali setelah mengetahui bahwa Rusia juga telah menginvasi Polandia. Saat kembali ke Kraków, dia melanjutkan studinya di kelas-kelas rahasia.
Dia juga bekerja di sebuah pabrik milik Solvay, sebuah perusahaan kimia, selama empat tahun untuk menghindari penangkapan dan deportasi.
Selama tahun-tahun ini Wojtyła mulai menulis drama nasionalis. Dia bergabung dengan Teater Rhapsodic, sebuah kelompok perlawanan bawah tanah yang bertujuan mempertahankan budaya dan moral Polandia melalui pembacaan puisi dan drama secara rahasia.
Wojtyła menjadi lebih dekat dengan gereja setelah bertemu Jan Tyranowski, seorang penjahit yang memimpin pelayanan pemuda untuk gereja setempat. Dia memperkenalkan Wojtyła pada ajaran Yohanes dari Salib.
Interaksinya dengan Tyranowski mulai meyakinkan Wojtyła bahwa gereja dapat memperbaiki dunia.
Pada Februari 1941, Wojtyła pulang kerja dan mendapati ayahnya meninggal sendirian karena serangan jantung. Ini membuatnya sangat berduka sekaligus memotivasinya untuk menjadi pastor pada musim gugur tahun 1942.
Selama dua tahun, Wojtyła menghadiri kelas seminari ilegal yang diselenggarakan oleh kardinal uskup agung Kraków, Pangeran Adam Sapieha, sambil terus bekerja di pabrik kimia. Pada masa-masa ini, dia menghabiskan sisa perang di istana uskup agung dengan menyamar sebagai seorang pastor.
Wojtyła juga menyaksikan kengerian Nazi. Pembunuhan banyak pastor membuatnya menyadari pentingnya menjadi seorang pastor, mengukuhkan imannya. Pada bulan November 1946 Wojtyła ditahbiskan oleh Sapieha menjadi pastor Katolik.
Menjadi Paus Yohanes Paulus II
Wojtyła kemudian memulai studi selama dua tahun di Roma. Dia menyelesaikan kajian teologi Santo Yohanes dari Salib dan menerima gelar doktor pertamanya.
Selama dekade berikutnya, dia menyelesaikan gelar doktor kedua, mengajar teologi dan etika di Universitas Jagiellonian, dan diangkat menjadi profesor penuh di Universitas Katolik Lublin.
Pada tanggal 13 Januari 1964, Paus Paulus VI mengangkat Wojtyła sebagai Uskup Agung Krakow. Lalu pada tanggal 26 Juni 1967, Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi Kardinal.
Wojtyła bekerja sama dengan Stefan Wyszyński, uskup agung Warsawa, yang menyatakan bahwa agama Kristen, bukan komunisme, adalah pelindung sejati bagi kaum miskin dan tertindas.
Wojtyła kemudian ikut serta dalam Konsili Vatikan Kedua (1962-1965) dan berkontribusi dalam penyusunan Konstitusi Gaudium et Spes. Dia juga ikut serta dalam lima pertemuan Sinode Uskup sebelum dimulainya masa Kepausannya.
Akhirnya, pada tanggal 16 Oktober 1978, Wojtyła terpilih sebagai Paus. Pada tanggal 22 Oktober dia memulai pelayanannya sebagai Gembala universal Gereja.
Pada tanggal 13 Mei 1981, Paus Yohanes Paulus II menjadi korban percobaan pembunuhan di Lapangan Santo Petrus. Namun dia mendatangi dan mengampuni penyerangnya, Ali Agca, di Penjara Rebibbia pada tahun 1983.
Paus Yohanes Paulus II meninggal pada tanggal 2 April 2005, dibeatifikasi di Lapangan Santo Petrus pada tanggal 1 Mei 2011 oleh Paus Benediktus XVI, dan dikanonisasi pada tanggal 27 April 2014 oleh Paus Fransiskus. Hari rayanya adalah 22 Oktober.
Warisan doktrinal Yohanes Paulus II merupakan salah satu yang terkaya dalam sejarah Gereja. Sebagai seorang penulis, dia telah menghasilkan banyak karya tulis, di antaranya 14 ensiklik, 15 nasihat apostolik, 11 konstitusi apostolik, dan 45 surat apostolik. [BP]