Koran Sulindo – Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menyaksikan manusia melakukan hal-hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Pelanggaran terhadap kaidah, tuntunan, bahkan undang-undang, telah menjadi sesuatu yang lumrah. Sikap seperti ini dikenal sebagai hipokrisi atau kemunafikan, dan sayangnya, hal ini telah lama terjadi di Indonesia.
Mochtar Lubis, dalam pidatonya di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1977 tentang “Manusia Indonesia”, menyatakan bahwa salah satu ciri utama manusia Indonesia adalah “hipokrit atau munafik, tidak mau bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya pada takhayul, berbakat seni, dan lemah karakternya.” Meski pernyataan ini mungkin tidak sepenuhnya benar bagi semua orang, namun sikap munafik kerap muncul terutama saat seseorang yang sebelumnya memiliki kekuasaan mulai beralih ke pihak lain yang dianggap lebih kuat. Demi menyelamatkan diri, banyak yang cenderung berpihak kepada penguasa baru, meninggalkan mereka yang telah kehilangan kekuasaan di akhir masa jabatannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hipokrisi diartikan sebagai sikap munafik dan kepura-puraan. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris, hypocrite, yang berarti orang yang berpura-pura memiliki prinsip atau keyakinan yang sebenarnya tidak dipegangnya. Hipokrisi sering kali disamakan dengan konsep dramaturgi, di mana seseorang memainkan peran yang berbeda atau menyembunyikan sifat aslinya. Namun, terdapat perbedaan antara keduanya: hipokrisi mengandung konotasi negatif dengan maksud menipu dan menyesatkan orang lain, sementara dramaturgi lebih berkaitan dengan cara seseorang menampilkan dirinya sesuai dengan konteks sosial.
Salah satu bukti dari hipokrisi di Indonesia adalah tingginya tingkat korupsi yang masih terjadi hingga saat ini. Meskipun mayoritas pemegang kekuasaan di Indonesia beragama Islam, penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari sering kali sangat minim. Berdasarkan laporan Transparency International Indonesia, Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2023 berada di skor 34/100, menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini tidak mengalami perubahan dari tahun 2022, menunjukkan stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi.
Korupsi sendiri bertentangan dengan ajaran agama, terutama Islam, yang mengajarkan kebaikan dan menjauhi segala bentuk tindakan yang merugikan orang lain. Tidak hanya Islam, semua agama di Indonesia – baik itu Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, maupun Konghucu – mengajarkan kebaikan, kejujuran, dan sikap terpuji. Namun, realitas menunjukkan bahwa sikap hipokrit sering kali tetap ada, seolah menjadi kebiasaan yang sulit diberantas. [IQT]