Pembukaan PON XXI/2024 Aceh-Sumut di Stadion Baharoedin Siregar, Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (9/9), foto: kemenpora.go.id
Pembukaan PON XXI/2024 Aceh-Sumut di Stadion Baharoedin Siregar, Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (9/9), foto: kemenpora.go.id

OPINI – Pekan Olahraga Nasional (PON XXI) Aceh-Sumut 2024 telah berakhir 20 September 2024. Sebanyak  65 cabang olahraga (cabor) berlaga di dua provinsi tersebut, yang diisi mulai dari cabor tradisional hingga nomor olimpiade, juga eksibisi.

PON XXI Aceh-Sumut  melibatkan 13.000 atlet lebih, 6.000 lebih ofisial, dan volunteer sebanyak 82.392 orang, tentu ini perhelatan besar dari berbagai sisi. PON ini juga menjadi yang pertama dilaksanakan di dua provinsi sebagai tuan rumah. Ini menjadi catatan sejarah sebagai PON terbesar yang pernah diselenggarakan.

Pemerintah daerah Aceh dan Sumatera Utara harus membangun banyak sarana/prasarana baru untuk perhelatan tersebut, proyek yang didukung pemerintah pusat.

PON yang besar dalam skala banyak hal tapi minim catatan prestasi di tiap cabornya. Di nomor-nomor tercatat, rekor nasional yang terlampaui tidak banyak, rekor Asean/Asia tidak ada. PON semakin kurang relevan jika tujuannya sebagai puncak panggung pembinaan atlet daerah.

PON tetap harus diselenggarakan sebagai panggung pemersatu dunia olahraga nasional, tetapi tidak harus melebar dan membesar hingga 65 cabor seperti PON XXI. Cukup 20-30 cabor yang sesuai dengan rujukan event SEA Games atau Olimpiade. Nomor yang dilombakan harus jelas kategorinya, sehingga tidak membebani penyelenggara.

Pada PON XXI kemarin ada beberapa cabor yang sebenarnya tidak layak dimasukkan dalam acara empat tahunan ini. Misalnya: drum band, hapkido, kurash, rugbi, woodball, barongsai, pentaque, sambo, gateball, padel, teqball, floorball, pickleball, (beberapa cabor ini baru tahap eksibisi). Cabor yang masih asing di negara ini. Ideal jika cabor seperti ini menyelenggarakan sendiri kejuaraan nasional (kejurnas) tahunan tanpa ikut berdesakan di PON. Atlet, pembina dan penonton lebih dapat fokus khalayak, media dan sponsor. Kalau bergabung dalam PON hampir dipastikan minim liputan media karena memang ada skala prioritas pemberitaan.

Pola pikir pengurus olahraga nasional harus mulai diubah, perhelatan dalam skala besar tidak harus diselenggarakan lewat PON. Kejurnas tiap cabor jauh lebih efektif untuk memantau capaian prestasi tiap atlet, juga aktivitas pengurus daerah (Pengda).

Praktik jamak Pengda yang tidak melakukan pembibitan/pembinaan atlet, dengan segala cara mereka menarik atau membajak atlet dari daerah lain untuk perhelatan PON, hal yang dapat dikurangi jika tiap cabor mengadakan kejurnas secara rutin saban tahun.

Kembalikan PON pada fungsi semestinya, puncak pembinaan atlet dari tiap daerah. Kurangi/hilangkan praktik bajak membajak atlet dari daerah lain, hanya demi gengsi klasemen peraih medali.

Tuan rumah tidak perlu mengada-adakan cabor hanya sekadar untuk menambah peluang meraih medali. PON hanya mempertandingan cabor yang baku, tanpa melebar ke anak cabor, hingga ranting cabor, misal nomor catur. Ada 12 set medali di ‘olahraga’ catur: catur kilat perorangan, catur kilat beregu, catur cepat perorangan, catur cepat beregu, catur standar perseorangan, catur standar beregu, ini baru dari nomor catur, bercabang dan beranting.

Ada lagi contoh di Barongsai (eksibisi), ada 10 set medali diperebutkan: Barongsai Halang Rintang, Kecepatan, Ketangkasan, Taolu Bebas, Tradisional, Naga Halang Rintang, Naga Kecepatan, Naga Taolu Bebas, Pekingsai Kecepatan, Pekingsai Taolu Bebas. Belum lagi di cabor Drum Band, begitu banyak cabang dan rantingnya. Dan masih ada belasan cabor yang memaksa sekian nomor diperlombakan di PON, semua minta diakomodasi.

Begitu beragam nomor yang dilombakan dalam PON membuat panitia keteteran untuk menyediakan fasilitas pendukung: penginapan, katering, transportasi dan waktu. Menjadi keluhan banyak kontingen ketika menemui gedung/venue masih berantakan saat pertandingan sudah dimulai.

PON yang semakin membesar bakal semakin merepotkan. PON menjadi sekadar hura-hura berlabel olahraga, bukan puncak prestasi insan olahraga nasional. Hiruk pikuk perhelatan PON hanya menyisakan stadion/venue yang segera redup dan minim perawatan menuju terbengkelai.

Kita tunggu bagaimana para pengelola olahraga di Negara ini akan mengevaluasi PON di masa mendatang. PON XXI 2028 rencananya akan  digelar di NTB dan NTT.

Sekadar catatan, Indonesia sebagai negara terbesar sudah bukan lagi sebagai negara terhebat di olahraga kawasan Asean, bukan lagi “King Asean”. Ini semua bermula dari pola pembinaan yang kurang tepat sasaran, dan kurang fokus memilih panggung perhelatan olahraga nasional. [KS]