Ilustrasi: Tindak pidana perdagangan orang (TPPO)
Ilustrasi: Tindak pidana perdagangan orang (TPPO)

Kasus tindak pidana perdagangan orang atau TPPO masih marak di Indonesia, banyak korbannya adalah perempuan dan anak. Sepanjang tahun 2024 saja Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mencatat sebanyak 698 orang telah menjadi korban TPPO.

Masih maraknya kasus TPPO di Indonesia adalah kenyataan yang sangat memprihatinkan. Meski pemerintah telah membentuk satgas khusus namun ratusan bahkan ribuan kasus baru muncul setiap tahun. Bahkan beberapa kasus juga diduga melibatkan aparat pemerintah.

Dari data Kemenko PMK, kasus TPPO terbanyak dalam tahun 2024 terjadi di Kepulauan Riau (Kepri) yaitu 140 korban. Peringkat kedua di Kalimantan Utara (Kaltara) 13 korban, kemudian Jawa Barat 79 korban. Sementara berdasar jenis kelamin sebanyak 396 orang adalah laki-laki dan 302 orang perempuan. Tujuan TPPO terdeteksi adalah negara Malaysia yaitu sebanyak 637 kasus. Selain itu korban juga dikirim ke Suriah, Oman dan Myanmar.

Data itu belum termasuk kasus terbaru pada bulan Juni lalu ketika Bareskrim Polri menangkap seorang pria warga negara China berinisial SZ terduga pelaku kasus dugaan tindak pidana scam alias penipuan serta tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Tersangka SZ diduga telah menipu total 800 orang korban yang seluruhnya merupakan Warga Negara Indonesia (WNI).

Begitupula data yang dihimpun Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mulai 2020 sampai 2022, tercatat ada 1.418 kasus dan 1.581 korban TPPO. Mayoritas dari korban adalah perempuan dan anak.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Global Financial Integrity, dimperkirakan secara global rata-rata dalam satu tahun $1,6 triliun hingga $2,2 triliun dihasilkan dari kejahatan transnasional, termasuk TPPO.

Sementara, Interpol menyebut Mafia di ASEAN telah meraup nyaris US$3 triliun atau sekitar Rp47.586 triliun dari perdagangan manusia saat kasus ini meledak di negara anggota ASEAN atau kawasan Asia Tenggara. Sekretaris Jenderal Interpol Jurgen Stock mengatakan salah satu kelompok kejahatan perdagangan manusia yang terorganisir secara internasional bisa menghasilkan US$ 50 miliar atau sekitar Rp793 triliun per tahun.

Umumnya korban tertipu dengan iming-iming gaji lebih tinggi dengan persyaratan atau kualifikasi yang cenderung mudah. Sesampainya di lokasi, mereka diperjual-belikan ke tempat-tempat penipuan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) menyoroti kasus perdagangan orang sebagai kejahatan luar biasa dan merupakan praktik pelanggaran terburuk terhadap hak asasi manusia. TPPO membawa kerugian besar bagi negara dan pembangunan bangsa.

Modus TPPO

Berdasarkan kasus yang telah diselidiki, modus kejahatan TPPO di Indonesia terbanyak masih soal iming-iming menjadi pekerja migran dan pekerja rumah tangga. Modus lainnya yakni menjadikan korban sebagai pekerja seks komersial (PSK). Selain itu, modus lain adalah bekerja sebagai ABK dan eksploitasi anak.

Pekerja migran rentan menjadi korban TPPO karena mereka yang tidak mengetahui prosedur dan mekanisme bekerja di luar negeri. Banyak pekerja migran yang berasal dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Hal ini membuat mereka banyak menjadi korban penipuan oleh para oknum perekrut.

Ada dugaan bahwa paling banyak praktik TPPO justru terjadi di dalam negeri. Disinyalir praktik ini juga meluas, berlangsung antarpropinsi dan kabupaten/kota.

Dengan berkembangnya teknologi, banyak sindikat TPPO melakukan operasinya melalui media sosial dan peranti elektronik yang digunakan sebagai alat untuk menjerat para korban. Penggunaan media sosial memberikan memudahkan para pelaku untuk berkomunikasi dengan calon korban, tanpa harus bertemu secara tatap muka.

Penggunaan media sosial juga berdampak pada masifnya perekrutan secara online atau melalui media sosial, seperti facebook maupun Instagram. Hal ini dimanfaatkan oleh pelaku untuk memanfaatkan korban yang tanpa disadari menjadi perekrut korban lainnya.

Misalnya, para calon korban mendapatkan informasipeluang kerja dari media sosial terkait lowongan kerja beserta penempatan dan gaji. Selanjutnya mereka mendatangi atau berkomunikasi dengan pengiklan melalui telepon atau email, dan berlanjut hingga proses pemberangkatan.

Sementara pada pola perekrutan calon korban TPPO secara tradisional, para pelaku turun langsung ke masyarakat menawarkan pekerjaan, gaji tinggi, cepat berangkat, serta biaya ditanggung semua. Mereka juga tak segan untuk memberikan bantuan pemalsuan dokumen bagi calon korban TPPO yang tidak memenuhi sejumlah persyaratan administrasi. Para korban ditawari bekerja ke luar negeri menjadi pekerja migran, ada pula modus pengantin pesanan hingga kawin kontrak. Modus lainnya berupa jeratan utang, perdagangan bayi, hingga penipuan magang bagi pelajar dan mahasiswa.

Para pelaku juga bersedia memberikan uang tinggal atau santunan pada keluarga. Kemudian korban dibawa ke penampungan, ditanggung biaya makan minum penginapan. Surat perjalanan hingga proses keberangkatan pun diurus 100 persen sehingga tidak menimbulkan kecurigaan bagi para calon korban.

Pola perekrutan korban ada juga melalui Lembaga Pelatihan Kerja (LPK), para korban mengikuti pelatihan kerja atau bahasa, dan LPK menawari penempatan. Ada juga pola rekrutmen melalui penempatan ilegal oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Teknisnya, mereka melakukan penempatan ilegal di negara-negara berbahaya atau kondisi perang.

Butuh penegakan hukum yang tegas

Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dikualifikasikan sebagai kejahatan kemanusiaan karena pada dasarnya dalam perbuatan ini, korbannya adalah manusia. Memang, ada aspek ekonominya, tetapi komoditasnya adalah manusia. Ini yang membedakan TPPO dibandingkan dengan tindak pidana lain pada umumnya.

TPPO merupakan kejahatan berat dengan modus operandi yang terus berkembang untuk menjerat lebih banyak korban. Namun tindak kejahatan tersebut masih seperti fenomena gunung es, kemungkinan besar masih banyak kasus yang belum tersentuh oleh pemerintah.

Untuk menangani semakin maraknya kasus TPPO dan semakin banyaknya korban dibutuhkan upaya sistematis mulai dari perlindungan, pencegahan maupun penindakan. Upaya ini tentunya membutuhkan keterlibatan banyak pihak mulai dari pemerintah, organisasi masyarakat juga kerjasama dengan lembaga Internasional.

Upaya pencegahan dan penanganan TPPO adalah faktor penting untuk memberantas, tidak bisa hanya difokuskan pada penindakan dan penegakan hukumnya. Karena kasus TPPO banyak menimpa masyarakat miskin dengan pendidikan rendah, maka pencegahan TPPO dan perlindungan terhadap perempuan dan anak harus dimulai dari desa. Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan agar tidak mudah tergiur terhadap iming-iming yang berujung pada praktik TPPO.

Upaya pencegahan juga dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan kepada masyarakat mengenai cara menghindari modus kejahatan pelaku TPPO. Berkembangnya modus pelaku juga mengharuskan aparat penegak hukum untuk meningkatkan kemampuan untuk mengenali dan menjerat pelaku TPPO agar mendorong penegakan hukum yang tegas sesuai dengan undang-undang yang berlaku serta menghukum seberat-beratnya para pelaku.

Pekerjaan rumah lainnya untuk memberantas TPPO adalah membenahi sistem imigrasi di Indonesia. Saat ini jumlah pekerja migran Indonesia di luar negeri saat ini lebih dari 9 juta yang separuhnya diberangkatkan secara tidak resmi, hal ini tentu menjadi potensi besar terjadinya TPPO. [DES]