Masyarakat dari Suku Baduy dipercaya masih menganut kepercayaan Sunda wiwitan (foto: indonesiatravelid)

Sunda Wiwitan adalah suatu ajaran agama dengan unsur monoteisme purba yang merasuk dalam budaya dan kepercayaan masyarakat suku Sunda di Indonesia. Ajaran ini menganut konsep kepercayaan tertinggi terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa yang tak berwujud, yang dikenal sebagai “Sang Hyang Kersa,” setara dengan “Tuhan Yang Maha Esa” dalam ideologi Pancasila.

Ajaran Sunda Wiwitan tertulis dalam kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian, naskah dari zaman kerajaan Sunda, yang dikenal sebagai Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Kitab ini berisi ajaran keagamaan, tuntunan moral, aturan, dan pelajaran budi pekerti. Konon, Sunda Wiwitan telah ada sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam di tanah Sunda.

Sistem kepercayaan Sunda Wiwitan menempatkan Sang Hyang Kersa sebagai kekuatan tertinggi, juga disebut Batara Tunggal, Batara Jagat, dan Batara Seda Niskala. Dewa-dewa dalam konsep Hindu dianggap tunduk kepada Batara Seda Niskala. Struktur alamnya mencakup Buana Nyungcung (tempat Sang Hyang Kersa bersemayam), Buana Panca Tengah (tempat manusia dan makhluk lainnya), dan Buana Larang (neraka).

Ajaran ini didasarkan pada dua prinsip filosofis : Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Cara Ciri Manusia mencakup lima unsur dasar kehidupan manusia, seperti cinta kasih, tatanan dalam kekeluargaan, tatanan perilaku, budaya, dan sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya. Prinsip kedua, Cara Ciri Bangsa, membedakan antar manusia berdasarkan rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya.

Dalam Sunda Wiwitan, penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun, kidung, dan gerak tarian. Tradisi ini terlihat dalam upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun, seperti Perayaan Seren Taun. Tempat suci dalam kepercayaan ini disebut kabuyutan atau pamunjungan, yang merupakan punden berundak di bukit dengan artefak keramat.

Meskipun memiliki warisan kaya, penganut Sunda Wiwitan masih menghadapi diskriminasi. Pada Juli 2020, pemakaman penganut Sunda Wiwitan disegel oleh pemerintah Kuningan Jawa Barat. Penyegelan ini dilakukan lantaran bangunan pemakaman penganut Sunda Wiwitan dianggap sebuah tugu oleh pemerintah setempat, karena adanya bangunan dari batu yang menjulang, sehingga perlu adanya surat dan juga pemerintah setempat mencurigai para penganut Sunda Wiwitan menyembah batu.

Salah satu tokoh penganut Sunda Wiwitan, Juwita Djati Kusuma Putri menyatakan bahwa bangunan tersebut bukan tugu, tidak digunakan sebagai tempat pemujaan ataupun sesembahan, bangunan tersebut sejatinya adalah tempat pemakaman bagi penganut agama Sunda Wiwitan yang sudah ada disana selama bertahun-tahun, dimana ajaran Sunda Wiwitan sendiri sudah lebih dulu ada bahkan sebelum agama lain masuk ke tanah Sunda karena dianggap tugu dan dituduh menyembah batu. Hal ini mencerminkan tantangan dalam melestarikan dan menghormati keberagaman agama di Indonesia.

Sunda Wiwitan diperkenalkan oleh Pangeran Madrais, atau Muhammad Rais, seorang tokoh kontroversial yang dianggap berlawanan dengan ajaran Sunan Gunung Jati. Madrais, meskipun memiliki akar dalam Islam, kemudian beralih ke ajaran kanuragan dan mistis. Ajaran yang dibawa Madrais juga mengajarkan para pengikutnya agar mengkafani orang yang telah meninggal dengan kain kafan hitam. Pengikutnya juga diajarkan ketika sakaratul maut mereka harus mengucapkan “Wajoh Lawan” yang artinya ayo lawan agar menunda kematian.
Sejak itu kalangan ulama setempat menganggap ajaran Madrais telah melenceng jauh dan tidak sesuai dengan syariat Islam.

Sunda Wiwitan adalah bagian penting dari warisan budaya dan agama di tanah Sunda. Meskipun menghadapi tantangan dan kontroversi, ajaran ini tetap hidup dan memainkan peran dalam membentuk identitas masyarakat suku Sunda. Keberagaman agama di Indonesia, termasuk Sunda Wiwitan, mencerminkan kaya dan kompleksnya sejarah bangsa ini. Ajaran ini, dengan kitab suci dan filosofi hidupnya, menjadi penanda yang kuat dari kekayaan spiritual dan kultural suku Sunda. [Ulfa Nurfauziah]