MATA UANG rupiah terus merosot nilainya dibandingkan dengan dolar Amerika Serikat dari tahun ketahun. Jika sepanjang tahun 1990-an nilai dolar AS setara dengan Rp1.200, maka di tahun 2023 ini nilainya hampir mencapai Rp16.000. Artinya dalam kurun tigapuluh tahun, nilai rupiah merosot lebih dari 90 persen dibanding dolar. Bagaimana dolar bisa mendominasi mata uang dunia?
Kita perlu melihat kembali ke belakang di tahun 60-an pada masa Bretton Woods System, yaitu masa kemunculan rezim sistem moneter internasional pertama di dunia.
Bretton Woods System merupakan Sistem Moneter Internasional pertama yang didirikan dengan tujuan mengatur perdagangan dan keuangan global. Namun, sistem ini runtuh pada tahun 1971 yang menyebabkan perubahan besar dalam sistem moneter internasional.
Pada tahun 1944, sistem ini didirikan pada Konferensi Bretton Woods yang dihadiri oleh 44 negara di New Hampshire, Amerika Serikat (AS). Sistem ini dirancang untuk mendorong kerja sama dan stabilitas ekonomi internasional setelah kehancuran Perang Dunia II.
Sistem Bretton Woods didasarkan pada fixed exchange rate atau nilai tukar tetap. Nilai tukar saat itu didasarkan pada emas dan kemudian dolar AS dipatok pada emas. Mengapa dolar AS? Hal ini disebabkan karena AS yang dianggap sebagai pemenang perang dan saat itu menyimpan 70% cadangan emas dunia.
Bretton Woods pada akhirnya kolaps, tepatnya pada bulan Agustus tahun 1971. Keruntuhan sistem ini ditandai dengan pernyataan resmi dari presiden AS Richard Nixon yang mengakhiri hubungan antara dolar dengan emas, yang artinya dolar AS tidak lagi dapat ditukarkan dengan emas (O’Brien & Williams, 2016).
Bretton Woods System gagal dikarenakan oleh setidaknya tiga faktor. Pertama, sistem ini gagal karena dinilai tidak terlalu fleksibel. Hal ini bermula dari keputusan AS menjadikan dolar sebagai cadangan utama sistem moneter internasional.
Dolar menjadi mata uang yang dapat dipegang oleh pemerintah lain sebagai cadangan devisa dan digunakan untuk melakukan pembayaran internasional dan pasar valuta asing. Negara lain bersedia memegang dolar karena dolar sama baiknya dengan emas. Konsekuensinya, stabilitas sistem Bretton Woods bergantung pada kemampuan AS untuk menukarkan dolar dengan emas pada harga $35 per ons.
Kemampuan Amerika untuk memenuhi komitmen mulai berkurang sejak masalah kekurangan dolar pascaperang berubah menjadi kelebihan dolar. Kelebihan dolar adalah konsekuensi alami dari defisit neraca pembayaran Amerika yang terus berlanjut. Amerika Serikat mengalami defisit pembayaran yang mulai meningkat setelah tahun 1965.
Defisit ini disebabkan oleh pengeluaran militer AS akibat Perang Vietnam dan perluasan program kesejahteraan di dalam negeri (Marshall Plan), serta dalam negeri, dan keengganan pemerintahan Johnson dan Nixon untuk membiayai pengeluaran tersebut dengan pajak yang lebih tinggi.
AS mengalami defisit neraca pembayaran yang pada akhirnya memicu inflasi besar-besaran, dan ini dianggap sebagai salah satu faktor utama kegagalan Bretton Woods System.
Kegagalan Bretton Woods berikutnya disebut sebagai Triffin dilemma. Triffin dilema adalah teori ekonomi oleh Robert Triffin, seorang ekonom Belgia-Amerika yang merupakan seorang profesor ekonomi di Yale University dan anggota Dewan Penasihat Ekonomi Presiden John F. Kennedy.
Teori ini melihat bahwa ada konflik kepentingan antara tujuan domestik dan internasional suatu negara. Triffin mengartikulasikan dua peran yang saling bertentangan yang harus dilakukan oleh dolar AS (Yueru et al., 2018). Ia memprediksi kemungkinan keruntuhan sistem Bretton Woods bahwa akan terjadi ketidakseimbangan antara dolar dan cadangan emas AS.
Selain karena perekonomian internasional yang membutuhkan dolar, dolar semakin banyak beredar di dunia karena beberapa hal seperti adanya Marshall Plan, pengeluaran militer pertahanan AS, dan belanja luar negeri AS. Dolar harus keluar dari negara untuk memberikan uang atau likuiditas ke wilayah lain di internasional, akan tetapi hal ini pada akhirnya akan mengancam upaya AS untuk mempertahankan mata uangnya (O’Brien & Williams, 2016).
Faktor terakhir yang merupakan akar masalah kegagalan Bretton Woods adalah manajemen sistem yang buruk. Tidak bersedianya negara-negara (khususnya negara Eropa seperti Prancis dan Jerman) untuk bekerja sama telah mengubah tujuan awal dari sistem ini.
Amerika telah menetapkan dolar sebagai mata uang cadangan dan mengizinkannya menggantikan emas sebagai mata uang utama di Bretton Woods. Akan tetapi, negara-negara Eropa saat itu tetap mengandalkan emas. Meskipun AS berupaya untuk mencegah konversi emas dalam skala yang besar, negara Eropa tidak berhenti mengumpulkan emas.
Dampaknya adalah emas semakin menipis, dan terjadi inflasi serta devaluasi dolar AS. Hal ini menyebabkan AS memilih untuk berhenti mengizinkan negara-negara menukar dolar dengan emas karena menyadari hasil yang tidak menguntungkan, dan kemudian ini menandakan berakhirnya Bretton Woods System (Yueru et al., 2018).
Walaupun tidak terdapat konsensus tentang penyebab pasti kegagalan Bretton Woods System, ketiga faktor di atas adalah faktor yang cukup krusial dalam melihat kegagalan sistem ini. Pada dasarnya dolar memang tidak boleh memiliki dua fungsi sekaligus.
Di satu sisi, dolar perlu keluar untuk mengisi cadangan devisa di seluruh dunia. Namun, karena hal ini menyebabkan defisit neraca pembayaran, akhirnya nilai dolar malah menjadi tidak stabil, dan justru mengganggu stabilitas keuangan global.
Di sisi lain, arus masuk dolar juga dibutuhkan untuk memperkuat perannya sebagai mata uang yang menjadi patokan bagi negara-negara lain. Pada akhirnya, Amerika tidak dapat memenuhi permintaan likuiditas ekonomi dunia yang terus tumbuh dan juga menekan inflasi negaranya secara bersamaan.
Setelah Bretton Woods gagal, terjadi perubahan sistem moneter internasional dari fixed exchange rate menjadi floating exchange rate (sistem nilai tukar mengambang). Pada sistem ini, nilai tukar mata uang ditentukan oleh pasar, dan bukan oleh pemerintah. Ketika permintaan mata uang suatu negara meningkat, nilai tukar mata uang tersebut akan naik. [PTM]