HINGGA 31 Oktober 2022, Kemenkes (Kementerian Kesehatan) telah melaporkan kematian anak pada kasus gagal ginjal akut mencapai 159 anak dari 304 kasus. DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menjadi provinsi penyumbang kasus paling banyak se-Indonesia. Menurut juru bicara Kemenkes (Kementerian Kesehatan) Mohammad Syahril kasus ini didominasi oleh anak berusia 1-15 tahun dengan mayoritas berjenis kelamin laki-laki.
Akhirnya terkuak bahwa penyebabnya adalah kandungan etilen glikol atau EG pada obat sirup yang berlebihan. Bahkan Kementerian Kemenkes menarik sejumlah obat-obatan yang diduga melanggar peraturan pemberian EG pada obat. EG adalah salah satu senyawa yang berfungsi untuk melarutkan obat, makanan bahkan kosmetik yang harus diawasi pemakaiannya.
Padahal diketahui tercemarnya EG pada obat sirup terindikasi sangat berbahaya pada anak. Ketika obat yang tercemar tersebut sudah dikonsumsi maka glikol akan menjadi asam glikolat. Inilah asal muasal dari pemicu kerusakan ginjal. Baik BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) ataupun Kemenkes akhirnya mengeluarkan pemberitahuan kepada seluruh apotek untuk menghentikan penjualan obat sirup sampai batas waktu tertentu.
BPOM menduga para produsen farmasi ‘nakal’ mencoba menyiasati bahan baku yang sedang naik atau mahal sehingga ada oknum-oknum yang mencoba melanggar aturan dengan memberikan EG dalam jumlah yang tidak sesuai dengan batas normal yang berakibat fatal bagi kesehatan.
Pada tanggal 27 Oktober 2022, Kemenkes mengeluarkan pernyataan bahwa kini kasus gagal ginjal pada anak di Indonesia telah menurun. Hingga Rabu 26 Oktober 2022 tercatat 18 kasus yang merupakan akumulasi laporan dan hanya terdapat 3 kasus baru.
Pihak Kemenkes menuturkan bahwa penurunan kasus baru tersebut buntut dari kebijakan penghentian sementara penggunaan obat sirup pada anak. Meskipun terindikasi menurunnya kasus gagal ginjal akut pada anak, Kemenkes tetap memberikan ‘warning’ kepada DKI Jakarta, Aceh, Bali, Banten dan Jawa Barat sebagai provinsi dengan kasus terbanyak saat ini.
Meskipun kasus semakin turun, tanggung jawab pemerintah akibat kelalaian fatal ini tak bisa dinegasikan. Selain produsen farmasi yang diduga melanggar aturan, tindakan pengawasan disinyalir tidak dilakukan secara benar. Budaya lempar tanggung jawab dan cuci tangan kembali diperlihatkan oleh pejabat-pejabat negeri ini. Tidak ada yang merasa bertanggung jawab atas kejadian ini termasuk BPOM sendiri.
Siapa harus bertanggungjawab?
BPOM melalui konferensi persnya pada Senin 31 Oktober 2022 menyatakan bahwa terdapat 2 industri farmasi yaitu PT Yarindo Farmatama (PT Yarindo) dan PT Universal Pharmaceutical Industries (PT Universal) yang diduga melakukan pelanggaran. Dalam kegiatan produksi sirup obat, kedua perusahaan telah menggunakan bahan baku pelarut Propilen Glikol dan produk jadi mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas. Temuan tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap sejumlah karyawan, dokumen, sarana, dan produk dua perusahaan farmasi tersebut. Maka perusahaan tersebut diberikan sanksi administratif berupa penghentian produksi, distribusi, penarikan kembali (recall) dan pemusnahan produk.
Diketahui perusahaan farmasi itu membeli bahan baku dari negara Thailand. PT Yarindo membeli bahan baku Propilen Glikol produksi DOW Chemical Thailand LTD dari CV Budiarta, sedangkan PT Universal membeli bahan baku Propilen Glikol produksi DOW Chemical Thailand LTD dari PT Logicom Solutions.
Dari pemeriksaan pada PT Yarindo ditemukan sejumlah barang bukti yaitu Flurin DMP Sirup (2.930 botol) dan ada PT Universal, ditemukan barang bukti berupa Unibebi Demam Syrup 60 ml (13.409 botol), Unibebi Demam Drops 15 ml (25.897 botol), Unibebi Cough Syrup 60 ml (588.673 botol). Selanjutnya Bareskrim Polri juga akan segera melakukan gelar perkara guna menentukan tersangka dalam kasus ini.
Kedua perusahaan tersebut diancam dengan Pasal 196 Jo. Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Undang–Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. “Pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.”
Selain itu terdapat unsur pasal lain yaitu memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah.
Meskipun demikian, perusahan tersebut ‘ogah’ disebut sebagai penyebab penyakit gagal ginjal akut, bahkan mereka serempak menyerang BPOM dengan alasan lembaga tersebut yang memberikan izin edar.
Manajer PT Yarindo, Farmatama Vitalis Jebarus menyebutkan bahwa perusahan telah tiga kali mendaftar ulang sampai nomor edar keluar hingga tahun 2025 yang diterbitkan oleh BPOM sendiri. Bahkan menurutnya BPOM terlalu cepat menentukan obat yang diproduksi perusahannya sebagai penyebab gagal ginjal akut pada anak, ia juga mengklaim obat yang mereka produksi tidak pernah terdaftar sebagai obat penyebab gagal ginjal yang dikeluarkan oleh Kemenkes.
Setali tiga uang dengan PT Yarindo, PT Universal Pharmaceutical Industries juga angkat bicara terkait dugaan obatnya yang menjadi penyebab gagal ginjal akut. Perusahaan merasa telah mengikuti segala kebijakan yang dikeluarkan BPOM. Perusahan juga mengaku heran mengapa produk mereka Unibebi yang diuji BPOM didapati EG di luar ambang batas. Tetapi PT Universal menyebut akan kooperatif atas pengusutan kasus ini.
Lantas bagaimana dengan BPOM?
Sebagai lembaga yang mengawasi mutu serta peredaran obat sudah sepatutnya mereka ikut bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa anak-anak tersebut. Lewat kasus ini menunjukan pengawasan BPOM terkait obat-obatan tidak berjalan semestinya.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengatakan bahwa jaminan keamanan produk di Indonesia bukan hanya kewajiban BPOM. Ia menyebutkan bahan baku pada umumnya masuk melalui SKI (Surat Keterangan Impor) BPOM. Khusus untuk pelarut propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG) ini masuknya tidak melalui SKI BPOM, namun melalui Kementerian Perdagangan.
Ia bahkan menambahkan bahwa BPOM tidak bisa mengawasi produk obat jadi yang tercemar senyawa kimia tersebut karena belum ada standar yang berlaku. Penny hanya memastikan bahwa hal ini tidak akan terulang lagi dikemudian hari.
Inilah yang menjadi penyebab mengapa Indonesia sulit untuk bisa maju. Seperti tragedi Kanjuruhan sampai kelalaian tercemarnya obat sirup tidak ada yang tegas mengatakan bahwa dirinya yang bertanggung jawab. Sudah sepatutnya kehilangan nyawa tidak boleh dilihat hanya sekadar angka. Pertanggung jawaban hukum semestinya bukan hanya berlaku untuk produsen obat saja namun juga bagi lembaga pengawasan sebagai pemberi ijin edar. [NS]