Lemahnya penegakan hukum dapat menjadi pintu masuk bagi orang untuk melakukan korupsi. Alangkah celakanya ketika korupsi dipandang seolah-olah seperti sebuah “prestasi” yang bisa menyebabkan “segelintir orang” berlomba-lomba untuk meraihnya.
Pemberian remisi untuk narapidana koruptor sayangnya juga ikut menguatkan kesan seolah-olah korupsi merupakan sesuatu yang tidak perlu diperangi melainkan harus dimaklumi. Sehingga ikut menunjukkan bahwa selama ini pemerintah dan aparat penegak hukum kurang serius terhadap persoalan dan pemberantasan korupsi.
Penegakan hukum di Indonesia yang dianggap lemah dan tumpul pun dapat dijadikan peluang dalam melakukan tindak kejahatan korupsi, dimana seharusnya hukum menjadi produk dari suatu negara untuk membuat para pelaku jera bukan sebaliknya menjadi peluang untuk melakukan tindak kejahatan.
Demikianlah menjadi terbukti, ketika kemudian banyak muncul para pelaku tindak pidana korupsi yang merupakan aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, advokat dan polisi.
Birokrasi lahan subur korupsi
Birokrasi dapat menjadi lahan subur korupsi jika dilihat dari perspektif penegakan hukum. Ketika hukum seolah-olah memberi kelonggaran kepada pejabat birokrasi untuk melakukan korupsi.
Penegakan hukum ini bisa lihat dari sanksi yang diberikan kepada tindak pidana korupsi. Dalam hal penjatuhan sanksi, aparat penegak hukum kita semestinya tidak hanya menggunakan pendekatan menghukum pelaku dengan pidana penjara (follow the suspect) tetapi juga dibarengi dengan pendekatan follow the money dan follow the assets.
Birokrasi menjadi lahan subur korupsi karena minus akuntabilitas. Jika terkait hal ini, mungkin ketika orientasinya lebih kepada lembaga. KPK, Jaksa dan Kapolri yang merupakan lembaga yang eksistensinya sangat krusial dalam pemberantasan korupsi.
Menanggapi kebijakan atas hukum pidana kasus korupsiĀ
Harus diakui jika proses penyelesaian tindak pidana korupsi di bawah Rp 50 juta sebagaimana yang diusulkan oleh Jaksa Agung, yaitu cukup diselesaikan dengan mengembalikan kerugian Negara. Bisa diperkirakan ini justru memberi ruang bagi setiap orang untuk melakukan korupsi sebab tidak memberikan efek jera dan tentu saja mempermainkan hukum serta melukai rasa keadilan.
Aparat penegak hukum menerima suap/janji atau hadiah (yang merupakan bentuk dari korupsi) dari para koruptor dengan melobi untuk memeriksa dan memenangkan perkaranya atau meminta para penegak hukum untuk melakukan sesuatu yang bertentangan atau tidak dilakukan kewajibannya. Sehingga banyak juga para koruptor yang dihukum ringan yang tidak layak dan pantas, bahkan lolos dari jeratan hukum pidana yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Korupsi di Indonesia. Hal ini bisa menjadi penyebab turunnya kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum dalam memberantas kasus korupsi yang sangat merugikan.
Menurut Indonesia Corruption Watch, dengan terbitnya kebijakan yang sebetulnya bertentangan dengan semangat memberantas korupsi seperti kebijakan yang bermasalah, adanya pengesahan produk hukum yang kontroversial.
Merujuk data yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menyatakan bahwa jumlah penindakan tindak pidana korupsi di Indonesia mengalami penurunan mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan tangkap tangan, yang kemudian menyebabkan angka korupsi di negara ini meningkat.
Kasus penegak hukum terlibat korupsi
Lembaga dan aparat penegak hukum memiliki peran penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, akan tetapi karena kedudukan dan wewenangnya yang cukup krusial penegak hukum juga rentan terjerat kasus korupsi.
Seperti pada kasus suap terkait kepengurusan perkara pailit yang diterima oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yaitu Syarifuddin Umar sejumlah Rp 250 juta, kemudian Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Pontianak Heri Kisbandono yang dimana terbukti menyuap Hakim Tipikor Semarang dalam mempengaruhi suatu putusan perkara korupsi, lalu kasus korupsi Rp 132 miliar yang dilakukan oleh Tamin Sukardi terkait dengan proses jual-beli, pengalihan tanah Hak Guna Usaha tanah PT Perkebunan Nusantara II yang dimana ia menyuap hakim yang bernama Merry Purba sejumlah USD 150 ribu agar Tamin dibebaskan dari perkara korupsi pengalihan tanah.
Kemudian terdapat kasus suap terhadap Kasat Narkoba AKP Ramli Polres Bulukumba yang melepas enam tahanan narkotika, selain itu kasus lain yaitu kasus korupsi Djoko Tjandra yang mengratifikasi dua perwira tinggi Polri yang berkaitan dengan surat jalan palsu, serta penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Kasus terbaru adalah kasus Hakim Agung Sudrajad Dimyati. KPK menduga Dimyati menerima suap untuk menguatkan putusan kasasi sebelumnya yang menyatakan KPS Intidana pailit. Adapun Dimyati disebut mendapatkan jatah Rp 800 juta.
Penegakan hukum
Solusi dalam memberantas korupsi salah satunya adalah dari penegakan hukum di Indonesia itu sendiri, seharusnya aparat penegak hukum serta KPK lebih berani dalam mengadili para koruptor tanpa memandang status/jabatan atau diskriminasi secara tegas dan adil sesuai dengan UU yang berlaku.
Sehingga dengan memberantas korupsi itu lah cita-cita tegaknya hukum di negara ini dapat terwujud seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila. Yaitu penerapan hukum yang dapat lebih tegas dan adil.
Para koruptor haruslah dihukum dengan hukuman yang pantas sesuai undang-undang yang mengatur tentang Korupsi. Yaitu UU RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan UU RI No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dampak negatif korupsi menjadi tantangan serius dalam membangun ketahanan nasional. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik dengan cara menghancurkan proses formal. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya seperti kemungkinan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatannya bukan karena prestasi.
Korupsi memang tidak bisa dihindari, namun setidaknya kita harus melakukan berbagai upaya untuk bisa mencegahnya, salah satunya dengan memberikan sanksi yang tegas. [S21]