Penangkapan petani dan penembakan terhadap kendaraan warga di Desa Sukamukti, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (16/12) menurut Indonesia Police Watch (IPW) merupakan tindakan represif dan teror.
Peristiwa di Mesuji ini terjadi ketika warga yang sedang mempertahankan tanahnya dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian setempat. Bahkan, puluhan warga ditangkap secara sewenang-wenang
Aparat kepolisian juga melakukan teror dengan melakukan penembakan terhadap kendaraan warga yang menuju lokasi.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santosa menyesalkan tindakan aparat kepolisian. Sugeng meminta Polri mengedepankan pendekatan pre-emtif dan preventif sebagai SOP baku.
Menurut Sugeng, perintah Presiden Jokowi kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengawal investasi akan berpotensi institusi Polri bersikap represif dan melakukan pelanggaran HAM apabila tidak diatur dalam peraturan kepolisian. Baik itu melalui Peraturan Polri (Perpol) atau Peraturan Kapolri (Perkap).
“Keberpihakan pihak kepolisian terhadap investor ini tentu sangat memprihatinkan bila perintah presiden tersebut dijalankan Polri tanpa rambu-rambu ke depannya. Yang terjadi, justru rakyat semakin tidak berdaya mempertahankan hak-haknya dan berjuang memperoleh keadilan,” sambung Sugeng.
Konflik agraria
Konflik di desa Suka Mukti terjadi sejak tahun 1991 dan lama tidak terselesaikan. Petani terusir dari lahan dan kampungnya akibat diserobot perusahaan perkebunan PT. Treekreasi Marga Mulia (TMM). Akibat penyerobotan, tanah seluas 774 hektar tersebut tidak dapat diakses warga selama puluhan tahun.
Lahan 774 hektar tersebut dimiliki oleh 371 Kepala Keluarga (KK). Dari jumlah kepemilikan lahan ini, sebagian sudah diterbitkan BPN, sertifikatnya melalui program PTSL. Warga Desa Suka Mukti sebagian besar merupakan peserta transmigrasi SKPC 3 tahun 1981.
Sementara pihak BPN setempat telah menerbitkan tiga sertifikat HGU yang berbeda tapi di atas lahan yang sama dengan milik masyarakat. Anehnya kemudian, 36 SHM warga justru dibatalkan tanpa proses yang jelas seperti ajudikasi kepemilikan lahan.
Merasa tidak mendapat keadilan, petani kemudian menduduki lahan sejak 29 Oktober 2021 untuk mempertahankan dan membersihkan lahan miliknya.
Tindakan represif
Menurut kuasa hukum Warga Desa Sukamukti Pius Situmorang, terdapat ratusan aparat bersenjata lengkap mendatangi lokasi warga yang mendirikan tenda. Aparat mengintimidasi warga dengan mengatakan bahwa Surat Hak Milik (SHM) milik warga bodong.
“Padahal SHM itu dikeluarkan sendiri oleh Badan Pertanahan Nasional. Namun dikatakan bodong oleh petugas,” ujar Pius.
Kedatangan aparat memicu bentrokan hingga rentetan tembakan yang mengenai empat mobil milik warga. Akibat insiden tersebut, dua orang warga terluka.
Atas tindakan represif ini petani menuntut agar petani yang ditangkap secara sewenang-wenang dibebaskan oleh kepolisian. Mereka juga meminta agar Kepolisian menarik aparat dari lokasi.
Selain itu warga meminta kepada Komnas HAM menurunkan tim pemantau dan pemeriksa pelanggaran HAM yang terjadi. [DES]