Bung Karno berpidato di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945.

Koran Sulindo – Tokoh ideologi atau ideolog lazimnya merumuskan teori dan tindakan. Dalam kategori itu, Soekarno termasuk seorang tokoh ideologi. Soekarno menjanjikan rakyat di negeri jajahan bernama Hindia Belanda suatu kemerdekaan. Ia menulis dan berbicara tentang apa itu kemerdekaan, dan mengapa tiap-tiap bangsa di dunia berhak atas keadaan merdeka.

Tapi, Soekarno tak berhenti di situ. Ia mengungkapkan tentang Perang Pasifik, katanya pula perang itu akan berkembang menjadi perang dunia, lalu perang dunia bakal memicu perang kemerdekaan bagi bangsa-bangsa terjajah, termasuk Hindia Belanda yang kelak bernama Indonesia. Maka, rentetan iming-iming dan cara mencapai kemerdekaan telah membuat Soekarno menjadi peletak dasar ideologinya. Seperti beberapa tokoh pendiri bangsa yang juga merumuskan mengenai kemerdekaan dan cara menggapainya.

Ideologi yang dirumuskan Soekarno kemudian dikenal dengan nama Marhaenisme. Ideologi yang diakui sebagai kombinasi dari ideologi-ideologi yang pernah ada, terutama yang hidup di Indonesia. Bisa bilang Marhaenisme digali Bung Karno dari bumi Indonesia, meski ia dipengaruhi oleh banyak pemikir dan tokoh-tokoh dunia. Hasil galian utama adalah tumbuhnya rasa kebangsaan yang dengan itu menjadi reaksi atas penjajahan, dan juga keinginan untuk tetap memiliki relasi terhadap keagamaan yang hidup di tengah-tengah orang Indonesia kala itu.

Agar gagasannya mendapat tempat, Soekarno mendirikan partai politik, Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Organisasi akan membuat ideologi menjadi hidup dan bergerak. Ideologi tanpa organisasi, dalam hal ini partai politik, hanya akan mengendap di kepala atau sekadar menjadi perbincangan kaum pelajar. Suatu ideologi yang mati.

Soekarno juga menegaskan suatu negara, suatu bangsa, harus memiliki ideologi, memiliki dasar berdirinya.  Pidato tak tertulis Soekarno di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila, mengungkap tegas perlunya dasar bagi Indonesia merdeka. Dasar dan ideologi negara itu diberi nama: Pancasila.

Kemerdekaan bagi Soekarno, seperti ia ungkapkan dalam sidang itu ialah kemerdekaan politik (political independence/politieke onafhankelijkheid). Tidak lain dan tidak bukan. Dan yang disampaikan Soekarno kala itu adalah ideologi, dasar bagi negara yang belum dibentuk pada hari itu.

Pada pidato 1 Juni 1945 itu, Soekarno mengakui beberapa orang yang memberi ia inspirasi sedari muda. Satu diantaranya yang ia sebut ialah Dr Sun Yat-sen, bapak bangsa Republik Tiongkok. Nasionalisme, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat dari Sun Yat-sen oleh Soekarno diingatkan sebagai tiga dari lima dasar berdirinya Indonesia. Begitupun internasionalisme atau perikemanusiaan yang turut membentuk watak bangsa Indonesia selama ini, ditambah sikap relijius bangsa: periketuhanan. Inilah yang disebut Soekarno sebagai Pancasila.

Tapi, pelajaran-pelajaran yang diperoleh dari bacaan tertulis itu tak akan punya arti bila Soekarno tak menggali riwayat bangsanya. Tawaran Soekarno akan gagal dan tak dipercaya bila ia tak melakukan studi terhadap keadaan jiwa, keinginan, dan kebiasaan rakyat Indonesia. Dari serangkaian perjalanan dan perbincangan dengan rakyat itulah Soekarno merumuskan ajaran yang hidup, tak kaku, dan tak dogmatis.

Sebagai suatu ideologi yang hidup, Soekarno membuktikan bahwa bila kelima sila ini mau diperas lagi, bisa menjadi tiga atau Trisila, yakni: sosio-nasionalisme (perasan kebangsaan dan internasionalisme), sosio-demokrasi (demokrasi dan kerakyatan), dan ketuhanan. Tapi, penting dicatat bahwa demokrasi sebagaimana dimaksud Soekarno bukanlah berhenti pada tata pemerintahan, tetapi demokrasi dengan kesejahteraan. Soekarno menyebutnya sebagai politiek-economische demokratie. Lalu, bila Trisila ingin diperas lagi, bisalah menjadi: gotong royong (Ekasila).

Sejarah membuktikan ketepatan luar biasa salah seorang pendiri bangsa itu mengenai dasar-dasar Indonesia. Soekarno, seperti ditunjukkan dalam laku politiknya sedari muda, selama menjadi presiden hingga kejatuhannya, tak pernah mengingkari tentang ideologi-ideologi yang ada di Indonesia. Pada masa ia berkuasa, berbagai partai politik dengan ragam ideologi dibiarkan hidup.

Memang Bung Karno pernah membubarkan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, tetapi bukan bersebab ideologi partai tersebut. Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan tahun 1960, dibubarkan sebagai akibat pertentangan mereka dengan Soekarno. Masjumi menolak masuknya orang-orang komunis ke dalam kabinet, sedangkan Soekarno menginginkan agar seluruh wakil golongan nasionalis, agama, dan komunis terlibat membangun bangsa. Kedua partai itu makin terpojok di mata Soekarno lantaran terlibat dalam PRRI/Permesta, yang melakukan pemberontakan bersenjata.

Bagi Soekarno, dan sesungguhnya memang begitu suatu negara berjalan, partai politik boleh memiliki asasnya masing-masing. Partai politik silakan saja berasas hanya nasionalisme, sosialisme, demokrasi, kerakyatan, atau bahkan mendasarkan pada agama-agama yang dianut. Tapi di kehidupan bernegara, haruslah beasasakan  Pancasila.

Pancasila tak pernah melarang paham yang dianut oleh orang-per-orang Indonesia. Justru pada pemahaman ini Pancasila menjadi relevan. Sebab, ia adalah perasan dan himpunan dari pandangan-pandangan yang hidup dalam jiwa-jiwa orang Indonesia. Pancasila adalah himpunannya sekalian ideologi yang ada di Indonesia.  [Imran Hasibuan, Pemimpin Redaksi Koran Suluh Indonesia]