Mungkin tak banyak yang mengenal namanya, apalagi beliau bukanlah orang yang gemar publikasi. Namun, siapa pun yang mengaku sebagai pemerhati kebudayaan Jawa atau orang yang mengaku sebagai pencinta batik tentulah belum lengkap pengetahuannya apabila tak mengetahui namanya, meski barangkali belum pernah bertemu langsung dengan beliau semasa hidupnya atau belum melihat karya-karyanya
Namanya Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro. Beliau telah meninggal dunia pada 5 November 2008 lalu. Beliaulah orang Tionghoa pertama yang memperoleh anugerah derajat tertinggi keraton, karena dedikasi dan kontribusinya yang luar biasa terhadap kebudayaan Jawa.
”Ia bukan orang Tionghoa pertama yang diangkat sebagai abdi dalem karaton, tetapi dialah orang Tionghoa pertama yang memperoleh anugerah derajat tertinggi karaton, yaitu sebagai Panembahan Hardjonagoro,” tulis Prof Dr Rustopo, SKar, MS dalam bukuJawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro (2008).
Sepanjang hidup Go Tik Swan, ungkap Rustopo dalam buku tersebut, pada hakikatnya dilakoni untuk pencarian dan pemantapan jatidirinya sebagai Jawa yang ditakdirkan melekat sejak dilahirkan oleh ibunya.
Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro juga orang yang mendapat “titah” dari Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, untuk membuat Batik Indonesia. Bagi Go Tik Swan, seperti dipaparkan dalam otobiografinya, permintaan Bung Karno tersebut adalah amanat yang harus dijalankan.
”Terus terang, saya sangat terkejut dengan permintaan itu. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya. Perasaan bingung dan bimbang pun menjadi satu. Namun, karena itu amanat, bagaimanapun dan apa pun yang akan terjadi, saya harus menjalankannya,” tutur Go.
Go Tik Swan pertama kali berkenalan dengan Bung Karno semasa menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ketika itu, di dewan mahasiswa tingkat universitas, Go menjadi ketua seksi kebudayaan. Ia juga menjadi pengurus Ikatan Seni Tari Indonesia (ISTI).
Dalam acara Dies Natalis Ke-5 Universitas Indonesia pada 9 Februari 1955 yang dihadiri Bung Karno, Go Tik Swan tampil membawakan tari Gambir Anom. Setelah pertunjukan, Bung Karno menemui Go Tik Swan di belakang panggung. Bung Karno memberikan bunga kepada Go Tik Swan sambil memuji. “Tarianmu bagus,” kata Bung Karno seperti terungkap dalam otobiografi Go Tik Swan.
Ketika mendapat amanat dari Bung Karno untuk membuat Batik Indonesia, Go tidak langsung bekerja secara fisik, melainkan menempuh “perjalanan batin” terlebih dulu lazimnya orang Jawa, nglakoni.
Setelah olah batinnya dirasa cukup, Go pun mulai merancang dan menciptakan Batik Indonesia, yang hasilnya diterima dengan baik oleh Bung Karno dan kemudian dilegitimasi serta diperkenalkan oleh Bung Karno sebagai Batik Indonesia.
”Pada dasarnya, Batik Indonesia yang saya buat adalah hasil perkawinan batik klasik karaton—terutama gaya batik Surakarta dan Yogyakarta—dengan batik gaya pesisir utara Jawa Tengah, terutama Pekalongan,” tuturnya. Gaya batik klasik keraton Surakarta dan Yogyakarta yang introvert dikawinkan dengan gaya batik pesisir utara Jawa Tengah (Pekalongan, Juwana, Lasem) yang ekstrovert.
Teknik sogan, pewarnaan dengan soga, pada batik Surakarta dan Yogyakarta dikawinkan dengan teknik pewarnaan multicolor pada batik pesisir. Di samping itu, pola-pola perubahan bentuk pada batik Cirebon dan motif-motif tenun Bali kadang juga digunakan untuk menyemarakkan perkawinan kedua gaya batik tersebut.
”Kalau dulu dunia pembatikan Solo hanya kenal latar hitam, latar putih dengan sogan, dan pantai utara seperti Pekalongan hanya kenal kelengan berwarna, batas-batas itu dengan lahirnya Batik Indonesia menjadi terhapus. Namun, nilai-nilai falsafah dalam pola-pola batik masih yang lama,” ungkapnya. Landasan berpikir seperti itulah yang kemudian ia ungkapkan sebagai filosofi nunggak semi, yang diambil dari kata tunggak yang berarti ’tonggak’ atau ’tunggul kayu’ dan semi yang berarti ’tumbuh’, ’bersemi’, ’bertunas’. [*]