Koran Sulindo – Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Megawati Soekarnoputiri, yang juga merupakan perempuan pertama yang menjadi presiden di republik ini, kembali mendapat gelar doktor honoris causa pada Rabu ini (25/5). Yang memberi augerah doktor kehormatan itu kali ini adalah almamaternya, Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat. Megawati pernah menimba ilmu di Jurusan Pertanian Unpad, angkatan tahun 1965.
Sebelumnya, Megawati juga telah tiga kali mendapat gelar yang sama. Anugerah pertama diberikan oleh Wasseda University, Jepang. Yang kedua dari Moscow State Institute, Rusia. Yang ketiga dari MIT Ocean University, Korea Selatan.
Penganugerah gelar itu kepada Megawati di Unpad berlangsung di Grha Sanusi Hardjadinata. Menurut Ketua Tim Promotor Prof Dr H Obsatar Sinaga, Msi, penganugerahan gelar doktor honoris causa kepada Megawati didasari oleh perjalanan dan sikap politik Megawati yang dibagi menjadi tiga tahap.
Tahap pertama adalah masa sebelum Megawati menjadi Presiden Kelima Republik Indonesia. Tahap kedua adalah masa ketika Megawati menjadi presiden. Dan, tahap ketiga adalah masa setelah tak lagi menjadi presiden. “Menariknya, meski sudah tak lagi menjadi presiden, Megawati masih bisa menentukan siapa presiden berikutnya,” kata Obsatar, yang disambut tawa para tamu undangan yang hadir.
Pertimbangan lain Unpad memberikan gelar tersebut kepada Megawati adalah peran penting Megawati dalam mengawal konsolidasi demokrasi di Indonesia, pasca-dirinya menjadi mandataris MPR menggantikan Abdurrahman Wahid. “Saat menjadi presiden kelima menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati mampu mengawal proses konsolidasi demokrasi, salah satunya dengan memperluas otonomi daerah seluas-luasnya,” tutur Obsatar.
Dalam situs resminya, unpad.ac.id, pihak Unpad juga memaparkan, berbagai pemikiran dan kebijakan yang dihasilkan Megawati Soekarnoputri dapat memberikan kontribusi berharga bagi kalangan akademis, terutama bagi ilmuwan ilmu politik serta pemerintahan. Karena, Megawati memiliki aspek originalitas dalam hal pola pemikiran, kepemimpinan, dan konsistensinya dalam berpolitik.
Dalam orasi ilmiahnya, Megawati mengaku terharu mendapat anugerah itu. Megawati mengungkapkan, penganugerahan gelar tersebut mengingatkan dirinya kembali pada momen pertama saat dilantik sebagai mahasiswa Unpad. “Saya mengucapkan terima kasih atas pemberian gelar doktor honoris causa di bidang politik dan pemerintahan ini,” kata Megawati.
Dalam kesempatan itu, putri tertua Bung Karno ini mengungkapkan, menjadi presiden di era transisi demokrasi sekaligus menggantikan Abdurrahman Wahid tidaklah mudah. Karena, ia merasa tak dapat berbuat banyak karena dia menjadi presiden sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara yang dipilih langsung oleh rakyat.
Konsekuensi dari posisinya sebagai mandataris MPR itu: presiden hanya berkewajiban menjalankan program atau amanat MPR, bukan mewujudkan visi dan misinya membangun Indonesia.
“Satu hal penting yang ingin saya tegaskan dan menjadi pembeda bahwa saya adalah presiden mandataris MPR terakhir. Saya dipilih, diangkat, dan ditetapkan oleh MPR,” ujarnya.
Yang menjadi soal, visi pembangunan yang diamanatkan MPR kala itu sudah tak sesuai dengan kondisi zaman yang telah berubah, yakni transisi dari pemerintahan Orde Baru menuju pemerintahan demokrasi, yang menuntut keterbukaan dan kebebasan. Pada saat yang sama, katanya, situasi perekonomian Indonesia kala itu masih dalam masa pemulihan dari krisis moneter pada tahun 1998. “Semua kebijakan politik yang saya ambil merupakan pelaksanaan ketetapan MPR. Jadi, bukan presiden yang dipilih langsung dengan visi-misinya,” kata Megawati.
Ia pun berterus terang, betapa tidak mudahnya memulihkan kondisi ekonomi negara kala itu. Pekerjaan paling berat adalah membereskan permasalahan kredit macet yang mencapai lebih 300 ribu kasus di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Padahal, untuk penyelesaian kasus itu hanya diberi waktu selama tiga tahun. Pada saat yang sama, ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah sedang mencapai titik terendah.
Yang tak kalah peliknya, menurut Megawati, adalah ancaman disintegrasi bangsa. Karena, banyak daerah yang tak puas dengan pemerintah pusat berkeinginan merdeka atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Juga munculnya konflik sosial akibat keterpurukan ekonomi serta rendahnya kohesivitas sosial.
Megawati juga membicarakan soal lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan. “Pertama, terhadap sengketa Sipadan dan Ligitan, mari kita berdialektika. Betulkah Sipadan-Ligitan serta-merta lepas saat saya menjadi presiden? Peristiwa apa yang melatarbelakangi Sipadan-Ligitan kemudian dinyatakan sebagai wilayah Malaysia?” ujarnya.
Megawati pun mempersilakan para tamu undangan yang hadir di acara tersebut untuk mengoreksi dirinya jika penjelasan tentang Sipadan-Ligitan kurang tepat. “Di sini ada Menlu Kabinet Gotong Royong, Pak Hassan Wirajuda. Silakan dikoreksi jika yang saya sampaikan ini kurang tepat. Hal ini pernah disampaikan beliau dalam kuliah umum di Universitas Airlangga,” kata Megawati.
Pada dasarnya, lanjutnya, Sipadan-Ligitan bukan merupakan wilayah Indonesia jika didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4/Perppu/1960 tentang Negara Kepulauan, namun dua wilayah tersebut juga bukan merupakan wilayah Malaysia, sehingga keduanya kemudian memperebutkan dengan berbagai argumentasi.
Diungkapkan Megawati, sengketa kedua pulau tersebut sebenarnya telah terjadi sejak tahun 1967 dan Pemerintah Indonesia pada tahun 1996 melunak serta menyepakati untuk membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. “Suatu jalan dan cara penyelesaian yang tidak dapat ditarik kembali. Pada tahun 1997, masalah tersebut resmi memasuki proses persidangan,” tutur Megawati.
Ketika menjadi presiden, Megawati memerintahkan Menteri Luar Negeri untuk terus memperjuangan agar Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari NKRI. Namun, argumen yang diterima Mahkamah Internasional bukan karena Malaysia lebih dahulu masuk ke Sipadan/Ligitan. “Bukti sejarah yang diterima Mahkamah Internasional adalah dokumen dari pihak Malaysia yang membuktikan bahwa Inggris [negara yang menjajah Malaysia dan bagian dari Commond Wealth] paling awal masuk Sipadan-Ligitan, dengan bukti berupa Mercusuar dan konservasi penyu,” ungkapnya.
Akan halnya Indonesia, tambah Megawati, dianggap tidak memiliki hak atas wilayah kedua pulau tersebut karena Belanda (negara yang menjajah Indonesia) hanya terbukti pernah masuk ke Sipadan-Ligitan sekadar singgah sebentar, tanpa melakukan apa pun. “Dan putusan Mahkamah Internasional tersebut kebetulan ditetapkan pada tahun 2002 saat saya menjabat sebagai Presiden RI,” kata bunda dari Mohammad Rizki Pratama, Mohammad Prananda, dan Puan Maharani ini.
Acara penganugerahan itu dihadiri sejumlah tokoh, antara lain Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta istri, Mufidah Kalla. Tampak juga antara lain mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan beserta istri, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadi Muljono,
Tampak hadir pula anggota Dewan Pertimbangan Presiden Suharso Manoarfa, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Wakapolri Komjen Polisi Budi Gunawan, dan politisi senior PDI Perjuangan Emir Moeis.
Tak terlihat kader PDI Perjuangan yang kini telah menjadi presiden, Joko Widodo. Hanya tampak karangan bunga ucapan selamat yang dikirimkan atas nama Joko Widodo dan keluarganya, bukan sebagai presiden.
“Meraih gelar doktor akademis itu sulit karena harus melakukan proses penelitian, membaca, dan sebagainya. Tapi, meraih gelar doktor honoris causa jauh lebih sulit karena harus melalui proses puluhan tahun mengabdikan dirinya di masyarakat,” demikian diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam orasinya. [CHA/PUR]