Bung Besar
Soekarno/ist

Salah satu hal yang mutlak harus sempurna dari seorang Sukarno, adalah pakaiannya. Bahkan Bung Besar disebut-sebut sampai memastikan hal-hal terkecil pada pakaiannya termasuk lipatan baju, hasil setrikaan, masalah keserasian warna dalam kondisi sempurna.

Sebagai seorang yang perfeksionis tidak kesulitan bagi ia untuk merancang seragam kebesarannya. Bung Karno juga berprinsip harus rapi dan tampak gagah. Bahkan gaya penampilan Bung Karno itu berhasil membuatnya menjadi kiblat mode pria di Indonesia.

“Selama aku jadi presiden, seluruh mata bangsa Indonesia akan melihat dan memperhatikanku, termasuk pakaian yang aku pakai. Itu sebabnya aku selalu berpakaian rapi dan memakai peci hitam, yang aku harapkan menjadi ciri atau identitas bangsa Indonesia,” demikian ditulis dalam buku Sewindu Bersama Bung Karno.

Soal gaya berpakaian militer, rupanya Bung Karno punya alasan tersendiri. Menurut ia kalau berpakaian militer, maka secara mental dilingkupi kepercayaan diri. “Supaya kelihatan gagah dan tampan tak perlu biaya yang besar. Kita harus berpakaian yang pantas dan kelihatan sebagai pemimpin,” katanya. Bukti paling nyatanya adalah jas putih, safari lengan pendek dan panjang, atau baju bergaya militer beserta tongkat komando tak lepas dari citra seorang Sukarno.

Dengan adanya gaya baju putih lengan panjang dengan memakai saku militer maka serta merta orang-orang menamakannya “Jas Bung Karno “. Namun, waktu itu karena adanya hanya kain dril murahan, maka biasanya harus dikanji supaya licin dan rapi. Menjadi repot jika saat menganji, lalu takaran kanjinya  sampai kurang pas, maka ketika disetrika hasilnya tidak akan  licin dan rapi.

Di balik jas itu, Bung Karno memakai selembar kemeja. Mereknya adalah Arrow, dari Amerika. Itu adalah favortinya dan itu pula yang dipakainya waktu memaki-maki saat Amerika mendukung Belanda dalam persoalan Irian Barat.

Solihin Salam dalam bukunya Putera Sang Fajar, sempat menyebutkan bahwa semua celana  yang dikenakan oleh Bung Karno tidak ada sebuah pun yang dilipat pada ujung kakinya. Semua pakaiannya boleh dikatakan dibuat oleh tukang-tukang jahit terkenal di Jakarta, seperti misalnya M. de Koning dan Savelkoul.

“Pakaian seragam yang ia senangi berwarna coklat, abu-abu, dan putih. Sedangkan pakaian sipil lengkap, berwarna hitam dan biru tua dengan dasi merah tua,” demikian menurut Bambang Widjanarko, ajudan Bung Karno, dalam bukunya Sewindu Dekat Bung Karno

Sebagai warga sipil yang berjuang, Bung Karno pun kemudian memutuskan sendiri tata busananya, yaitu jas ditampilkan dengan kantong tempel yang berjumlah empat. Jadilah tata busana ini menjadi ciri ditambah dengan kopiah hitam, yang kemudian menjadi pakaian resmi warga sipil di masa perjuangan bersenjata.

Ketika peran Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia semakin menukik, tata busana ini kemudian sempat condong ke arah seragam militer dengan pencantuman pita-pita tanda jasa di dada. Namun gaya ini tidak lantas menjadi bersifat militer, karena Sukarno menempatkannya sebagai busana sipil melalui kopiah yang sangat merakyat.

Tata  busana yang khas seperti jas berlengan pendek tanpa dasi dipopulerkan kembali serta kemudian menjadi trendsetter dan diikuti oleh jajaran menteri pada Kabinet Dwikora, para direktur jenderal hingga camat dan lurah.

Dalam autobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams ada pernyataan juga yang berhubungan dengan Jas, yaitu:  “Selanjutnya kuanjurkan untuk tidak memakai sarung, bahkan dalam urusan pribadi. Pakaian tradisional pribumi ini menimbulkan pengaruh untuk merendahkan diri. Saat orang Indonesia memakai pantaloon, dia berjalan tegap seperti orang kulit putih. Tetapi begitu dia memakai sarung, dia berjalan dengan terus membungkukkan badan. Bahunya terkulai. Dia tidak melangkah dengan gagah, dia berjalan pelan seperti punya salah. Pada saat itu juga dia menjadi peragu dan suka merendahkan diri dan mudah tunduk.” Lalu Bung Karno juga mengatakan; “Kita akan mencari seragam yang paling murah, cukup dengan baju lengan pendek dan pantalon. Untuk kelihatan gagah dan tampan tidak perlu biaya yang besar. Kita harus berpakaian yang pantas, kita harus kelihatan sebagai pemimpin.”

Peci nasional yang pernah dikenakan Bung Karno, salah satunya ternyata berasal dari Bukit Tinggi. Hasil buatan tangan H. Sjarbaini, di rumahnya yang terletak di Kapeh Panji.

Merek Sandal yang dipakai adalah Bata. Sedangkan kaos oblong kesayangannya yang diproduksi perusahaan Cabe. Parfum yang selalu dipakai Bung Karno adalah Shalimar, sedangkan arlojinya yaitu dari merek terkenal, Rolex.

Mobil Bung Karno yang paling populer dibicarakan oleh publik ada dua, yakni Buick-8 hasil rampasan penjajah Jepang dan Chrysler yang merupakan hadiah dari Raja Arab Saudi.

Bung Karno sebagai orang yang pemilih dan sangat memperhatikan penampilan jelas tahu bagaimana mempresentasikan dirinya sendiri. Apalagi seluruh penampilannya itu ia rancang sendiri. Dan Bung Karno pun dikenal dunia sebagai si Indonesia Dandy

Ada catatan menarik dari Bung Karno yang pantas digarisbawahi, yaitu bahwa dirinya bukanlah anti pakaian adat. Malah sebaliknya Bung Karno adalah pecinta busana adat. Dia sangat mengapresiasi gubernur atau kepala daerah mengenakan baju adat. Misal Gubernur Aceh berpakaian adat Aceh atau Gubernur Bali berpakaian adat Bali. “Sedangkan untuk presiden atau menteri seyogyanya tidak berpakaian daerah, karena mereka adalah pemimpin-pemimpin seluruh Indonesia. Nanti apabila dia tidak menjabat lagi, barulah bebas boleh berpakaian apa saja yang dia senangi.” [NoE]