Foto ilustrasi - Image by Michal Jarmoluk from Pixabay

(Bagian kedua/terakhir. Bagian pertama telah dimuat pada 20 September 2021, pukul 18.00 di sini)

Oleh: Denny JA

Tak semua khalifah menyukai puisi dan filsafat. Masa kemunduran Islam dimulai dengan hadirnya penguasa yang tak suka bahkan antifilsafat.

Itu adalah Al-Mutawakkil (847-861). Ia lebih menekankan interpretasi tekstual atas kitab suci. Ia membawa dunia literasi saat itu keluar dari tradisi menggairahkan dunia filsafat dan rasionalisme.

Sang Khalifah ini, Al-Mutawakkil, bahkan menganggap meluasnya filsafat Yunani dan paham rasionalisme sebagai anti-Islam.

Namun, akhir dari masa kejayaan Islam dituntaskan oleh serangan milter.

Itulah tragedi, titik hitam yang melanda dunia literasi. Tanggal itu akan selalu diingat.

Tanggal 13 Febuari 1258, pasukan Mongol memasuki Baghdad dan kota lain. Tak tanggung-tanggung, selama 13 hari penuh, mereka menghancurkan kota.

Termasuk yang mereka bakar, rusak, dan luluh lantakkan adalah perpustakan House of Wisdom. Balaitullah Hikmah.

Sebanyak 400 ribu naskah dan buku mereka bakar. Dan naskah itu mereka buang ke sungai Tigris.

Para saksi mata menyaksikan. Betapa sungai yang tadinya berwarna coklat berubah menjadi hitam. Warna air sungai bercampur dengan warna kertas yang terbakar.

Sampul buku yang terbuat dari kulit dirobek paksa. Oleh pasukan Mongol, kulit buku itu mereka ubah menjadi sandal.

Perpustakaan terbesar di era keemasan Islam itu tak pernah bangkit lagi. Di samping secara fisik, koleksi perpustakaan itu sudah musnah total.

Yang lebih menjadi penyebab utama adalah absennya penguasa di dunia Muslim yang mewarisi spirit Harun Al Rasyid dan Al Ma’mun. Yaitu, penguasa yang mencintai filsafat, puisi, dan ilmu pengetahuan. Kecintaan yang membuat sang penguasa berinvestasi besar-besaran di dunia ilmu pengetahuan.

Tidaklah heran hasilnya kini sangatlah timpang. Populasi Muslim pada 2021 sebanyak 25 persen dunia. Tapi mereka hanya menyumbang hadiah Nobel sebanyak 1,4 persen saja.

Sementara total populasi Yahudi hanya 0.2 persen saja dibandingkan populasi dunia. Tapi, mereka menyumbangkan 20 persen dari hadiah Nobel. (2)

-000-

Buku ini berisi 30 transkripsi dari 30 video saya di Youtube. Sepanjang bulan Ramadhan 2021, selama 30 hari, setiap hari video saya muncul di akun Youtube Denny JA_World.

Setiap video berisi kata mutiara, riwayat hidup singkat, dan pemikiran para sufi serta filsuf Muslim.

Dalam serial 30 video itu, begitu sering latar masa keemasan Islam di abad 8-12 Masehi disinggung. Di masa awal video, para sufi dan filsuf di era masa keemasan itu yang banyak diangkat.

Walau masa keemasan Islam sudah surut, namun filsuf dan para sufi terus saja bermunculan. Para tokoh dari abad pertengahan hingga abad 21 juga disertakan dalam serial 30 video itu

Dibahas sufi dan filsuf di era keemasan Islam: Rabi’ah Adawiyah, Syams Ell Tabriz, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Al Khawarijmi, Ibnu Rush, Ibnu Sina, Ibnu Taimiyyah, dan Al Ghazali.

Juga dieksplor para sufi dan filsuf Muslim abad modern: Hazrat Inayat Khan, Muhammad Iqbal, Jalaluddin Al Afgani, Ali Shariati, hingga Nawal El Shaadawi.

Sungguh berbahagialah sebuah bangsa jika memiliki penguasa yang mencintai filsafat, sastra, dan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan, filsafat, dan sastra adalah ibu kandung peradaban. Sungguh ironi jika sang penguasa tak sungguh sungguh mencintai ibu peradaban.***

September 2021

CATATAN

(1) Tentang perpustakan penting di era itu yang mengawali masa keemasan Islam: House of Wisdom.

Dimitri Gutas (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʻAbbāsid Society (2nd–4th/8th–10th Centuries). Psychology Press. pp. 53–60. ISBN 978-0-415-06132

(2) Kultur Ilmu di dunia Muslim dan Yahudi kini sangatlah tertinggal.

https://www.google.co.id/amp/s/amp.fresnobee.com/opinion/letters-to-the-editor/article95792072.html

(Selesai. Bagian pertama dapat dilihat di sini)

Baca juga: