Laut Banda merupakan laut biru kelam yang memiliki palung dengan kedalaman mencapai 7.400 meter, hasil dari pertemuan tiga lempeng kulit bumi. Yaitu, lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik.
Kepulauan Banda yang terletak pada posisi 5°43–6°31 Lintang Selatan dan 129°44–130°04 Bujur Timur ini, mengalami iklim laut tropis dan iklim musim (muson) karena dikelilingi laut yang luas, sehingga iklim laut di daerah ini berlangsung seirama dengan iklim musim yang ada.
Tapi, tahu kah? Pulau Banda merupakan satu-satunya penghasil pala hingga abad 18 dan hingga saat ini. Kepulauan Banda merupakan daerah yang produksinya tidak berbasis pada pertanian. Selain rempah-rempah, buah kelapa, dan beberapa jenis buah lain, bahan makanan termasuk garam tidak diproduksi di Banda.
Hari ini kita mengenal rempah pala melalui pelbagai hasil olahannya, seperti es buah pala, manisan pala, keripik pala, sirup pala, dan masih banyak lagi. Tapi, di masa lampau, pala tidak sesederhana apa yang bisa dilihat dan dirasakan sekarang.
Tanaman yang menghasilkan buah pala ini, turut memiliki sejarah yang menjadikan pulau penghasilnya tujuan singgah dari banyak bangsa di dunia untuk datang, hingga membuat rute yang disebut sebagai Jalur Rempah.
Saat ini, kepulauan Banda meliputi 11 pulau, tetapi hanya 7 pulau yang dihuni dan ditanami pohon pala. Sedangkan 4 pulau lainnya dipenuhi batu karang yang tidak dapat dihuni atau ditanami tumbuhan.
Kekhasan kepulauan ini juga ditandai dengan tidak adanya aliran sungai. Kepulauan penghasil pala ini, baik latar depan maupun latar belakang, berhadapan dengan selat, teluk, dan laut terbuka.
Tetapi, hingga saat ini Kepulauan Banda tetap tidak kehilangan pesonanya melalui tanaman pala. Tanaman yang bisa hidup berkelanjutan dari angin dan curah hujan serta iklim di kepulauan Banda ini, juga sekaligus membuat masyarakat Kepulauan Banda mampu bertahan dari hasil rempahnya.
Melalui rempah pala ini, selain sebagai bahan tukar kebutuhan pokok masyarakatnya, juga menghadirkan banyak hal lain, misalnya dalam proses terbentuknya jalur perdagangan, hadirnya asimilasi budaya yang masih terasa sampai sekarang, dan menjadikan kepulauan ini sebagai sumber berbagai kajian dan riset.
Dalam sejarah kepulauan Indonesia timur, tercatat dua hal penting tentang kepulauan Banda. Pertama, sejarah pulau ini dapat dianalisa melalui jalur perdagangan dan dinamika wilayah perkebunan, untuk menentukan siapa yang melakukan penguasaan perdagangan pala.
Kedua, sejarah Banda sebagai kepulauan dan laut yang mampu menciptakan hubungan antara masyarakat, ekonomi, dan kebudayaan. Dengan kata lain, pelabuhan di Kepulauan Banda ini sebagai titik sekaligus tujuan para saudagar dari pesisir utara Jawa, Melayu, Arab, Tiongkok, India, dan Eropa untuk memperoleh Pala.
Itu juga sekaligus menjadi pintu masuk budaya dan bahan-bahan lain, yang turut serta terbawa dalam pelayaran para pelancong dari berbagai belahan bumi lain. Tentang hubungan masyarakat kepulauan Banda, hal ini bisa terjadi karena Kepulauan Banda membutuhkan sumber daya untuk kebutuhan mereka sehari-hari.
Dengan modal pala dan fuli yang dihasilkan, orang-orang dari luar kepulauan Banda pun datang dengan berbagai bahan yang dibutuhkan masyarakat Banda, sebagai alat tukar untuk mendapatkan pala. Fakta ini pun dengan jelas tergambar dalam Hikayat Lonthoir yang menyebutkan sebagai berikut: “Pulau Banda banyak pula didatangi orang-orang dari kepulauan sebelah timur. Sampai hari ini tempat itu pun disebut Pantai Timur.”
Hasil perniagaan ini pun pada akhirnya semakin dikenal, hingga pada akhirnya juga turut mendatangkan bangsa-bangsa lain ke Pulau Banda. Terlebih, terdapat lima pelabuhan di Kepulauan Banda, yakni Pelabuhan Naira, Orantata, Kombir, Selammon, dan Lonthoir.
Kelimanya dianggap sebagai pelabuhan yang menampung produksi pala dan fuli dari perkebunan masyarakat Kepulauan Banda, sekaligus sebagai pusat interaksi dan asimilasi budaya.
Klaim bahwa kepulauan Banda pada masa lampau begitu riuh dengan banyaknya bangsa asing yang singgah, dapat ditemui dengan adanya jejak tertentu. Misalnya, penemuan piring-piring keramik dari Dinasti Ming, serta pengaruh kebudayaan Tiongkok dalam kehidupan orang-orang Banda.
Bahkan, hampir di seluruh pesisir Maluku dapat ditemui artefak keramik Tiongkok. Selain keramik, pala yang dihasilkan di sini juga dipakai masyarakat Pulau Banda untuk melakukan pertukaran dengan kain tenun dan tekstil produksi pesisir barat India, yang dihasilkan negeri penghasil tekstil seperti Gujarat, Koromandel, dan Bengali. Di sini, pada puncak era perdagangan abad ke-15 dan 16, telah muncul pedagang grosir rempah-rempah.
Dalam catatan Kerajaan Portugis di Asia, disebutkan bahwa pedagang-pedagang Jawa dan Malaka setiap tahun berlayar ke Maluku dan Kepulauan Banda, membawa pakaian katun dan sutra dari Cambay, Koromandel, dan Bengali seperti yang sudah disebutkan tadi. Perjalanan mereka ke pelabuhan Banda melalui rute Jawa, atau selatan yang dapat singgah di sejumlah bandar di pelabuhan pantai utara Jawa, seperti Jepara dan Gresik.
Di Gresik para pedagang menurunkan sebagian pakaian tenun yang dibawa dari Malaka. Kemudian, melanjutkan pelayaran, singgah di Sumbawa dan Bima untuk mendapatkan pasokan air dan makanan. Di sana, mereka juga membeli beras dan kain tenun kasar yang juga diminati di Pulau Banda, untuk dipertukarkan dengan pala dan fuli.
Datangnya bangsa Barat juga turut mempengaruhi masyarakat Pulau Banda. Bukti akulturasi ini dapat pula dilihat dengan terdapatnya situs perkenier (perkebunan pala) yang muncul karena kedatangan Belanda.
Perkenier dibangun ketika orang-orang Belanda melakukan perombakan struktur perkebunan pala dari kekuasaan orang-orang Banda. Beroperasinya perkenier ini terjadi pada perempat kedua abad ke-17.
Hingga kini, situs perkenier yang masih utuh berupa gapura dengan tulisan berbahasa Belanda berada di Pulau Ai. Sementara itu, situs perkenier di Pulau Run yang tersisa hanya reruntuhan Benteng Eldorado. Perkebunan-perkebunan itu pada masa Kemerdekaan Indonesia, dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Fakta-fakta di atas tentu saja masih secuil dari banyaknya hal yang terjadi dan pelbagai efek lainnya, yang menyebabkan Pulau Banda begitu terkenal hanya dengan hasil rempah berupa pala dan fuli. Saat ini, sudah banyak produksi pala dan fuli yang dikembangkan oleh para petani pala di sana. [WIS]
Baca juga: