Ada yang menarik sehingga menggelitik pikiran. Ya, masalah transparansi, integritas dan kompetensi para penyelenggara negara, baik DPRD Kabupaten-Kota maupun DPR RI, bahkan pejabat negara dalam melaporkan harta kekayaannya.
Bukan bermaksud menghakimi, tetapi lebih kepada mempertanyakan komitmen para pejabat negara. Karena, berdasarkan data dari Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN nasional pada 2020, yaitu 96,7 persen dengan rincian eksekutif 96,81 persen, legislatif 90,54 persen, yudikatif 98,52 persen, dan BUMN dan BUMD 98,38 persen.
Kepatuhan pelaporan secara nasional bagi penyelenggara memang meningkat, tetapi tidak bagi anggota legislatif baik di tingkat DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Bagi anggota legislatif sebelumnya sangat patuh.
Berdasarkan data kepatuhan penyerahan LHKPN nasional pada 2019 sebesar 96,3 persen dengan rincian eksekutif 96,08 persen, legislatif 100 persen, yudikatif 98,11 persen, dan BUMN/D 98,17 persen.
Untuk kepatuhan LHKPN nasional 2020, bidang yudikatif hanya untuk dua lembaga, yaitu Mahkamah Agung yang membawahi sekitar 8 ribu hakim dan Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya di bidang eksekutif, ada 21 kementerian yang sudah melaporkan 100 persen LHKPN dari para pejabat yang wajib lapor, namun masih ada 12 kementerian yang kepatuhannya 75-99 persen dan hanya satu kementerian di bawah 75 persen.
Untuk legislatif rinciannya MPR 90 persen, DPR 55 persen, DPD 88 persen, DPRD provinsi 86 persen, dan DPRD kabupaten/kota 91 persen.
Kemudian, lembaga non-kementerian ada 46 lembaga yang sudah patuh 100 persen, sebanyak 16 lembaga kepatuhannya 75-99 persen, sembilan lembaga kepatuhannya 50-75 persen, dan satu lembaga kepatuhannya di bawah 50 persen.
Data yang dimiliki KPK menunjukkan, pada 2020 penyelenggara negara wajib menyerahkan LHKPN berusia kurang dari 40 tahun ada 98 persen, yang berusia 40-60 tahun ada 86 persen dan berusia lebih dari 60 tahun sebesar 85 persen.
Hal tersebut berbeda dari data 2019, yang menunjukkan penyelenggara negara yang wajib lapor harta kekayaan dan berusia kurang dari 40 tahun hanya 81 persen, sedangkan yang berusia 40-60 tahun sebanyak 97 persen, dan yang berusia lebih dari 60 tahun sebesar 90 persen.
Kondisi pada tahun tersebut sangat menjanjikan karena wajib lapor berusia di bawah 40 tahun, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sangat patuh LHKPN.
Sedangkan untuk BUMN/D, data KPK belum sempurna. Karena, informasi dari Kementerian Dalam Negeri ada sekitar 1.000 BUMD di Indonesia tetapi yang menyampaikan LHKPN ke KPK tidak sampai 100 BUMD.
Itu disebabkan karena banyak pemerintah kabupaten/kota bisa mendirikan BUMD, jadi banyak BUMD yang tidak aktif. Sementara untuk BUMN, ada kurang dari 10 BUMN yang belum 100 persen lapor LHKPN.
Data kepatuhan LHKPN untuk BUMN adalah ada 70 BUMN, sudah seluruhnya penyelenggara negara yang wajib lapor menyerahkan LHKPN 100 persen, 42 BUMN sudah lapor 75-99 persen, enam BUMN lapor 50-75 persen, satu BUMN lapor 25-50 persen, dan dua BUMN laporannya di bawah 25 persen.
Sebagai salah satu instrumen penting dalam pencegahan korupsi, LHKPN mengedepankan asas transparansi, akuntabilitas, dan kejujuran dari para penyelenggara negara, sehingga KPK meminta penyelenggara negara untuk menyampaikan harta kekayaannya tidak hanya tepat waktu, tetapi juga secara benar, jujur, dan lengkap.
Data di atas merupakan syarat bagi para penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal itu guna mengetahui data harta kekayaan mereka. Terutama dalam pencegahan tidak pidana korupsi.
Karena, kepatuhan LHKPN juga dapat dijadikan indikator sebagai langkah awal pencegahan korupsi. Tujuan KPK sendiri dalam hal ini tak lain adalah melakulan pencegahan terjadi tindak pidana korupsi.
Pertama, untuk mengendalikan diri agar terhindar dari praktik-praktik korupsi. Kedua, sebagai pertanggungjawaban kepada publik. Ketiga, memiliki komitmen untuk memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sebagaimana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, mewajibkan penyelenggara negara untuk bersedia melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, juga diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
Sementara, sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat 1 (a) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN.
Sulit?
Yang menjadi pertanyaanya, apakah sulit untuk melakukan laporan LHKPN? Sejak 2017, KPK memang tidak lagi menyediakan formulir cetak untuk LHKPN. Kini sudah ada sistem daring.
Setelah tidak melayani formulir, KPK pun telah meluncurkan aplikasi pelaporan kekayaan secara daring atau dikenal dengan e-LHKPN yang dapat diakses melalui situs www.elhkpn.kpk.go.id.
Dengan aplikasi tersebut, memungkinkan bagi para penyelenggara negara atau wajib lapor, untuk melakukan pengisian dan penyampaian laporan kekayaannya secara elektronik, kapan saja dan dari mana saja.
Karena, hanya terdapat empat proses pada e-LHKPN yang perlu dilakukan oleh wajib lapor, untuk dapat mengisi dan menyampaikan LHKPN hingga kemudian dipublikasikan. Yaitu e-Registration, e-Filing, e-Verification, dan e-Announcement.
Nah, bagi penyelenggara negara atau wajib lapor yang baru pertama kali menyampaikan LHKPN secara daring, harus memiliki akun dan telah diaktivasi terlebih dahulu.
Pada tahap e-Registration dilakukan proses pendataan dan pendaftaran oleh pengelola unit LHKPN (UPL), yang terdapat di instansi masing-masing. Pengelola UPL atau admin instansi biasanya melakukan pendataan pada Oktober hingga Desember tahun sebelumnya.
Adapun pengelola UPL atau admin instansi ditunjuk oleh pimpinan tertinggi berdasarkan surat keputusan. Tugasnya antara lain, mengelola dan melengkapi master data jabatan, dan juga mengelola data penyelenggara negara/wajib lapor yang meliputi penambahan, pengurangan serta penonaktifan, pembuatan, dan aktivasi akun penyelenggara negara/wajib lapor, serta monitoring kepatuhan instansi.
Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, pengelola UPL atau admin instansi berkoordinasi kepada KPK. Tahap selanjutnya adalah e-Filling, yaitu pengisian dan penyampaian LHKPN yang dilakukan secara online pada menu e-Filing pada aplikasi e-LHKPN dengan mengikuti petunjuk yang telah disediakan. [WIS]
Baca juga: