Forum internasional Jalur Rempah, yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbuddikti), yang bekerjasama dengan Yayasan Negeri Rempah, mengungkap fakta bahwa penjelajahan samudra oleh bangsa Eropa dengan alasan mencari rempah-rempah, sebetulnya terkait dengan kolonialisme juga.
Hal itu diungkap Bram Kushardjanto dari Yayasan Negeri Rempah dalam forum itu, akhir tahun lalu. Diakunya, banyak pedagang dan penjelajah Eropa berusaha mengeksplorasi lautan, untuk menemukan dan mencari sumber rempah-rempah yang sangat diminati penduduk negeri berhawa dingin itu. Namun, penjelajahan mereka tidaklah murni bisnis, tapi bermotif kolonialisme.
Kita tahu, banyak negara di Eropa berusaha mencapai daerah sumber rempah-rempah di Asia. Didorong oleh keberhasilan awal Henry sang navigator menjelajahi Afrika utara, untuk mengincar monopoli menguntungkan pada rute laut yang memungkinkan sampai ke tujuan Hindia, Portugis pertama kali melintasi Tanjung Harapan pada 1488 dalam sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Bartolomeu Dias.
Sembilan tahun kemudian pada 1497, atas perintah Raja Portugal Manuel I, empat kapal di bawah komando navigator Vasco da Gama mengitari Tanjung Harapan. Mereka melanjutkan perjalanan ke pantai timur Afrika, terus ke Malindi untuk berlayar menyeberangi Samudra Hindia menuju Kalikut di selatan Hindustan, ibu kota penguasa lokal Zamorin.
Kemudian pada September 1500, navigator Portugis Pedro Álvares Cabral yang memanfaatkan rute perjalanan Vasco da Gama, tiba di Hindustan (sekarang India), setelah sebelumnya kapalnya tertiup ke arah barat ke wilayah yang sekarang disebut Brasil. Setahun kemudian, dia pulang ke Portugal dengan memegang kontrol penuh atas rute laut arah Afrika.
Keberhasilan Kerajaan Portugal memacu semangat Spanyol bersaing dengan Portugal, demi perdagangan yang menguntungkan. Upaya awal pertama mereka dilakukan Christopher Columbus, namun gagal. Spanyol akhirnya berhasil dengan perjalanan Ferdinand Magellan. Pada 21 Oktober 1520 ekspedisi Magellan melintasi daerah yang sekarang dikenal sebagai Selat Magellan.
Pada 16 Maret 1521 kapal-kapalnya sampai di kepulauan yang sekarang disebut Filipina. Kemudian, dari sana dia segera mencapai Kepulauan Rempah-Rempah, secara efektif mendirikan rute perdagangan rempah ke barat yang pertama ke Asia. Magellan tewas di Filipina, namun salah satu kapal ekspedisinya berhasil kembali ke Spanyol pada 1522.
Menurut Encyclopædia Britannica 2002, ekspedisi Ferdinand Magellan dimulai pada 1519. Dari lima kapal yang berada di bawah komando ekspedisinya, hanya kapal Victoria satu-satunya yang berhasil kembali ke negerinya, Spanyol. Namun, kapal ini membawa bawaan penuh, sarat dengan cengkih, salah satu produk rempah-rempah yang berasal dari Maluku.
Negara Eropanya lainnya, Belanda, tertarik pula melakukan ekspedisi seperti yang dilakukan Portugal dan Spanyol. Kapal-kapal mereka pertama kali berlayar dari Amsterdam ke Hindia Timur (sekarang Indonesia) pada April 1595. Ini disusul konvoi kapal Belanda berikutnya yang berlayar pada 1598 dan kembali satu tahun kemudian, dengan membawa 600.000 pon rempah-rempah dan produk Hindia Timur lainnya.
Pada akhirnya, menurut Encyclopædia Britannica 2002, Belanda mendirikan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada 1602 dengan kewenangan penuh dari Jenderal Perkebunan Belanda. Prancis pun mendirikan Perusahaan Hindia Timur Prancis pada 1664. Sementara Inggris membentuk Perusahaan Hindia Timur Britania (EIC). Semuanya mengeruk rempah-rempah, terutama cengkih dan pala, selama awal abad ke-17.
Portugal, yang selama lebih dari seratus tahun menjadi kekuatan dominan, akhirnya menyerah terhadap kongsi perusahaan-perusahaan yang didirikan Inggris dan Belanda. Pada abad ke-19, kepentingan Inggris telah berakar kuat di India dan Ceylon (sekarang Sri Lanka), sementara Belanda memegang monopoli atas sebagian besar Hindia Timur atau Nusantara.
Memanasnya kompetisi perdagangan ini, menyebabkan negara-negara yang saling bersaing beralih ke cara-cara militer untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Pada 1641, Belanda menghabisi para pedagang Maluku Portugis, serta menghancurkan pohon cengkih dan pala di semua pulau lain, untuk menjaga pasokan dan mengontrol pasar penting rempah-rempah.
Hindia Belanda pada abad ke-17 dan 18 sebetulnya tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda, namun oleh perusahaan dagang VOC, singakatan dari Verenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Hindia Timur Belanda). Markasnya di Batavia (kini Jakarta).
Sejak semula VOC didirikan, tujuan utamanya memang untuk mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut.
Ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, misalnya, VOC yang dilengkapi pasukan militer membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi. Setelah itu, mereka lalu mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala.
Pada awal kedatangan para pedagang asing dari Belanda, rakyat di Nusantara menerima mereka dengan baik. Rakyat di berbagai daerah memandang perdagangan merupakan hubungan baik dengan siapa pun. Lalu VOC meminta keistimewaan hak-hak dagang, dan Parlemen Belanda pun memberikan hak penguasaan pasar (monopoli) itu kepada VOC pada 1602.
Lama-lama, perdagangan mereka berkembang menjadi penguasaan pasar atau monopoli atas produk rempah-rempah. VOC menekan para raja di seluruh wilayah Nusantara untuk melakukan perdagangan hanya dengan VOC.
Akhirnya, VOC bukan hanya menguasai perdagangan, tapi juga menguasai politik atau pemerintahan. VOC terus berusaha memperoleh kekuasaan yang lebih dari sekedar jual beli, dan ini kemudian berubah menjadi hubungan penguasaan atau penjajahan. [ahmadie thaha]
Baca juga: