Suluh Indonesia – Urgensikah amandemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945? Atau, adakah agenda tertentu dari rencana amandemen kelima UUD 1945 yang kembali muncul ke permukaan? Pasalnya, terdapat sekelompok orang yang mencoba memancing pendapat publik mengenai perubahan kelima UUD NRI tahun 1945 ini.
Kotak pandora amandemen kelima UUD 1945 yang selama ini tertutup rapat berusaha dibuka kembali. Ini terjadi seiring dengan rencana pihak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menambah pasal mengenai kewenangan lembaga tinggi negara ini menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Sejak akhir 2019, misalnya, telah bergulir wacana tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden tiga periode. Tapi ini kemudian nyaris tak terdengar. Begitu pula, isu penundaan Pemilu Serentak 2024 juga bernasib sama. Tapi isu itu, menjadi perhatian yang perlu diawasi.
Bisa saja mereka yang mendorong agar ada perubahan sebagai langkah cek ombak yang kemudian bersambut. Tapi, lagi-lagi isu yang terus digulirkan ini tidak langsung diterima begitu saja oleh publik, karena tidak ada “lampu hijau” dari publik.
Seandainya “lampu hijau” itu diterobos langsung tanpa menoleh, secara otomatis isu ini akan makin diperbesar, diperluas, dan bahkan terus menjadi wacana sehingga publik makin terpengaruh bahwa langkah itu memang menjadi sesuatu yang sangat diperlukan saat ini.
Wacana tersebut harus ditolak mentah-mentah, karena kondisi bangsa kini tengah dirundung pandemi Covid-19. Isu perubahan kelima UUD NRI tahun 1945 dikhawatirkan menjadi melebar ke mana-mana.
Tentu rakyat akan terus mengawal penyelenggaraan negara. Seperti yang disampaikan pakar hukum tata negara Hamdan Zoelfa bahwa kultur konstitusi ini sangat penting dalam rangka ajeg-nya penyelenggaraan negara, atau tidak selalu berubah-ubah.
Bila pun ada pemikiran seperti ini, belum tentu lima tahun lagi orang akan berpikir sama, karena pemegang kekuasaan bisa jadi berbeda. Kelak orang yang berkuasa selanjutnya, juga akan berpikiran sama.
Tentunya hal ini menjadi pertanyaan kapan selesai. Karena itu, etika dan budaya konstitusi menjadi sangat penting, tidak hanya melihat konstitusi dalam arti harfiah, tetapi etika penyelenggara negara itu menjadi sangat penting.
Baca juga: Saatnya Kembali ke UUD 1945!
Meski banyak dorongan yang berusaha mengeluarkan isu ini, tapi sejumlah kalangan wakil rakyat di Senayan nampaknya tak begitu sreg, karena mengatasi kondisi saat ini jauh lebih penting ketimbang membahas isu tersebut. Mereka menganggap pernyataan pimpinan MPR RI mengenai perubahan kelima UUD NRI 1945 belum merupakan representasi sikap lembaga negara itu.
Misalnya, pernyataan Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Idris Laena. Dia menyatakan bahwa pimpinan MPR belum mengadakan rapat gabungan dengan pimpinan fraksi-fraksi yang menjadi forum menyampaikan sikap resmi fraksi-fraksi dan kelompok DPD RI.
Tidak hanya seorang wakil rakyat, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) pun menggaris-bawahi bahwa keputusan akhir apakah perlu amandemen terbatas UUD NRI tahun 1945 atau tidak, itu tergantung pada dinamika politik dan para pimpinan partai politik untuk mengambil keputusan.
Dengan demikian, pengembalian kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN yang merupakan transformasi dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) hingga saat ini masih sebatas wacana.
Karena bagaimanapun, sikap pimpinan partai politik akan tercermin dari para anggotanya di parlemen, baik di DPR maupun Badan Pekerja MPR RI. Terlebih, konon ada arus besar yang mendorong agar MPR memiliki kembali kewenangan menetapkan PPHN.
Arus besar tersebut menginginkan agar bangsa Indonesia memiliki arah dan bintang pengarah dalam jangka panjang. Masalahnya, selama ini PPHN hanya diatur dalam sebuah undang-undang.
Ditambah lagi, dalam rekomendasinya, MPR RI meminta dan mendorong agar PPHN memiliki payung hukum lebih kuat, yaitu melalui ketetapan MPR. Adapun alasannya, bila pasal terkait dengan PPHN ini masuk dalam Tap MPR RI, semua patuh dan tidak bisa ditorpedo oleh peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Meski demikian, beberapa fraksi di DPR masih menolak hadirnya isu ini, karena saat ini belum ada urgensi untuk mengamendemen konstitusi. Sikap Partai NasDem sependapat bahwa amendemen konstitusi bukan merupakan agenda mendesak, bahkan cenderung bisa kontraproduktif dengan upaya penanganan pandemi Covid-19.
Pasalnya, isu amandemen sangat rentan untuk dipolitisasi dan diboncengi isu-isu ikutan, seperti masa jabatan presiden tiga periode, penundaan pemilu, maupun pemilihan presiden oleh MPR.
Isu-isu itu ditengarai bisa memancing kekisruhan berujung protes dan perlawanan publik. Kalau masyarakat sampai turun ke jalan, semua upaya penanggulangan pandemi bisa sia-sia.
Karenanya, menjaga iklim kondusif dan situasi politik yang stabil jauh lebih penting. Elite tidak perlu melempar isu yang tidak krusial, apalagi sampai bisa memicu kontroversi di tengah masyarakat.
Sebaiknya semua elemen fokus dengan bekerja secara optimal mengatasi pandemi dan membawa Indonesia keluar dari situasi krisis akibat Covid-19 saat ini. Intrik politik hanya akan membuat kacau.
Pasalnya, gagasan amandemen terbatas hanya untuk satu atau dua pasal akan sulit dilakukan karena norma konstitusi berkaitan antara yang satu dan lainnya.
Keinginan untuk melakukan amandemen terbatas atau hanya untuk memunculkan PPHN tidak bisa serta-merta begitu saja tanpa berdampak pada sistem ketatanegaraan saat ini, seperti kedudukan MPR sebagai lembaga negara serta kedudukan dan pertanggungjawaban Presiden.
Meski Pasal 37 UUD NRI 1945 memberikan peluang amandemen, namun keputusannya harus melibatkan publik secara luas, atau tidak bisa hanya pimpinan MPR atau sebagian fraksi di lembaga tinggi negara ini yang menentukan.
Perubahan amandemen konstitusi ini tentunya harus berbasiskan pada kebutuhan dengan keinginan yang kuat dari rakyat. Jadi, alangkah indahnya kita mendengar suara rakyat terlebih dahulu dengan penuh kearifan. [WIS]