Sulindomedia – Peci hitam atau kopiah menjadi salah satu simbol nasionalisme bangsa Indonesia dan lambang Indonesia merdeka, sebagaimana pernah diungkapkan Bung Karno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. “Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka,” ujar Bung Karno.
Karena itu, wajar dan sudah semestinyalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan akan kembali memopulerkan pemakaian kopiah di kalangan kadernya. PDI Perjuangan akan membagikan kopiah dan pin Bung Karno kepada seluruh kader di Indonesia.
Menurut Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Ahad (21/2/2016), dirinya setuju dengan gagasan Wasekjen PDIP Ahmad Basarah, yang mengusulkan agar kepribadian Indonesia yang disimbolisasi dengan kopiah hitam untuk digelorakan kembali oleh PDI Perjuangan.
Sebagai langkah pertama, Hasto akan menginstruksikan DPD PDIP Jawa Barat untuk memesan 1.100 kopiah untuk dipakai pada saat Rakerda Jawa Barat beberapa hari mendatang. “Dengan demikian, penggunaan peci dengan pin Bung Karno sebagai bagian dari identitas dan kepribadian Indonesia tersebut akan dicanangkan di Jawa Barat pada tanggal 23 Februari 2016,” kata Hasto.
Pada Desember 2015 lalu, PDI Perjuangan melakukan survei internal. Dari survei itu diketahui, 96,4% kader mengenal Bung Karno dan 87$ menyukai cara Bung Karno memimpin Indonesia. “Yang tidak kalah menariknya, 23,4 persen menyukai cara berpidato Bung Karno dan 16,5 persen menyukai peci Bung Karno. Atas dasar itulah Ahmad Basarah mengusulkan agar kepribadian Indonesia yang disimbolisasi dengan peci tersebut untuk digelorakan kembali oleh PDIP,” ungkap Hasto.
Menurut Hasto, peci atau kopiah tidak hanya memenuhi aspek kultural, namun mendapatkan pembenaran ideologis dan kesatupaduan dengan identitas Bung Karno, yang menjadikan peci sebagai bagian identitas nasional dengan keseluruhan watak kepribadian Indonesia.
Sebenarnya, kapan pertama kali Bung Karno memutuskan mengenakan peci hitam atau kopiah? Pada bulan Juni 1921, dalam rapat Jong Java di Surabaya. Awalnya, Bung Karno gelisah melihat kawan-kawannya yang tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat. Ketika itu, Bung Karno yang masih berusia 20 tahun mengaku sempat melakukan percakapan batin dengan dirinya sendiri.
“Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?”
“Aku seorang pemimpin.”
“Kalau begitu, buktikanlah. Majulah. Pakai pecimu. Tarik napas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!”
Begitulah awalnya Bung Karno mengenakan peci. Beliau kemudian mengombinasikan peci dengan jas dan dasi. Tujuannya, menurut Bung Karno, untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (yang dijajah) dan Belanda (kaum penjajah).
Bung Karno sejak itu hampir bisa dipastikan selalu mengenakan peci hitam saat tampil di depan khalayak. Begitu pula ketika Bung Karno membacakan pledoinya yang terkenal, “Indonesia Menggugat”, di Pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930.
Bung Karno sendiri bukanlah cendekiawan masa pergerakan yang pertama kali menggunakan peci. Pada tahun 1913, rapat Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di Den Haag mengundang tiga politisi Hindia Belanda sedang menjalani pengasingan di Negeri Belanda: Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Ketiga tokoh itu datang dengan menunjukkan identitas masing-masing.
Ki Hajar menggunakan topi fez Turki berwarna merah yang kala itu populer di kalangan nasionalis setelah kemunculan gerakan Turki Muda tahun 1908, yang menuntut reformasi kepada Sultan Turki. Tjipto mengenakan kopiah dari beludru hitam dan Douwes Dekker tak memakai penutup kepala.
Boleh jadi Bung Karno mengikuti jejak salah seorang gurunya itu: memilih peci beluderu hitam yang kemudian dikenal sebagai peci atau kopiah. Sikap Bung Karno untuk mengenakan kopiah itu pun berpengaruh luas.
Pada pertengahan tahun 1932, Partindo melancarkan kampanye yang diilhami gerakan swadesi di India, dengan menyerukan agar rakyat hanya memakai barang-barang bikinan Indonesia. Orang-orang pun mengenakan pakaian dari bahan hasil tenunan tangan sendiri yang disebut lurik, terutama untuk peci yang dikenakan umat muslim di Indonesia. Peci lurik mulai terlihat dipakai terutama dalam rapat-rapat Partindo. “Tapi Bung Karno tak pernah memakainya. Dia tetap memakai peci beluderu hitam, yang bahannya berasal dari pabrik di Italia,” tulis Molly Bondan dalam Spanning A Revolution.
Lalu, asal-usul peci atau kopiah itu sebenarnya dari mana? Seperti diungkap di atas, Bung Karno menyebut peci asli milik rakyat kita mirip dengan yang dipakai para buruh bangsa Melayu. Di Indonesia, orang menyebutnya peci atau kopiah. Orang Melayu di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan selatan Thailand, dan juga sebagian Indonesia, menyebutnya songkok.
Menurut Rozan Yunos dalam artikelnya yang dimuat di The Brunei Times pada 23 September 2007 lalu, “The Origin of the Songkok or Kopiah”, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam. Pada saat yang sama dikenal pula serban atau turban. Namun, serban dipakai para cendekiawan Islam atau ulama, bukan orang biasa. Menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar, tulis Rozan.
Toh, asal-muasal kopiah atau songkok menimbulkan spekulasi karena tak lagi terlihat di antara orang-orang Arab. Di beberapa negara Islam, sesuatu yang mirip songkok tetap populer. Di Turki ada fez dan di Mesir disebut tarboosh. Fez berasal dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Turki Ottoman. Di Istanbul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama fezzi atau phecy. Di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan menunjukkan dukungan muslim India atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran Ottoman. “Menurut beberapa ahli, ini adalah tutup kepala yang merupakan pendahulu songkok di Asia Tenggara,” tulis Rozan.
Peci juga sudah dikenal di Giri, salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa. Ketika Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, dia kembali ke Ternate dengan membawa kopiah atau peci sebagai buah tangan. “Peci dari Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah, terutama cengkih,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III.
Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya mengatakan, tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang terbuat dari beluderu hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk kerpus muslim. “Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang nasionalisme, peci punya makna lebih umum,” tulis Lombard. [PUR]