Koran Sulindo – Pengamat politik Karyono Wibowo mengatakan, penangkapan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah yang diduga telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi oleh KPK patut diapresiasi.
Tapi, kata Karyono, tentu saja KPK harus memiliki alat bukti yang cukup untuk menjerat Nurdin Abdullah, yang ditangkap melalui operasi tangkap tangan.
Karyono melanjutkan, bila Nurdin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka maka menambah jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi.
“Berdasarkan catatan KPK per Agustus 2020 jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi mencapai 300 orang sejak pilkada langsung 2005. Pada umumnya kejahatan korupsi melibatkan pejabat negara, birokrasi pemerintah, politisi dan pelaku usaha. Ada kong kalikong di antara mereka,” kata Karyono dalam keterangannya, Sabtu (27/2).
Banyaknya kasus korupsi, lanjut Karyono menunjukkan celah korupsi masih terbuka lebar. Untuk mengatasinya, kata Karyono tidak cukup dengan membuat regulasi. Selain regulasi diperlukan tindakan preventif dan penindakan.
“Itupun masih belum cukup efektif jika hulunya tidak diselesaikan. Maraknys kasus korupsi yang terus bermunculan meski sudah ada regulasi dan tindakan tegas tentu menimbulkan pertanyaan. Apa yang salah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini,” jelas Karyono.
Karenanya, ini menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Maka dari itu, kata Karyono bereskan hulunya, jangan hanya hilirnya. Antara hulu dan hilir harus selaras.
“Misalnya, mengapa kepala daerah banyak terjerat kasus korupsi. Salah satu penyebab utamanya adalah tingginya biaya politik elektoral hingga mencapai ratusan miliar,” ungkap Karyono.
Kasus serupa juga, kata Karyono, dialami para wakil rakyat yang terjerat kasus korupsi. Salah satu penyebabnya adalah tingginya biaya politik. Lantas mengapa banyak pejabat negara dan birokrasi di pemerintahan atau institusi negara yang terjerat kasus korupsi? Penyebabnya diduga ada transaksi jual beli jabatan.
“Di luar persoalan yang menjadi sumber penyebab korupsi, ada sejumlah masalah yang saling berkelindan, yaitu masalah mental dan budaya seperti gaya hidup mewah, keserakahan bagi sebagian masyarakat kelas menengah-bawah, masalah kesulitan ekonomi juga bisa menjadi sumber penyebab tindak kriminal seperti mencuri, merampok, mencopet, menipu dan korupsi,” jelas Karyono.
Persoalan lain yang sering muncul, lanjut Karyono, adalah instrumen hukum menjadi alat politik. Hal ini juga berpotensi mengganggu agenda penegakan hukum.
“Jadi selama hulunya tidak diselesaikan maka selamanya korupsi sulit diberantas. Jika tidak ada kebijakan yang holistik, maka KPK dan aparat penegak hukum lainnya selamanya hanya menjadi tukang tangkap koruptor,” pungkas Karyono. [WIS]