Sulindomedia – Penolakan atas disahkannya Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terus terjadi. Salah satu datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Bahkan, Apindo berencana melakukan uji materi atau judicial review atas undang-undang itu.
Kendati begitu, Apindo masih mengharap ada perubahan dengan melakukan amandeman Undang-Undang Tapera. “Kami mengharap tidak sampai diuji materi, namun dapat diselesaikan dengan amandemen Undang-Undang Tapera,” ujar Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani di Jakarta, Jumat (26/2/2016).
Menurut Hariyadi, sebenarnya persoalan penyediaan perumahan ini dikelola dalam satu wadah pendanaan. Hal tersebut dilakukan agar dana yang terhimpun lebih besar dan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan menjadi ringan. Namun, katanya lagi, dengan hadirnya Tapera, pengelolaan dana perumahan telah terpecah menjadi dua. Saat ini, program Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan telah mengalokasikan dana untuk perumahan juga. Padahal, dengan penggabungan dana kelolaan JHT untuk fasilitas perumahan yang mencapai Rp 54 triliun, anggaran FLPP Rp 33,3 triliun, serta Bantuan Tabungan dan Uang Muka Perumahan yang mencapai Rp 10 triliun, hal tersebut lebih dari cukup untuk dialokasikan dalam program penyediaan perumahan.
Sementara itu, Ketua Komisi Kebijakan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Soeprayitno mengatakan, Tapera tidak memberikan keadilan bagi rakyat. Karena, semua masyarakat diwajibkan membayar iuaran namun kepastian mendapat rumah belum terjamin.
Hal senada juga dikatakan Direktur Eksekutif . Indonesia Property Watch (IPW), Ari Tranghanda. Menurut dia, Undang-Undang Tapera terkesan lebih mengutamakan kepentingan dalam pengelolaan dana Tapera dan tidak berorientasi pada kepentingan rakyat. Ia mempertanyakan mekanisme penyaluran dan sampai sejauh mana Tapera dapat berperan.
Menurut kajian IPW, ada beberapa hal yang berpotensi menimbulkan masalah terkait terbitnya Undang-Undang Tapera. Pertama: penyediaan rumah bagi masyarakat berpengahasilan rendah (MBR) khususnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Tanpa ingin melempar tanggung jawab, Ari berpendapat, semua yang berkaitan dengan public housingseharusnya pemerintah berperan penuh, termasuk dalam pendanaan. “Dalam hal Tapera, kehadiran pemerintah dalam hal pendanaan boleh dibilang tidak ada karena semua dana berasal dari masyarakat,” tutur Ari dalam siaran pers-nya, Jumat ini juga.
Kedua: Tapera seharusnya lebih sebagai nirlaba dan tidak diperlukan manajer investasi dalam pengelolaan dananya. Menurut Ari, biaya yang dikeluarkan untuk manager investasi, biaya karyawan, biaya operasional, dan lain-lain membuat beban biaya tinggi yang akan membebani pemerintah atau nantinya lebih berorientasi komersial. Ketiga: penunjukan manajer investasi sebagai pengelola dana Tapera, selain biaya yang ada, juga punya risiko kerugian. Ari berpendapat, bila hasil kelola merugi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, manajer investasi tidak bisa disalahkan karena kerugian investasi. “Sangat ironis karena dana Tapera merupakan pertanggungan terhadap uang rakyat,” katanya.
Keempat: pengawasan yang dilakukan seharusnya melibatkan wakil dari peserta Tapera, dalam hal ini masyarakat dan para pengusaha. Kelima: perihal sebagian modal dana Tapera akan dialirkan dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan potensi dana Rp 33 triliun merupakan bentuk ketidakpahaman pemerintah mengenai konsep yang berbeda antara Tapera dan FLPP, sehingga tidak dapat secara langsung menjadi disamakan dengan Tapera. Keenam, Tapera tidak menyentuh masyarakat informal menjadikannya sebagai instrumen yang bukan problem solveratas permasalahan perumahan yang ada saat ini.
Lebih lanjut Ari mengatakan, dengan beberapa hal diatas dapat dipastikan banyak pihak yang mengkhawatirkan banyaknya celah yang dapat dimasuki kepentingan pihak tertentu. Karena, dana Tapera yang terkumpul dapat mencapai Rp 50 triliun setahun. Menurut Ari, dana ini dengan kelolaan manajer investasi dapat bertendensi ke arah komersial dan menjadi bancakan pihak-pihak tertentu. “Kami meminta secara khusus kepada pemerintah untuk menyikapi secara kritis penyelenggaraan Tapera ini dari sisi pengawasan dan implementasinya di lapangan. Jangan semua mengatasnamakan kepentingan rakyat, namun terselip beberapa hal yang justru membuat rakyat ‘ditipu’,” katanya. [PUR]