Koran Sulindo – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendesak semua pihak agar membuka data penghitungan suara atau real count partai politik termasuk Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Langkah tersebut ditempuh sebagai bentuk transparansi dan kejujuran sekaligus agar tak dianggap sebagai pembodohan terhadap masyarakat.
Menurut Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto Hasto menyatakan PDI-P siap membuka data real count ke publik dan beradu dengan data real count dari BPN Prabowo-Sandi.
Ia menyebut data yang dikumpulkan PDI-P, merupakan data asli yang berbasis pada hasil pemilu yang tertuang dalam C1 Plano di setiap kecamatan.
“Meski kami memiliki data real count, tetapi kami tetap menunggu hasil resmi dari KPU karena kami percaya rekapitulasi dari KPU. Seluruh partai politik yang telah menandatangani deklarasi damai juga seharusnya menerima hasil pemilu. Bagi yang tidak puas dapat mengajukan gugatannya ke Mahkamah Konstitusi,” kata Hasto di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta, Jumat (19/4).
Ia juga menerangkan saat ini, data real count yang dihimpun Badan Saksi Pemilu Nasional Pusat PDI-P baru mencapai 7,22 persen atau sekitar 80.000 TPS. Dari 7,22 persen suara yang masuk, PDI-P mencatat Jokowi-Amin meraih 63 persen sedangkan Prabowo-Sandi 37 persen.
“Ini bagian transparansi ke publik, terlalu bahaya untuk urusan strategis kalau isinya main klaim. Tiga kali yang diumumkan Prabowo itu datanya berbeda-beda, tapi katanya semua sudah fiks,” kata Hasto.
Ia juga menyinggung pentingnya kejujuran dalam menampikan data dan informasi ke publik dan siap diadu dengan data milik BPN Prabowo-Sandiaga maupun Gerindra.
“Kalau KPU mau membandingkan antara data kami dengan Gerindra, BPN kami juga siap untuk dicek sistemnya, ahli IT, data-data masuk, dokumen C1 bisa saja dicek secara random, kan bisa dilakukan cek,” kata Hasto.
Lebih lanjut dalam kesempatan itu Hasto juga menyayangkan sikap koalisi partai politik pengusung Prabowo-Sandi tak bersikap konsisten terhadap hasil hitung cepat atau quick count yang dilakukan sejumlah lembaga survei.
Di satu sisi mereka mempercayai hitung cepat untuk pemilu legislatif namun di sisi lain enggan mengakui hasil Pemilu Presiden.
Bahkan, koalisi partai pendukung itu turut mendeklarasikan pasangan Prabowo-Sandiaga sebagai presiden dan wakil presiden terpilih versi perhitungan suara internal BPN.
“Ironi ketika quick count parpol diterima kemudian untuk quick count Pilpres tidak diterima. Kemudian mengadakan secara sepihak melakukan tiga kali pernyataan menang dengan data yang selalu berbeda-beda tersebut,” kata Hasto.
Menurut Hasto, sikap Prabowo tak mengakui hasil hitung cepat lembaga survei Pilpres 2019 berbeda saat merayakan kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Waktu itu, kata Hasto, Prabowo yang didampingi Anies-Sandi langsung merayakan kemenangan pascahitung cepat memenangkan Anies-Sandi.
Sedangkan pada Pilpres kali ini, Prabowo menolak hasil hitung cepat yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf dan justru mendeklarasikan kemenangannya sendiri versi hitungan internal.
Padahal, hitung cepat yang dilakukan lembaga survei di kedua Pemilu tersebut sama-sama menggunakan metode ilmiah. “Pak Prabowo di DKI yang memenangkan Pak Anies-Sandi juga menggunakan quick count instrumen hitung cepat yang bisa dipertanggungjawabkan keakuratannya dari aspek metodelogi,” kata Hasto.
Ia juga menambahkan, berbeda dengan sikap BPN yang mengklaim kemenangan, PDIP maupun Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin tetap menunggu hasil rekapitulasi suara KPU. [TGU]