Mafia Pangan terus berjaya. Kebijakan satu data mungkin sedikit membantu melawan mereka.
Koran Sulindo – Wajah Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) terlihat letih dan agak geram sore itu. Belum 6 bulan sebelumnya pengusaha perikanan itu diangkat menjadi menteri oleh Presiden Joko Widodo. Pada April 2015 itu Susi habis 6 jam rapat di salah satu ruangan di kementeriannya, membahas upaya swasembada garam dan keinginan KKP menertibkan impor garam melalui satu pintu, PT Garam. Langkah itu untuk mencegah masuknya garam industri ke pasar konsumsi, yang menyebabkan harga jual garam lokal anjlok.
Rekomendasi tuan rumah tak digubris Kementerian Perdagangan dan asosiasi importir garam. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag saat itu, Partogi Pangaribuan, beralasan kalau satu pintu biaya ekonomi menjadi tinggi. Dan 2 bulan kemudian, Kemendag menerbitkan izin impor garam sebanyak 1,5 juta ton per 30 Juni 2015. Saat itu harga garam petani lokal hanya berkisar Rp 350 per kilogram, dan importir menjual ke pasar dengan harga tinggi, hingga Rp 1.500 per kg. Bagian terbesar dari bisnis pergaraman tak mampir ke kantong petani.
“Saya kecewa keinginan negara untuk kepentingan rakyat tidak diapresiasi,” kata Susi.
Dan itu menjadi kekalahan pertama Susi. Tahun itu, setelah rapat 6 jam itu, tetap seperti tak ada yang berubah dalam dunia pergaraman tanah air. Sepanjang 2015 itu kekurangan pasokan garam nasional hanya sekitar 362.000 ton, namun realisasi impor garam hampir 10 kali lipat, yaitu 2,2 juta ton.
Dalam neraca garam nasional BPS, produksi garam nasional mencapai 3,1 juta ton, sementara kebutuhan hanya 3,4 juta ton. Tahun berikutnya impor garam lebih gila-gilaan: 3 juta ton.
Pada 2017 lagi-lagi Susi harus kalah. Mulai Februari tahun itu, seperti deretan peristiwa rutin tak terelakkan, media massa mulai dipenuhi berita garam mulai langka di berbagai daerah. Harga di pasar terus merangkak.
Puncaknya, karena pasokan ke pasar-pasar masih terbatas, garam jadi langka. Akibatnya harga naik antara 100 persen hingga 200 persen.
KKP menyatakan kelangkaan garam belakangan ini karena industri garam rakyat banyak yang gagal panen gara-gara cuaca yang tidak mendukung pengolahan garam.
Kemendag bergerak cepat, memberikan kuota impor untuk PT Garam 75.000 ton garam konsumsi. Kementerian ini seolah lupa karena soal impor inilah Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad Budiono menjadi tersangka kasus manipulasi izin impor pada Juni lalu. Dalam kasus ini, Susi mengatakan ada indikasi kasus itu merupakan jebakan.
Karena kasus itu Susi mengatakan ada kemungkinan pemerintah bakal melakukan revisi terhadap Permendag itu.
Pada Juni 2017, Kemendag memproses revisi Peraturan Menteri Perdagangan nomor 125 tahun 2015 tentang impor garam. Dalam aturan baru nanti, rekomendasi impor garam hanya dipegang KKP. Namun belum lagi sebulan berlalu, proses revisi itu terhenti. Pada 14 Juli lalu beleid itu berubah lagi: hanya Kemendag yang akan memberikan izin impor garam industri untuk menjamin kebutuhan industri. Izin impor tidak lagi membutuhkan rekomendasi dari KKP.
“Rekomendasi itu diserahkan selama setahun diberikan KKP kepada Kemendag supaya tidak menganggu investasi yang ada di Indonesia,” kata Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi, seusai mengikuti rapat tentang garam industri di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, 14 Juli 2017.
Rapat itu dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla dan dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perindustrian Airlangga Hartanrto, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Impor garam industri sebelumnya memerlukan rekomendasi Kementerian Perindustrian, sementara rekomendasi garam konsumsi dari KKP. Setelah ada regulasi baru, yakni UU Nomor 7 Tahun 2016 tadi, izin impor dikeluarkan oleh KKP. Namun, rekomendasi izin impor garam oleh KKP tidak membedakan antara garam konsumsi dan garam industri.
Keputusan rapat ini menurut Sofyan diambil sebagai solusi menipisnya garam industri dalam beberapa bulan terakhir. Agar perusahaan yang sudah kehabisan garam bisa segera mengimpor lagi.
“Izin keluar hari ini,” kata Mendag Enggartiasto Lukito, hari itu juga.
Siapa yang mendapat jatah impor? Tak ada dalam pemberitaan media massa baik cetak maupun online, tapi nampaknya kisah para begal yang disebut Rizal Ramli pada 2015 masih belum berakhir. Tahukah dari mana angka kuota garam ini ditemukan? Bukan, bukan dari kantor KKP, bukan dari Kemendag, tapi dari rapat asosiasi importir garam. Dan tahukah permohonan rekomendasi izin ini disetujui begitu saja tanpa verifikasi kementerian terkait.
Dan Susi kalah lagi. Sebulan sebelumnya ia harus mengaku kalah lagi sebenarnya, setelah pada Mei 2017 terpaksa memperpanjang izin penggunaan cantrang karena desakan dari sana-sini.
Di Tikungan Jalan
Susi bukan satu-satunya pendekar yang berusaha melawan mafia pangan yang akarnya jauh ke masa Orde Baru Soeharto dulu. Menteri Pertanian Amran Sulaiman juga sejak awal bertempur. Tapi para begal yang sering menunggu di tikungan jalan itu seperti tak pernah kalah. Tak habis-habis; mati satu tumbuh seribu.
“Dia punya modal besar, dia punya jaringan ke mana-mana, dan tidak jelas pelakunya, ada di area yang abu-abu. Itu perusahaan besar, bukan kecil. Ada salah satu perusahaan bisa untung sampai triliunan rupiah,” kata Amran, di Jakarta, akhir Januari lalu, seperti dikutip kumparan.com.
Amran bersaksi setiap ada perusahaan yang terlibat mafia pangan ditutup Kementan, buzzer-buzzer-nya menyerang balik. Bahkan data-data Kementan selalu dipersalahkan.
Menurut Amran, para begal itu juga tega mendistribusikan pupuk palsu.
“Rakyat miskin dengan uang pas-pasan dari KUR, tiba-tiba pupuknya palsu. Berharap 3 bulan panen tapi padinya malah mati, modalnya habis, utang menumpuk. Banyak saudara kita di desa, di kaki gunung, tidak mampu lalu diberi pestisida palsu, pupuk palsu, beras oplos. Mafia mengambil keuntungan sebesar-besarnya, tidak ada perikemanusiaannya,” katanya.
Amran tak mengelak jika di kabinet Joko Widodo yang masuk jaringan mafia pangan.
“Jangan pura-pura bertanya lah. Di mana-mana ada,” kata Amran.
Mafia pangan yang membuat harga jadi mahal, menyedot bagian terbesar keuntungan ke sakunya sendiri, dan tega membuat rakyat menderita.
Hanya sekadar contoh, terdapat disparitas harga antara 100-300 persen karena permainan mereka. Harga cabai di petani mialnya Rp 10 ribu per kg, di pasar naik pesat menjadi Rp 30 ribu padahal cuma beda 5-10 km. Impor bawang putih dengan harga Rp 5.600 per kg, namun tiba di Indonesia harganya menjadi Rp 50 ribu per kg, naik hingga 1.000 persen.
Beras adalah komoditi pangan yang terlihat menyolok, terutama karena makanan pokok di Indonesia. Menurut data BPS pada 2018 terdapat surplus beras 2,8 juta ton, ada impor 1,7 juta ton, stok Bulog mencapai 2,2 juta ton, tapi harga beras tetap naik.
Stok banyak, suplai banyak. Mengapa harga naik? Supply demand tidak berlaku? Apa yang terjadi? Jelas ada yang menyalip di tikungan.
Data, Data, Data
Alasan terbesar masih berjayanya para mafia, selain karena sumber daya mereka yang raksasa, adalah di internal pemerintahan sendiri masing-masing berkeras pada data milik mereka. Pembenahan data pangan adalah asal semua masalah ini.
Awal tahun lalu Presiden Jokowi memerintahkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) membenahi data pangan itu, dan semua data produksi harus berasal dari 2 lembaga itu.
BPS dan BPPT menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA)menggunakan satelit milik Lembaga dan Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geospasial, serta peta administrasi BPS untuk mengambil contoh sample dari titik-titik koordinat yang ditentukan dalam pendataan data produksi pangan.
Hasilnya diumumkan Oktober 2018 lalu. BPS menyatakan luas baku sawah berkurang dari 7,75 juta hektare tahun 2013 menjadi 7,1 juta hektare tahun 2018. Sementara potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10,9 juta hektare, produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras dan konsumsi sebesar 29,50 juta ton. Dengan demikian, Indonesia mengalami surplus beras 2,85 juta ton selama 2018.
“Data beras sudah disampaikan BPS. Semua akan pakai data itu. Semua kementerian,” kata Presiden Jokowi, di ICE BSD, Banten, Oktober 2018 lalu.
Kementan menyatakan siap menggunakan data baru BPS itu sebagai acuan. Dalam data BPS cara baru itu, Indonesia memiliki potensi surplus beras 2,85 juta ton hingga akhir 2018. Jumlah itu jauh lebih rendah daripada data Kementan sebanyak 13,03 juta ton.
Sementara itu, Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah BPPT, Yudi Anantasena mengatakan, meski data hasil hitung produksi padi BPS menunjukkan adanya surplus beras, tidak bisa serta merta dikaitkan dengan kebijakan impor beras.
“Surplus itu terdapat pada petani, produsen, dan konsumen. Angka tersebut diharapkan dapat diuji kembali apakah aman untuk produktivitas padi. Masih banyak indikator lain yang digunakan pengambil keputusan untuk mengeluarkan kebijakan impor tidaknya beras,” kata Yudi, di Kantor BPS, Jakarta, seusai rilis data baru itu.
Yudi berharap, metode ini dapat digunakan selama beberapa tahun k edepan, seiring maintenance yang juga akan terus dilakukan guna peningkatan akurasi data. Pengembangan KSA ini dapat juga untuk pengembangan tanaman jagung atau komoditas pangan lain yang dirasa perlu untuk dikaji lebih dalam perhitungan produksinya, seperti kakao dan kopi.
Program baru BPS itu sesuai kebijakan pemerintah tentang “satu data dan satu peta”. Dalam kebijakan itu data pangan hanya bersumber dan dikoordinasikan oleh BPS, sedangkan data peta dikoordinasikan Badan Informasi Geospasial (BIG).
“Hingga saat ini, satu-satunya lembaga statistik resmi yang memiliki otoritas dan kompeten adalah BPS. Jadi bila ada pihak lain yang merasa memiliki data-data pangan maupun metodologi silahkan dikomunikasikan dengan BPS,” kata Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementan, Suwandi.
Gugatan terhadap kualitas data pangan berulang kali muncul. Data adalah pangkal semua kebijakan publik di mana pun di dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Setelah data baru ini di tangan, lantas apa? Yang pasti, begitu data hasil metode baru sudah diperoleh, BPS harus melakukan peramalan ke belakang (backcasting), bisa 10 atau 20 tahun ke belakang, dan tak perlu dikaitkan dengan pemerintahan saat itu. BPS juga perlu melakukan berbagai penyesuaian data-data dan indikator ekonomi lainnya.
Dengan data pangan yang akurat, jalan tikus para mafia pangan sedikit tertutup. Setelah itu adalah kerja-kerja tiap hari agar mereka sulit membuat jalan baru. Setelah itu jelas harus ada ketegasan pemimpin agar kebijakan impor tak dijalankan dengan menerabas undang-undang, peraturan menteri, dan lain-lain dengan alasan apapun, seperti terjadi pada impor garam pada 2015 dan 2017 lalu. Impor garam itu tak hanya melanggar hukum tapi membuat Menteri Susi kecewa dan mempertanyakan keinginan negara untuk kepentingan rakyat tidak diapresiasi.
Semoga Bu Susi tak kecewa lagi. [Didit Sidarta]