Aksi menentang coalruption. Foto: @greenpeaceid

Koran Sulindo – Ada potensi besar korupsi di sektor batubara. Uang haram dari sektor ini disinyalir mengalir untuk pendanaan kampanye politik.

Demikian diungkapkan dalam laporan gerakan yang diberi nama #BersihkanIndonesia, yang bertajuk “Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batubara”, yang dirilis 17 Desember 2018 lalu. Gerakan ini dibuat oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau lembaga masyarakat sipil. LSM itu adalah Greenpeace, Jaringan Advokasi Tambang, Indonesia Corruption Watch, dan Auriga.

Menurut mereka, dengan pertumbuhan yang cepat dalam 20 tahun terakhir, sektor batubara telah menjadi salah satu sumber utama pendanaan politik di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah. “Pemain kunci di industri batubara memainkan peran penting dalam Pemilihan Presiden 2019, baik di tim kampanye Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Para calon dan tim inti kampanye berbisnis dan terkait dengan sektor batubara,” kata mereka sebagaimana tertera dalam laporan tersebut.

Lebih lanjut dipaparkan, di tingkat provinsi dan kabupaten, pilkada langsung dalam konteks desentralisasi memerlukan pendanaan politik yang tidak sedikit. Uang dari bisnis pertambangan batu bara kemudian mengisi kebutuhan pendanaan bagi para kandidat dalam pilkada. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan organisasi masyarakat sipil mencatat adanya kenaikan tajam jumlah izin pertambangan saat kampanye pilkada atau segera setelah pilkada selesai.

Kebutuhan terhadap modal yang besar, keterkaitan erat dengan peraturan pemerintah, adanya royalti dan pajak, serta ketergantungan terhadap infrastuktur pemerintah untuk mengirimkan batubara ke pasar menjadikan sektor ini terpapar korupsi politik, dalam bentuk perdagangan pengaruh, political capture, dan regulatory capture. Perusahaan pertambangan batubara harus berurusan dengan pejabat publik, yang kemudian mendorong ‘perselingkuhan’ antara perusahaan, birokrat, dan politisi.

“Para elite politik juga menyatukan bisnis dengan politik di sektor pertambangan batubara, antara lain Aburizal Bakrie (mantan Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar serta mantan menteri di Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono) dengan Bumi Resources dan Prabowo Subianto (pendiri dan Ketua Umum Partai Gerindra) dengan grup bisnis Nusantara,” ungkap laporan itu.

Terdapat elite politik dengan konflik kepentingan politik yang besar di bisnis batubara. “Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, yang membawahi sektor pertambangan dan energi, merupakan pemegang saham PT Toba Sejahtra. Perusahaan ini memiliki sejumlah anak perusahaan yang terlibat dalam pertambangan batubara dan PLTU. Beberapa politically-exposed persons (PEPs) lainnya terhubungkan dengan kelompok bisnis ini, termasuk anggota keluarga Luhut, mantan menteri serta pejabat tinggi lainnya, dan pensiunan jenderal.

Dalam menyatukan bisnis dan politik di sektor batubara, Luhut menggunakan struktur lama oligarki politik: istana kepresidenan, militer, dan partai politik, terutama Partai Golkar. Dia juga menggunakan lansekap baru, yaitu desentralisasi, bekerja sama dengan elite dan penguasa lokal. Di Partai Golkar, Luhut terkoneksi dengan Aburizal Bakrie, Idrus Marham, Azis Syamsuddin, Syaukani Hasan Rais, dan Rita Widyasari,” demikian laporan itu.

Hukum di Indonesia sebenarnya mewajibkan perusahaan, termasuk di sektor pertambangan batubara, untuk mengungkapkan pemilik sah perusahaan sebagaimana didaftarkan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun, pemilik manfaat atau benifical owner, menurut laporan #BersihkanIndonesia, masih dapat menyembunyikan keterlibatan mereka.

Akan halnya soal desentralisasi dan korupsi politik, menurut mereka, terjadi setelah pelaksanaan desentralisasi, yang membuat politisi di daerah mendapatkan kekuasaan yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya. Elite politik di daerah memiliki kekuasaan untuk menerbitkan izin pertambangan, terutama sebagai bagian dari pendanaan politik.

“Hal ini menyebabkan kenaikan tajam dalam jumlah izin pertambangan yang diterbitkan, naik dari 750 pada pertengahan tahun 2001 menjadi lebih dari 10 ribu pada tahun 2010, yang merupakan kenaikan 13 kali, hampir setengahnya adalah izin pertambangan batubara,” tulis laporan #BersihkanIndonesia.

Kenaikan jumlah izin pertambangan batubara ini—bersamaan dengan tingkat keuntungan yang tinggi dari batubara dan subsidi negara yang besar—menarik banyak elite politisi atau pengusaha dengan koneksi politik (politically exposed persons) ke dalam industri tersebut. Akibat negatifnya: korupsi politik.

“Di awal tahun 2000, beberapa perusahaan asing menjual sahamnya di perusahaan pertambangan batubara kepada pengusaha Indonesia yang memiliki kekuasaan dan koneksi politik,” ungkap laporang tersebut.