Konferensi pers ICW di Jakarta, 28 Desember 2018

Koran Sulindo – Indonesia Coruption Watch atau ICW kembali menyoroti industri rokok. Kali ini terkait dengan Pemilihan Umum 2019.

Diungkapkan peneliti ICW Firdaus Ilyas dalam konferensi pers di kantornya di Jakarta, Jumat (28/12), aktivitas politik di tahun politik membutuhkan “amunisi”, yaitu pendanaan. Dan, sumber dana yang berpotensi mengalir ke aktivitas politik itu antara lain berasal dari industri rokok.

“Ada banyak pos belanja di industri rokok yang bisa dikeluarkan untuk aktivitas politik tersebut,” ungkap Firdaus. Pos itu mulai dai pos belanja corporate social responsibility (CSR), keamanan, promosi, sampai biaya ahli.

Dari pemeriksaan terhadap laporan keuangan industri rokok yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) 10 tahun terakhir, ICW menduga, dana dari pos belanja perusahaan rokok bisa digunakan untuk kepentingan politik. “Dugaan kami, dana itu berisiko menjadi belanja politik,” tutur Firdaus.

Perusahaan rokok, lanjutnya, bisa saja memberikan sumbangan untuk kebutuhan sanitasi dengan cara mengundang pejabat daerah, legislatif, atau calon legislatif. “Dana CSR seakan pisau bermata dua, satu untuk kampanye, satu lagi untuk membangun citra industri,” katanya.

Selain dana CSR, yang menjadi sorotan ICW adalah adanya pos dana keamanan yang sebelumnya tidak masuk dalam laporan keuangan tahun-tahun sebelumnya. “Dana ini untuk apa? Apakah ini untuk mengamankan bisnisnya atau apa,” ujar Firdaus. ICW, tambahnya, sudah berusaha mendapatkan verifikasi ke perusahaan rokok, tapi tidak mendapatkan tanggapan dari pihak perusahaan.

Dalam kesempatan yang sama, peneliti Divisi Politik ICW Almas Sjafrina menjelaskan, adanya relasi industri rokok dengan petinggi partai politik. Industri rokok, katanya, punya banyak kedekatan dengan petinggi politik dan berpotensi menjadi salah satu donaturnya.

Namun, partai politik selama ini tidak membuat laporan detail dari mana asal sumbangan dana kampanyenya. “Kami menduga sumbangan itu tidak dimasukan ke dalam laporan dana kampanye,” ujar Almas.

ICW pun mendesak Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk memonitor sumbangan dana untuk partai politik. “Kalau ada sumbangan dari industri rokok, ini harus diumumkan karena akan sarat kepentingan,” tutur Almas.

Pada tahun 2015 lampau, ICW juga pernah menyorot soal adanya intervensi pihak industri rokok terhadap terhadap pemerintah daerah (pemda) di Malang-Jawa Timur dan Kudus-Jawa Tengah, baik terhadap kepala daerah, anggota DPRD, birokrat, hingga pemuka agama. “Intervensi terhadap kepala daerh sudah dilakukan sejak proses pemilihan kepala daerah dengan memberikan sumbangan dan fasilitas untuk kampanye dan proses pemenangan,” kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, 21 September 2015, sebagaimana diberitakan Antara.

Diungkapkan Ade, dalam pemilihan kepala daerah, industri rokok tidak hanya menyumbang dana kampanye ke satu calon kepala daerah, melainkan ke banyak calon. Industri memanfaatkan ketertutupan dan tidak adanya transparansi dana kampanye untuk “menananmkan budi” ke calon kepala daerah.

“Industri rokok juga berupaya memobilisasi buruhnya untuk memilih calon tertentu yang diperkirakan akan menang dalam pemilihan,” katanya.

Cara yang sama juga dilakukan ke anggota DPRD. Pihak industri rokok memberikan sumbangan dan fasilitas untuk pemenangan dalam pemilihan sejak masih menjadi calon anggota legislatif. “Yang mengejutkan, kami menemukan, bukan industri yang berusaha mendatangi calon anggota legislatif untuk memberikan sumbangan dana kampanye, tetapi calon yang mendatangi industri untuk meminta bantuan,” ujar Ade.

Akan halnya untuk birokrasi dan tokoh agama, industri rokok berupaya memengaruhi mereka dengan memberikan sejumlah fasilitas, misalnya fasilitas kesehatan bagi diri dan anggota keluarga mereja. Industri rokok juga mudah memberikan menyumbang untuk acara-acara keagamaan yang diadakan tokoh-tokoh agama. “Sumbangan diberikan dengan nama sedekah atau infak. Namun, saya ragu apakah seperti itu bisa disebut sedekah atau infak,” kata Ade lagidia.

Dengan begitu, lanjutnya, industri rokok mendapat kompensasi berupa perlindungan, setidaknya di tingkat lokal, untuk melakukan pengembangan bisnis. Akibatnya, industri rokok besar mematikan industri rokok kecil.

Diungkapkan pula oleh Ade, temuan ICW di Malang dan Kudus tersebut bukan tidak mungkin terjadi di tingkat nasional. Itu sebabnya, kata Ade lagi, ICW sudah melaporkan temuan-temuan itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dijelaskan Ade lagi, pihak industri rokok cenderung melebih-lebihkan kepentingannya dengan memanipulasi opini publik. Juga berupaya mendiskreditkan temuan atau bukti ilmiah yang cenderung merugikan mereka, misalnya korelasi antara merokok dengan kesehatan dan lain-lain. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain.

ICW juga pernah begitu gencar melakukan kampanye anti-rokok, yang diduga didanai pihak asing. Itu sebabnya, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nurtantio Wisnu Brata pada tahun 2012 lampau mempertanyakan, mengapa ICW yang biasanya memantau kasus-kasus korupsi malah kemudian ikut mengampanyekan anti-rokok.

“Yang saya sayangkan, [kampanye] datang dari ICW, NGO yang terkenal dengan anti-korupsinya. Apa target mereka? Kan aneh,” ujar Wisnu Brata dalam diskusi di Jakarta 28 Juni 2012 lampau, sebagaimana diberitakan banyak media.

Menurut APTI, apa yang dilakukan ICW itu dapat mematikan usaha para petani tembakau di Indonesia. “Jika memang targetnya untuk penegakan hukum, tak masalah. Kalaupun dapat dana, juga tak dimasalahkan. Tapi bagamana rasa nasionalisme mereka mengingat ribuan petani tembakau di berbagai daerah,” kata Wisnu Brata ketika itu. [RAF]