Koran Sulindo – Hanya diringi sembilan rekannya, keinginan Fa Xian mengumpulkan kitab-kitab suci agama Buddha benar-benar tak terbendung.
Memulai perjalanan dari Chang An, rombongan kecil itu memintas padang pasir dingin dan pengunungan terjal hingga mencapai Patalipura, sebuah daerah di barat laut India.
Tentu saja bukan perjalanan mudah, terutama jika itu dilakukan sedini tahun 399 masehi. Di India, Fa Xian berziarah ke Lumbuni tempat yang dikenal sebagai daerah kelahiran Sidartha Gautama.
Setelah dua tahun tinggal di Sri Langka, perjalanan pulang Fa Xian ke Cina melalui jalur laut juga bukan tanpa masalah. Kapalnya dihantam badai dahsyat di tengah laut sebelum akhirnya sampai ke Pulau Jawa.
Dalam buku lawatannya yang berjudul Fu Guo Ji atau ‘Lawatan ke Negeri Buddha’ Fa Xian menerangkan keadaan di Javadwipa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri itu.
“Aku berangkat dari Negeri Singa naik sebuah kapal dagang yang dapat memuat 200 orang lebih, di belakangnya ditambatkan sebuah perahu kecil. Di antar angin pasang, kapal berlayar ke timur, tiga hari kemudian tertimpa angin badai.” tulis Fa Xian.
“Kapalnya rusak dan kemasukan air, perahu kecilnya terlepas dan terombang-ambing selama 13 hari. Sementara para pedagang cemas, mereka tak tahu arah, laut begitu dalam seperti tak berdasar, juga tak tahu ke mana harus berlabuh.”
Ketika cuaca membaik, posisi kapal baru bisa diketahui dikembalikan menempuh tujuan yang benar. Fa Xian menyebut seandainya ketika badai kapal menabrak karang, mereka jelas tak bakalan selamat. “Kami terus berlayar seperti ini sampai kira-kira 90 hari, dan mencapai sebuah negara bernama Yepoti.”
Yepoti atau Yavadvipa yang disebut Fa Xian dalam Fu Guo Ji adalah Tarumanagara atau Kerajaan Taruma di Jawa Barat.
Fa Xian menyebut dirinya menetap selama lima bulan di Jawa pada tahun 414 sebelum kemudian menumpang kapal dagang berlayar menuju Cina dan tiba di Guangzhou.
Selama masa singkatnya di Jawa, Fa Xian menyimpulkan ajaran Hindu sudah berkembang luas sedangkan agama Buddha tak memiliki banyak pengikut. Dalam catatan itu, ia juga menyebut banyak kapal-kapal besar di Yepoti yang sanggup memuat 200 orang lebih lalu lalang antara Cina dan Jawa.
Awal Hubungan
Meski deskripsi Fa Xian tentang di Fu Guo Ji begitu mendetail, tak ada yang bisa menjawab dengan tepat kapan persisnya hubungan antara Cina dan Nusantara bermula.
Beberapa perkiraan menyebut hubungan itu disinyalir sudah mapan sejak 3.000-4.000 tahun silam. Hitungan kasar itu merujuk beberapa temuan benda peninggalan Cina purba.
Penggalian di situs zaman Yin yang berasal dari abad ke-17-11 sebelum masehi menemukan cangkang kura-kura besar bertuliskan Jia Gu Wen yang merupakan huruf kanji paling primitif. Peninggalan lain berupa tulang tenuk atau tapir yang disebut sebagai Ma Lai Mo.
Baik batok kura-kura maupun tapir diduga berasal dari Nusantara karena di Cina daratan tak pernah ditemukan binatang-binatang dari jenis tersebut. Meski lebih banyak temuan antropologi maupun arkeologi yang merujuk hubungan lebih awal antara Nusantara dan Cina, pendekatan itu sepenuhnya diragukan akurasinya.
Tingkat akurasi yang lebih tinggi hanya bisa didapat dari kitab-kitab kuno yang banyak terdapat di Cina. Kitab sejarah Cina kuno yang pertama kali mencatat hubungan resmi dengan Nusantara adalah Han Shu Di Li Zhi atau ‘Kepustakaan Dinasti Han-Catatan Geografi’.
Jauh sebelum Fa Xian menempuh perjalanannya, Han Shu Di Li Zhi menyebut perjalanan dari Re Nan Zhang Sai, Xu Wend an He Pu ditempuh selama lima bulan sebelum akhirnya tiba di Du Yuan. Setelah kembali berlayar selama empat bulan lagi, sampailah di negeri Yi Lu Seh.
Dari sana dengan 20 hari berlayar akan tiba di negeri Chen Li yang jika ditambah perjalanan kaki selama 10 hari akan sampai di Fa Gan Du Lu. Dari negeri itu dengan pelayaran selama dua bulan lebih akan sampai ke negeri Huang Zhi.
Di negeri inilah semenjak Kaisar Wu Di dari Dinasti Han berkuasa tahun 141-76 SM telah memiliki hubungan erat dengan Cina dan rutin mengirim persembahan. Di era Kaisar Ping tahun 1-5 masehi, negeri ini bahkan diminta mengirimkan badak hidup sebagai persembahan.
Kajian sejarah menyebut Huang Zhi adalah Kancipura yang lokasinya diperkirakan berada di wilayah selatan India. Sedangkan Re Nan Zhang Sai, Xu Wend an He Pu berada di sebelah utara Vietnam sekarang. Sementara Du Yuan diperkirakan berada di Semenanjung Malaya, Yi Lu Seh diduga berada di Ratburi, Thailand sedangkan Chen Li adalah Tanasserim dan Fu Gan Du Li adalah Prome yang keduanya berada di Maynmar.
Tributer
Catatan itu menjelaskan ‘jalur sutra laut’ dari selatan Cina melalui Semenanjung Malaya hingga selatan India itu memakan waktu perjalanan selama dua tahun pulang pergi. Dari nama-namanya dipastikan rute perjalanan itu melewati Cina selatan-Vietnam-Thailand-Semenanjung Malaya-Sri Langka dan India Selatan.
Catatan paling tua yang menyebut hubungan Cina dengan Jawa ditemukan dalam Hou Han Shu atau Kepustakaan Dinasti Han Lanjutan bab ke-6 Benji dan bab ke-116 Xinanyi Zhuan atau ‘Catatan Negara Barbar Barat Daya’. Tulisan itu menyebut kedatangan utusan Jawa di era Kaisar Yongjian berkuasa pada tahun 131.
Catatan itu melaporkan Raja Diao Bian dari Ye Diao mengirim utusan sekaligus mempersembahkan upeti. Oleh kaisar, utusan itu dianugerahi cap kempa serta kain sutra dewangga. Ye Diao adalah tiruan bunyi kata Sanskrit dari Yavadwipa.
Sementara beberapa ahli memperdebatkan sebutan Yavadwipa sebagai Sumatra atau Jawa, beberapa ahli lainnya menganggap Ye Diao adalah kerajaan yang didirikan di Jawa pada tahun 65 masehi. Pendapat ini diperkuat dengan anggapan bahwa penyebutan Raja Diao Bian merupakan salinan bunyi dari nama Devavarman.
Di dalam pustaka Song Shu jilid 97 terdapat catatan yang menyebut pada tahun 430 datang utusan dari negeri He Luo Tuo atau He Luo Shan yang diperkirakan berlokasi di Jawa Barat. Selain meminta bantuan perlindungan politik, utusan itu juga meminta kemudahan berniaga.
“Negeri hamba ini dulu penduduknya banyak dan masyarakatnya makmur, tidak pernah dihina dan ditindas oleh negeri-negeri tetangga. Kini negeri hamba sudah lemah dan negeri-negeri tetangga menyerang. Harap Kaisar yang mahamulia dapat memberikan perlindungan dari jauh dan mempermudah transaksi perniagaann, tidak melarang-larang lagi.”
Dari naskah-naskah Cina yang mencatat tentang Jawa, meski mengalami pasang surut hubungan kedua bangsa berjalan baik dan hangat walaupun tak merujuk pada hubungan kesetaraan.
Jawa pergi ke Cina dengan mengirim utusan sekaligus memberi upeti berupa hasil bumi, hewan atau barang-barang asli. Sementara Cina dalam naskah-naskah itu tak ada sedikitpun gambaran mengirim utusan resmi ke Jawa.
Justu orang-orang Jawa yang memulai dan merintis jalur ke Cina. Dari catatan awal yang singkat itu, orang Cina mempelajari lebih lanjut mengenai Jawa sekaligus melengkapi catatan mereka termasuk posisi geografis dan jalur yang ditempuh untuk menuju Jawa.
Sementara orang Jawa memberi penghormatan, orang Cina merambah dunia di luar mereka sebagai tamu atau pengamat dan memanfaatkan peluang untuk membangun hubungan komersial. Dalam hal ini harus diakui Cina memang lebih siap.[TGU]