Koran Sulindo – Kasus dugaan pelecehan seksual yang dialami seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial-Ilmu Politik Universita Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, terus menjadi pembicaraan banyak orang. Pihak UGM dinilai lamban menangani masalah yang menodai dunia pendidikan tinggi ini. Padahal, peristiwanya terjadi pada pertengahan tahun 2017 lalu.
Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM pun memberitakan soal ini pada Oktober 2018. Pihak UGM kemudian membentuk tim investigasi independen, yang terdiri dari dosen fakultas ilmu sosial-ilmu politik, fakultas teknik, dan fakultas psikologi. Tim ini dibentuk melalui surat keputusan Rektor UGM.
Namun, penanganan kasus ini oleh UGM dianggap banyak kalangan tak memuaskan dan tak berpihak kepada korban atau penyintas. Mahasiswa dan alumni UGM yang memberikan dukungan kepada korban pun melakukan aksi unjuk rasa. Bahkan, ada alumni UGM yang membakar ijazah sarjananya karena kecewa dengan sikap pengelola almamaternya terhadap kasus ini.
“Ada 1.600 mahasiswa, dosen, tenaga pendidikan, maupun organisasi dan komunitas yang menandatangani dukungannya. Secara spesifik, dukungan juga menyebutkan nomor induk mahasiswa dan nomor induk pegawai, supaya lebih jelas, benar-benar hadir orangnya, bukan virtual dan bukan anonim,” kata Pipin Jamson, salah seorang dosen UGM yang memberikan dukungan kepada korban.
Pihak Ombudsman pun turun tangan, melakukan investigasi atas cara penanganan yang dilakukan UGM. “Ada potensi maladministrasi terkait penundaan berlarut yang dilakukan oleh UGM dalam menangani kasus ini,” kata anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu dalam jumpa pers pada 10 November 2018 lalu.
Yang juga ikut turun tangan adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini mendorong penanganan kasus dugaan pelecehan di UGM itu dibawa ke ranah hukum.
Menurut Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo, kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi pada pertengahan tahun 2017 lalu tersebut sudah telanjur muncul di publik dan desakan masyarakat cukup besar agar bisa diselesaikan secara hukum. “Kami menyarankan penyelesaian secara hukum kepada Rektor UGM. Tapi, tentu saja, dengan mempertimbangkan kepentingan penyintas, itu yang utama,” tutur Hasto di UGM, 12 November 2018, seperti dikutip berbagai media.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise mengaku telah berkomunikasi dengan pihak UGM. Ia juga mengatakan, pengecekan kepada korban dan yang diduga pelaku, termasuk kedua keluarga, sudah dilakukan.
“Dicek untuk mengetahui ceritanya. Setelah dicek ke korban dan keluarga masing-masing, kelihatannya sedang dalam proses mediasi antarkeluarga,” tutur Yohana Yembise, 9 November 2018.
Pada Jumat kemarin, 7 Desember 2018, pihak UGM akhirnya mengakui telah lamban dalam merespons peristiwa dugaan pelecehan seksual tersebut. Rektor UGM Panut Mulyono pun meminta maaf.
Peristiwa dugaan pelecehan seksual itu terjadi di Sub-unit 2 Nasiri, Kabupaten Seram Barat, Provinsi Maluku, pada masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Juli-Agustus 2017. “Berdasarkan temuan tim investigasi internal yang dibentuk dapat disimpulkan telah terjadi dugaan pelecehan seksual yang dilakukan mahasiswa KKN kepada mahasiswa KKN yang lain. UGM mengakui telah terjadi kelambanan dalam merespons peristiwa ini,” kata Panut di UGM.
Lebih lanjut, ia juga menyatakan, kelambanan ini berdampak serius secara psikologis, finansial, dan akademis pada penyintas dan terduga pelaku. “UGM meminta maaf atas kelambanan yang terjadi,” tutur Panut.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM Paripurna Poerwoko Sugarda mengatakan, kelambanan dalam menangani kasus Agni ini akan dijadikan bahan intropeksi bagi UGM. Agar tindak kriminal ini tak lagi terulang, UGM membentuk tim penyusun pencegahan dan penanggulangan pelecehan seksual UGM, yang dibentuk berdasarkan Surat Keptusan Rektor Nomor 2044/UN1.P/SK/HUKOR/2018.
“Mau tidak mau, ini adalah salah satu sarana introspeksi bagi UGM. UGM pun membentuk tim penyusun pencegahan dan penanggulangan pelecehan seksual. Dengan adanya tim itu, saya kira, akan lebih mudah bagi kami untuk mengambil keputusan jika terjadi lagi kasus serupa,” kata Paripurna. [PUR]