Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo

Koran Sulindo – Investigasi yang dilakukan tim liputan harian Kompas berhasil menemukan adanya jual-beli blangko Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) asli, dengan spesifikasi resmi milik pemerintah dan menggunakan cip, di Pasar Pramuka Pojok, Jakarta Pusat. Juga di toko yang ada dalam platform perdagangan elektronik, Tokpedia.

Temuan ini membuktikan, sistem pengamanan e-KTP yang dilakukan pemerintah begitu rapuh. Karena, sebagai dokumen negara, blangko e-KTP jelas tak boleh beredar dan diperjualbelikan.

Di Pasar Pramuka Pojok, yang berada di pojok tikungan pertemuan Jalan Pramuka dan Jalan Salemba Raya, menurut penelusuran tim wartawan harian tersebut, satu lembar blangko e-KTP bekas dibanderol dengan harga Rp 150.000 dan yang baru dijual Rp 200.000. Kepada wartawan harian itu, seorang penjual mengaku mendapat blangko dari perusahaan percetakan dan tak sembarang orang bisa membeli.

“Lokasinya tidak bisa saya sebutkan, karena ini ‘rahasia negara’,” kata pedagang itu, yang juga mengatakan siap menyediakan 200-300 lembar blangko e-KTP kalau memang ada yang memesan.

Tim wartawan tersebut juga menemukan, di sejumlah kios jasa pengetikan dan penjilidan dokumen di Pasar Pramuka Pojok juga dapat dibuat e-KTP asli tapi palsu (aspal). Biayanya Rp 500.000 per lembar.

Dalam e-KTP aspal, data identitas hanya dapat dicetak di lembar blangko, tak bisa direkam dalam cip. Itu sebabnya, e-KTP aspal tidak bisa digunakan di instansi yang memiliki alat pemindai kartu.

Sementara itu, di Tokpedia ditemukan ada satu kios yang juga menjual blangko e-KTP. Kios itu bernama Lotusbdl, dengan lokasi pemilik akun ditulis di Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Lotusbdl menawarkan selembar blangko e-KTP seharga Rp 50.000, dengan minimal pembelian 10 lembar, seharga Rp 500 ribu.

Menurut Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh, pihaknya telah menemukan pelaku penjualnya dan juga sudah dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Pengelola Tokopedia pun sudah menghapus penjualan produk e-KTP dari platform-nya.

“Pelaku yang menjual di Tokopedia sudah teridentifikasi semuanya, sampai dengan nomor rekeningnya dan nama pemiliknya,” kata Zudan kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (6/12).

Motif pelaku penjual online itu, lanjut Zudan,  hanya iseng, tidak ada motif ekonomi. Karena, yang dijual hanya 10 lembar, yang dihargai Rp 500 ribu. “Enggak, cuma iseng. Ini memang keisengan yang risikonya terlalu besar. Jual sepuluh hanya dapat Rp 500 ribu,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menduga, penjualan blanko e-KTP di toko online tersebut dilakukan anak Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Tulang Bawang, Provinsi Lampung. “Anak ini mencuri blangko KTP ayahnya,” tutur Tjahjo.

Ia juga menegaskan blangko e-KTP yang dijual di Pasar Pramuka tidak bisa digunakan sebagaimana e-KTP asli. Cip dalam e-KTP yang dijual bebas itu tidak terkoneksi dengan pusat data yang dimiliki kementeriannya.

Bahkan, Tjahjo membantah sistem pengamanan e-KTP telah jebol. “Tidak benar sistem jebol,” katanya.

Namun, dari pengujian seorang ahli yang diminta Kompas membuktikan, blangko e-KTP yang diperjualbelikan itu dapat berfungsi. “Cip itu mau bicara dengan [card] reader,” ungkap ahli cip Eko Fajar Nur, yang melakukan pengujian tersebut. Blangko e-KTP yang diuji tersebut mengindentifikasi diri sebagai NXP, sama dengan cip di e-KTP asli.

Pengujian juga dilakukan menggunakan mesin pembaca kartu yang dilengkapi secure access modul (SAM) yang diterbitkan Ditjen Dukcapil Kemendagri. Hasilnya: blangko e-KTP yang dibeli dari Tokpedia telah dipersonalisasi, yang merupakan tahap awal untuk menulis data di cip e-KTP.

Perlu diketahui, personalisasi ini hanya dapat dilakukan oleh institusi yang memegang mesin pembaca kartu SAM, yang dilengkapi dengan kunci akses. Waktu diuji, cip pun meminta pemindaian sidik jari, yang baru bisa dilakukan setelah mesin membaca 90% informasi yang ada di dalam cip.

Isi cip-nya berupa daftar identitas kependudukan. Namun, dalam pengujian itu, setiap kolomnya hanya berisi deretan angka 8. “Yang menarik, kartu ini sudah berisi data terperso [sudah dilakukan personalisasi]. Namun, sepertinya, belum diaktivasi,” tutur Eko. [PUR]