Koran Sulindo – Untuk membiayai alih kelola Blok Rokan, PT Pertamina (Persero) berencana menerbitkan surat utang berdenominasi dolar Amerika Serikat (global bond). Penerbitan global bond ini, menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, karena Pertamina harus membayar bonus tanda tangan Blok Rokan sebesar US$ 783 juta, sehingga membutuhkan dana dalam bentuk dolar.
Harapannya: mendapatkan dana dari bank luar negeri. “Kami akan menarik pinjaman jangka menengah. Kami sedang menjajaki global bond,” kata Rini di Jakarta, Rabu (12/9).
Memang, pemerintah sudah menetapkan Pertamina memiliki kewajiban membayar bonus tanda tangan sebesar yang telah disebutkan, dalam mata uang dolar A|merika Serikat. Plus 10% dari komitmen kerja pasti selama lima tahun yang sebesar US$ 500 juta, jadi sebesar US$ 50 juta, sebelum tanda tangan kontrak.
Dasar hukumnya adalah Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 1923 K/10/ MEM/2018 tertanggal 6 Agustus 2018. Surat tersebut berisikan tentang persetujuan pengelolaan, serta penetapan syarat dan ketentuan (terms and conditions) kontrak kerja sama pada wilayah kerja Rokan.
Sampai sekarang, Pertamina belum juga membayar bonus tanda tangan. Pada 4 September 2018 lalu, Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan, pihaknya akan membentuk anak usaha perusahaan baru terlebih dulu sebelum menandatangani kontrak Blok Rokan. “Untuk Rokan masih menunggu proses pembentukan anak perusahaan baru,”kata Arief.
Menurut Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, pembentukan anak usaha ini memang masih membutuhkan waktu. Tambahan pula, pembentukannya harus dilaporkan terlebih dulu ke Kementerian Hukum dan Hak dan Asasi Manusia.
Jika sudah dibentuk, anak usaha Pertamina itulah yang akan menandatangani kontrak baru Blok Rokan dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). “Kami targetkan tahun ini,” ungkap Arcandra di Kementerian ESDM, Jakarta, 7 September 2018 lalu.
Pertamina sempat meminta pengecualian untuk membayar bonus tanda tangan itu dengan menggunakan mata uang rupiah. Apalagi, nilai tukar rupiah terus merosot terhadap dolar Amerika Serikat.
Soal akan adanya penerbitan global bond tersebut, Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman tidak membantah. “Karena sifat investasinya yang memang jangka panjang, kami mempertimbangkan untuk mengeluarkan utang jangka panjang,” ujar Arief, sebagaimana dikutip katadata.co.id, Rabu kemarin juga.
Bila kontrak baru Blok Rokan diteken tahun 2018 ini, menurut pihak Kementerian ESDM, Pertamina bisa investasi lebih awal, sehingga produksi tetap terjaga. Kontrak Blok Rokan sendri baru berakhir dari PT Chevron Pacific Indonesia pada tahun 2021.
Tahun 2019 nanti, produksi siap jual (lifting) minyak bumi dari blok ini hanya bisa 180 ribu barel per hari (bph). Sementara itu, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, target lifting sebesar 213.551 bph.
Data SKK Migas menyebutkan, lifting minyak Blok Rokan hingga Juli 2018 baru 98,41% dari target APBN atau 210.153 bph. Diprediksi, hingga akhir tahun, lifting minyak di Blok Rokan hanya mencapai 206.710 bph.
Pada 27 Agustus 2018 lalu, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher bahkan tidak membantah adanya potensi penurunan lifting di Blok Rokan. Apalagi, blok ini tergolong tua, sehingga keterangkatan air ketika memproduksi minyak, misalnya, bisa mencapai 98%.
Dengan kondisi seperti itu, yang telah beroperasi setidaknya 40 tahun, tentu saja dibutuhkan dana yang sangat besar agar hasil minyak dari blok ini dapat dioptimalisasi. Padahal, seperti dikatakan Menteri ESDM Ignasius Jonan, keuangan Pertamina sedang seret. “Kalau Anda bilang Pertamina keuangannya seret, itu betul. Saya tidak bilang bangkrut lo, ya, tapi masih bisa jalan ga? Bisa,” kata Jonan, akhir Juli 2018n lalu, seperti dikutip esdm.go.id.
Tapi, mengapa Pertamina seolah memaksakan diri?
Jonan menjelaskan, Pertamina memiliki resources yang sangat besar, dengan pangsa pasar yang besar. Alasan lain, Pertamina dibangun untuk bangsa Indonesia, bukan sebaliknya. Pertamina dibangun unuk menopang dan mendukung kegiatan minya dan gas di Indonesia.
Selain itu, tambah Jonan, tidak ada sedikit pun keinginan pemerintah untuk membuat Pertamina bangkrut. “Setiap kebijakan, Bapak Presiden selalu merundingkan dengan Menteri BUMN dan saya,” tutur Jonan.
Pada April 2018 lalu, Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik dicopot mendadak dari kursi jabatannya. Posisinya kemudian digantikan Nicke Widyawati, yang berperan sebagai pelaksana tugas direktur utama, sekaligus Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) Pertamina (sejak 27 November 2017) dan Pelaksana Tugas Direktur Logistik, Supply Chain, dan Infrastruktur (sejak 13 Februari 2018). Nicke baru ditetapkan sebagai direktur utama definitif pada 29 Agustus 2018.
Nicke Widyawati adalah alumni Institut Teknologi Bandung. Ia sebenarnya terbilang orang baru di Pertamina. Ia mengawali karirnya di PT Rekayasa Industri (Rekind), hingga menjabat direktur bisnis dan vice president corporate strategy unit (CSU). Sejak tahjun 2014, ia diangkat menjadi Direktur Pengadaan Strategis 1 PT PLN (Persero), lalu kemudian diangkat menjadi Direktur SDM Pertamina. Ia juga pernah diberi tugas sebagai Ketua Tim Implementasi Holding Migas, yang hasil kerjanya antara lain akuisisi Pertagas oleh Perusahaan Gas Negara (PGN). [RAF]