Koran Sulindo – Di negara-negara beradab, makanan telah menjadi hak dasar manusia. Karena itu, bagi mereka, mati akibat kelaparan menjadi sebuah skandal luar biasa.
Di Indonesia, rakyat yang mati akibat kelaparan sudah dianggap biasa.
Kelaparan sebagai skandal mestinya menantang kesadaran bersama untuk menemukan pemecahan masalah secara adil dan menyeluruh. Itu menjadi satu-satunya cara agar Indonesia menjadi negara beradab.
Negara ini beradab bila tidak membiarkan orang rimba menunggu giliran mati kelaparan.
Pembangunan yang didengung-dengungkan tetap saja gagal menyentuh komunitas adat terpencil yang tersebar seluruh kepulauan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Maluku, sampai Kepulauan Nusa Tenggara.
Mereka terpinggirkan akibat posisi tawar mereka yang sangat lemah kala berhadapan dengan kepentingan ekonomi yang mencaplok fungsi hutan.
Ratusan warga Suku Mausu Ane dalam dua pekan terakhir terancam bahaya kelaparan akibat kegagalan panen yang dipicu serangan hama. Tercatat sudah empat orang dilaporkan meninggal dunia dengan dua di antaranya adalah balita.
Suku Mausu Ane dikenal sebagai masyarakat adat nomaden yang hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ini menjadi dalih bagi pemerintah daerah kesulitan untuk menjangkau mereka.
Bahan makanan suku itu menipis lantaran kebun-kebun mereka rusak oleh babi hutan dan tikus sehingga mereka tak mendapatkan bahan makanan yang layak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menurut akademisi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, Abdul Manaf Tubaka seperti dikutip situs Mongabay.com menganggap tragedi kemanusiaan yang dialami Suku Mausu Ane merupakan peristiwa yang sangat fatal.
Tubaka menyebut kelaparan itu merupakan dampak ketidakadilan negara memandang komunitas adat. komunitas-komunitas itu hidup dalam kesederhanaan dan tak bersentuhan langsung dengan arus perubahan dan hidup di pegunungan.
Mereka hidup dengan berpegang teguh pada adat istiadat dan hidup bersama alam dengan infrastruktur yang sangat minim. Namun bukan berarti harus dikategorikan sebagai masyarakat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
“Penggunaan perkataan nomaden untuk masyarakat di kaki Gunung Murkele itu tak tepat, karena perkebunan mereka itu ada dan punya mata pencarian di situ,” kata Tubaka.
“Dulu itu orang nomaden, sekarang ini, tidak lagi. Masyarakat di situ sudah hidup di alam yang menjadi sumber kehidupan mereka.”
Menurutnya kelaparan, terjadi karena kualitas menyiapkan pangan yang minim karena secara kultural lahan tak memungkinkan atau terjadi karena pembiaran negara.
Kelaparan yang melanda Suku Mausu Ane terjadi karena negara lalai melindungi rakyat sementara pemerintah daerah keliru menafsirkan dan mengidentifikasi Masyarakat Mausu Ane.(TGU)