Koran Sulindo – Memiliki areal persawahan yang panen tiga kali setahun, wilayah Umbulsari di Jember, Jawa Timur adalah wilayah subur yang menjadi lumbung pangan. Di daerah yang gemah ripah loh jinawi itulah Tumirah dan keluarganya sejak semula bertumpah darah.

Sayang, tanah subur tak menjamin membuat hidup menjadi lebih mudah bagi semua orang. Tumirah tetap miskin. Ali, suaminya hanya bekerja serabutan. Kadang menjadi buruh tani, kadang memanjat kelapa jika ada yang menyuruhnya.

Tetangganya di desa Paleran mengenal Tumirah sebagai pekerja keras. Hari-harinya habis untuk bekerja.Kalau tak mencari kayu bakar ia biasa ngasak atau mengais padi sisa panen di sawah. Bagi keluarga itu kemiskinan bukan alasan menodong belas kasihan. Dikarunia tiga anak, Tumirah dan Ali tinggal bersama anaknya yang ketiga.

Di Jawa, ngasak adalah jenis pekerjaan yang karena sifatnya memang didominasi nenek-nenek atau janda.

Mencari sawah yang sedang panen itulah yang membuat Tumirah seringkali harus berjalan meski sudah mulai uzur dan pikun. Sesekali bahkan perjalanan sangat jauh dari rumah.

Dianggap hidup di bawah ‘garis’ keluarga Tumiran masuk daftar tetap penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Mereka juga menerima jatah beras untuk orang miskin, raskin dan bantuan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.

Penghidupan pas-pasan membuat Tumirah berjalan kaki kemanapun ia pergi. Mengunjungi anaknya yang lain, atau ketika ngasak. Juga ketika ia meninggalkan rumahnya Rabu, 13 Desember 2017. Ali menyebut itu adalah terakhir kali Tumirah terlihat di rumah.

Ketika tiga hari berselang Tumirah ditemukan. Ia sudah meninggal. Tubuhnya ditemukan warga tergeletak di semak-semak tepi sungai di Dusun Gumuk Kembar, Desa  Sidorejo, Kecamatan Umbulsari. Itu belasan kilometer jauhnya dari rumahnya di Paleran.

Warga yang menemukan menyebut saat ditemukan posisi tubuh Tumirah seperti tertidur dengan wajah tertutup kaus dan caping serta beberapa jagung tergeletak disampingnya. Tak bergerak saat dibangunkan, warga curiga. Benar saja, Tumirah meninggal dunia. Bibirnya yang memutih mulai dikerubuti semut.

Sehari sebelumnya, beberapa warga Sidorejo bercerita sempat berpapasan dengan Tumirah. Selain tubuhnya yang sangat kurus, warga menganggap Tumirah seperti puluhan wanita tukang ngasak lainnya. Tak ada yang luar biasa celana coklat, baju merah tua, dan sebuah caping.

Polisi menyebut penyebab kematian Tumirah adalah kelaparan. Kesimpulan yang sama diamini orang-orang yang menemukan jasad Tumirah. Kasat mata tubuhnya sangat kurus dan perutnya mengempis.

Ali, menyebut sebelum ditemukan meninggal, keluarga dan tetangga sempat melakukan pencarian tapi gagal menemukannya. Ali mengaku keluarga mengaku pasrah dan menganggap kematian istrinya itu sebagai takdir.

Justru yang tidak terima, pejabat urusan sosial setempat. Menolak sinyalemen polisi, pejabat itu menampik kematian Tumirah itu karena kelaparan. Menyebut kelaparan sebagai penyebab kematian harus didukung bukti-bukti kongkret. Kematian Tumirah, tidak bisa serta merta dikaitkan dengan persoalan kemiskinan.

Lagi pula, sebagai pejabat ia benar seperti biasanya, juga karena konstitusi bilang begitu. Selain menjamin kehidupan fakir miskin dan anak terlantar, negara juga mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat sekaligus memberdayakannya sesuai martabat kemanusiaan. Jadi kesimpulannya, dengan semua yang yang sudah dilakukan negara jika orang miskin mati. Itu salahnya sendiri!

Tipikal pejabat, menyalahkan masyarakat yang bahkan menjadi korban. Biarlah begitu toh pejabat memang semestinya bicara seperti kaset rusak. Mulutnya busuk mirip comberan.

Bahkan di Amerika yang sistem jaminan sosialnya sangat maju, harapan hidup orang miskin termasuk rendah. Bukan soal eksternal seperti pembunuhan atau kecelakaan, tapi oleh faktor internal seperti penyakit. Orang miskin lebih cepat meninggal jika mereka sakit. Ini tak lepas dari soal akses ke perawatan medis, lingkungan mereka hingga ketimpangan pendapatan.

Membanggakan jaminan sosial yang carut marut selain bodoh juga bebal. Bebal karena peristiwa serupa sudah terjadi bahkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Dekade 80-an kita mengenal Sukardal, tukang becak di Bandung yang gantung diri gara-gara becaknya diangkut petugas.

Dan baru Agustus 2017 lalu di Kuningan diketahui keluarga Suhardi bertahun-tahun hanya hidup dari nasi aking dan garam gara-gara tak sanggup membeli beras. Bahkan untuk beras sekelas beras sejahtera yang dibagikan Bulog setiap bulan. Beras tak ditebus karena jumlah uang Rp 12 ribu untuk lima kilogram beras lebih mahal dibanding nasi aking yang Rp 3 ribu untuk jumlah yang sama.

Di negeri ini, kematian adalah cerita biasa dan menjadi bagian sehari-hari sehingga nyawa dihitung sekadar hanya angka, direkap, masuk buku, dan dilupakan nama-namanya. Namun, mati karena kelaparan jelas menunjukkan kegagalan yang lebih fatal dari sistem kenegaraan, sistem sosial dan kegagalan cita-cita kemerdekaan. Tak ada yang mengingat, kecuali mereka yang ditinggalkan. Merekapun segera lupa karena mencari makan sudah begitu menyusahkannya. Orang tak terlalu peduli lagi, meski harga sebungkus nasi yang menyelamatkan nyawa itu sebanding dengan sebungkus rokok.

Dan sialnya, cerita seperti Sukardal, Suhardi  dan Tumirah tak bakal pernah habis. Kisah mereka mewakili peribahasa Ayam dikepuk mati kelaparan, itik di air mati kehausan.[TGU]