Pelabuhan Malaka yang diserbu Pati Unus dari Demak

Koran Sulindo – Ketika Hadiwijaya dan kemudian Sutawijaya membangun pusat kekuasaannya di pedalaman, Jawa sebagai sebuah konsep politik, sosial, budaya dan militer memasuki babak yang benar-benar baru.

Pada masa-masa itu, penguasa pribumi Jawa kembali merebut inisiatif untuk membangun kekuasaan politik yang sebelumnya jatuh ke tangan para pendatang di Demak. Dendam atas runtuhnya Majapahit adalah bahan bakar utama perlawanan mereka.

Di sisi lain, sejak semula Demak memang tumbuh dengan ‘kanker’ bawaannya. Kelalaian Jimbun al- Fatah atau Raden Patah mengabaikan orang pedalaman bekas kawula Majapahit serta mementingkan orang pesisir harus dibayar mahal oleh keturunannya.

Sehebat apapun, dibanding kaum among tani yang mendominasi pedalaman Jawa, persekutuan orang-orang pesisir tetaplah minoritas. Demak tetap terlalu kecil dibanding seluruh kekuatan rakyat di pedalaman.

Jimbun menganggap remeh rakyat yang mestinya bermanfaat bagi kepentingan Demak, justru berbalik sikap memusuhinya. Ada api dalam sekam yang terus menerus membara menunggu waktu membalas dendam.

Dalam Babad Tanah Jawa disebut Jimbun pendiri Demak itu memiliki enam anak dari ketiga istrinya. Mereka adalah Ratu Mas yang kawin dengan Pangeran Cirebon, Pati Unus, Pangeran Seda Lepen, Trenggana atau Tung Ka Lo, Raden Kanduruwan dan yang terakhir Raden Pamekas.

Setelah Jimbun wafat du tahun 1518, tampuk Demak lengser kepada Yat Sun alias Pati Unus yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor.

Yat Sun disebut Sabrang Lor karena tekadnya yang tak tergoyahkan untuk mengusir orang-orang Eropa di Nusantara. Ia bahkan sampai dua kali mengirimkan armada menyerbu pangkalan Portugis di Malaka.

Meski penyerbuan itu gagal mengusir Portugis, Demak sukses mengamankan lalu lintas dagang di Laut Jawa sekaligus mencegah meluasnya pengaruh Portugis. Sayang, Yat Sun hanya memerintah selama tiga tahun dan mati muda tanpa meninggalkan keturunan.

Rebutan Tahta

Tanpa pewaris, tahta yang semestinya jatuh kepada Pangeran Seda Lepen urung karena sosok ini keburu mati terbunuh Prawata, anak sulung Trenggana. Kematian itu melempangkan jalan Trenggana pada tahta Demak.

Seda Lepen adalah ayah Arya Penangsang yang terus menerus menyimpan dendam berkepanjangan akibat pembunuhan itu.

Tak hanya dibelit perseteruan keluarga, Demak juga harus waspada terhadap Majapahit. Girindrawardhana raja menjadi bawahan Demak memanfaatkan kesempatan itu meringankan tekanan Demak dan diam-diam berhubungan dengan orang Portugis di Malaka.

Trenggana yang merasa ditelikung membariskan tentaranya menuju keraton Majapahit.

Berbeda dengan Jimbun yang memberlakukan Raja Majapahit dengan hormat, Trenggana bertindak sebaliknya. Sementara keraton Majapahit hancur dan dijarah, Girindrawardhana tewas dalam serbuan itu dan keturunannya kocar-kacir melarikan diri ke Pasuruhan dan Panarukan.

Majapahit lenyap dari panggung sejarah selamanya.

Kronik Cina menyebut Trenggana memiliki dua orang putra yakni Muk Ming dan Toh A Bo. Muk Min adalah orang yang sama dengan Prawata sementara Toh A Bo merujuk pada Syarif Hidayat Fatahillah atau Falatehan yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Ketika Trenggana mati di tahun 1546, tahta Demak jatuh kepada Muk Ming alias Prawata yang segera menuai kesumat Arya Penangsang atas pembunuhan ayahnya.

Atas nasihat Sunan Kudus, cucu Jimbun ini menyerbu Demak sekaligus membakar keraton sampai habis dengan hanya menyisakan Masjid Demak. Meskipun sudah terdesak sampai Semarang, Prawata tetap dikejar tentara Jipang.

Menyusul Demak, Semarang juga rata dengan tanah termasuk galangan-galangan kapal besar yang menjadi pertahanan terakhir Muk Ming. Dalam serangan di Semarang itu Prawata dan putranya tewas.

Jika naas menemui Muk Ming, Toh A Bo bernasib lebih baik. Sebelum penyerbuan ia telah menyingkir dari Demak dan memilih bertapa di Sarindil. Dari tempat itulah, atas anjuran Tang Eng Hoat mendirikan Kasultan Cirebon.

Penyerbuan Jipang itu adalah akhir hidup Kesultanan Demak yang hanya mampu bertahan 68 atau 71 tahun jika dihitung semenjak didirikan Jimbun.

Masjid Demak, satu-satunya bangunan yang utuh dalam peristiwa serbuan Jipang.

Dendam Majapahit

Pada tahun yang sama Jipang menyerbu Demak, mereka juga diserbu orang Pengging di bawah pimpinan Jaka Tingkir. Serbuan itu menewaskan Arya Penangsang oleh Sutawijaya anak angkat Jaka Tingkir.

Dari reruntuhan Demak itulah Jaka Tingkir mendirikan Pajang dan mengambil gelar Sultan Hadiwijaya.

Tumpasnya keturunan Jimbun di Demak oleh Pajang menandai akhir kekuasaan negara maritim di Jawa. Selain memang terletak di pedalaman, Pajang memang tak pernah berniat membangun armada laut atau menguasai kota-kota pesisir.

Selain orientasi strategis, perubahan kekuasaan dari Demak ke Pajang juga menandai perubahan aliran agama Islam dari madzhab Hanafi menjadi Syi’ah.

Ini dijelaskan oleh Kronik China dari dari Klenteng Talang yang mengutip perkataan Fatahillah.

“Panglima tentara Demak sangat kecewa mendengar pembunuhan-pembunuhan di kalangan keturunan Jinbun di Demak. Dia tidak mau tunduk kepada Sultan Pajang karena di kasultanan itu agama Islam masdzhab Syi’ah sangat berpengaruh.”

Pada Babad Tanah Jawa dan Serat Kanda disebut Jaka Tingkir alias Mas Karebet adalah anak Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging sekaligus merupakan cucu Jayaningrat. Nama terakhir ini adalah seorang bekas bupati Majapahit di Pengging sekaligus menantu Raja Wikramawardhana.

Sama seperti Jayaningrat yang setia kepada Majapahit, Kebo Kenanga meski sudah masuk Islam tetap emoh tunduk pada Demak. Belakangan ia membayar pilihan itu dengan jiwanya dan dibunuh Sunan Kudus yang bertindak sebagai utusan Demak.

Jaka Tingkir yang kala itu masih anak-anak dipungut bekas istri Ki Ageng Tingkir, sepupu Kebo Kenanga yang juga sama-sama berguru pada Syaikh Siti Jenar.

Slamet Mulyana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara menyebut serangan Pengging ke Jipang menunjukkan keturunan Majapahit terus menelisik setiap kesempatan untuk mendapat giliran balas dendam.

Sementara itu, atas jasanya membunuh Arya Penangsang, Sutawijaya dan ayahnya Ki Ageng Pemanahan serta Juru Martani berhak atas wilayah Mataram. Hadiah serupa diberikan kepada Ki Ageng Panjawi yang mendapat daerah Pati.

Menjadi petinggi di Mataram, Ki Ageng Pemanahan kemudian lebih dikenal sebagai Ki Ageng Mataram sementara Ki Juru Martani bertindak sebagai penasihat Sutawijaya.

Di masa kepemimpinan Ki Agen Pemanahan, meski berstatus perdikan tak sebersitpun Mataram punya niat memerdekan diri. Status quo itu baru berubah setelah Ki Ageng Pemanahan mangkat tahun 1575.

Menunjukkan kesetiaannya, Sutawijaya menuruti saran Juru Martani menghadap Hadiwijaya di Pajang melaporkan kematian ayahnya.  Oleh Hadiwijaya, Sutawijaya ditunjuk menjadi penguasa Mataram sekaligus mengingatkan agar tahun tak lupa menghadap ke Pajang setiap tahun.

Negara Kampung

Bukannya menuruti pesan Hadiwijaya, sampai di Mataram Sutawijaya justru memerintahkan orang-orangnya mulai mencetak bata untuk membangun benteng. Kesibukan itu cuma dalih Sutawijaya menghindari kewajiban menghadap ke Pajang.

Di sisi lain, meski menunjukkan sikap ngeyel, Sutawijaya tetaplah jerih menghadapi Hadiwijaya. Selain sebagai ayah angkatnya, Hadiwijaya adalah guru Sutawijaya di bidang ilmu politik dan kemiliteran. Lagi pula tak sedikitpun sikap tercela pernah ditunjukkan Hadiwijaya pada anak angkatnya itu. Untuk ini, Sutawijaya jelas banyak utang budi.

Teguh menjalankan amanat Ki Ageng Pemanahan, Juru Martani tetap tak jemu-jemu mengingatkan Sutawijaya agar menghadap ke Pajang. Ibarat masuk kuping kanan keluar kuping kiri, saran itu diabaikan tetap saja diabaikan diam-diam.

Bertindak lebih jauh, Sutawijaya bahkan mulai terang-terangan berani merongrong wibawa Pajang dengan memerintahkan orang-orang Mataram mencegat utusan Kedu dan Bagelen yang berniat mengirim upeti ke Pajang.

Mereka dibujuk singgah di Kota Gede sekaligus dijamu secara pribadi oleh Sutawijaya dalam pesta pora yang meriah. Luwesnya pendekatan Sutawijaya itu membuat pembesar-pembesar itu urung seba ke Pajang dan lebih senang mengabdi pada Sutawijaya.

Sikap kurang ajar Sutawijaya itu jelas memancing murka Hadiwijaya yang mengirim utusan ke Mataram memanggil Sutawijaya. Kepada utusannya itu, Hadiwijaya memerintahkan Sutawijaya berhenti makan dan minum serta mencukur rambut.

Terlanjur besar kepala, Sutawijaya mulai berani menunjukkan secara terbuka pembangkangannya. Jawaban pesannya sangat menjengkelkan sekaligus menunjukkan betapa nekat dan kasar watak pendiri Mataram itu.

“Katakan kepada Sultan Pajang bahwa saya masih doyan makan dan minum. Tentang perintah cukur, katakana bahwa rambut itu tumbuh sendiri. Tentang perintah seba, katakan bahwa saya akan datang menghadap.”

Kali kedua utusan Pajang yang datang adalah putra Hadiwijaya sendiri, Pangeran Benawa yang diberi purba wasesa membujuk Sutawijaya atau digempur pasukan.

Mencium gelagat buruk, Sutawijaya menyiapkan penyambutan besar-besaran kepada Benawa. Pesta berubah menjadi bencana ketika Raden Rangga, putra Sutawijaya justru menempeleng orang Tuban hingga pecah kepalanya.

Terus menerus diliput ketegangan, bagaimanapun hubungan Pajang dan Mataram tak pernah pecah menjadi perang terbuka hingga Hadiwijaya wafat.

Memunggungi Laut

Slamet Mulyana menyebut hal menarik dari Sutawijaya adalah kisah pertapaannya di muara Kali Opak di pesisir selatan Jawa. Konon dalam pertapaan itu ia bertemu Ratu Kidul yang menjanjikan bantuan setiap Sutawijaya membutuhkan.

Menurut Slamet, kisah pertapaan di Laut Selatan pada hakikatnya merupakan upaya Sutawijaya memeriksa apakah pantai-pantai itu bisa dipakai sebagai pelabuhan oleh Mataram yang sedang dibangun.

Diam-diam Sutawijaya tetaplah mengidamkan kekuatan maritim tangguh seperti era Demak dan Majapahit. Sayang,  niat itu mustahil terwujud karena gelombang Laut Hindia yang terlalu tinggi.

Pada hakikatnya perkawinan Ratu Kidul yang berkuasa di Laut Hindia dengan Sultan Mataram tak dapat dilaksanakan. Mataram tak pernah memiliki pelabuhan dan tak pernah menjadi negara maritim serta tetap terpencil di pedalaman menjadi negara agraris selamanya.

Sampai Sutawijaya menemui ajalnya pada tahun 1601, tanpa memiliki armada laut yang kuat Mataram praktis hanya menjadi penonton kapal-kapal Eropa yang lalu lalng di Laut Jawa tanpa gangguan.

Sutawijaya jelas tak mau frontal menyerobot pantai-pantai di Laut Jawa yang bagaimanapun tetap dikuasai orang-orang Cina yang merupakan pendukung Demak.

Perubahan orientasi dari bahari menjadi kampung agraris, akibat buruknya baru dirasakan penerus Mataram kelak dikemudian hari ketika gagal menjawab ujian zaman bahkan ketika berada di puncak kejayaannya..

Di masa-masa kejayaannya, meski bersifat agraris Mataram sanggup memantapkan dominasinya dengan menguasai nyaris seluruh tanah Jawa. Bahkan, beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan untuk mengakui kekuasaan Mataram dengan kekuatan senjata.

Di era Sultan Agung, terganggu kehadiran orang-orang Eropa ia dua kali mengirim tentara untuk mengepung koloni Belanda di Batavia dan gagal.

Terganjal orang Eropa di sisi barat, Mataram mengalihkan perhatiannya ke ujung timur yakni Blambangan yang belum sepenuhnya takluk. Di sisi lain, dua kali kegagalan menyerbu Batavia sudah cukup bagi Sultan Agung untuk kemudian tak lagi-lagi ‘mengusik’ orang Eropa.

Begitu juga para penerusnya, tak satupun yang berniat sungguh-sungguh mempersoalkan apalagi menantang pendatang-pendatang asing yang pelan tapi pasti mulai menguasai pesisir-pesisir dan pelabuhan-pelabuhan strategis.

Bisa dibilang, Jawa di era Mataram sepeninggal Sultan Agung adalah Jawa yang terkepung kekuasaan asing di pedalamannya sendiri.

Penerus Sultan Agung memilih ‘bersahabat’ dengan Belanda dibanding berkonfrontasi.

Di sisi lain, menggabungkan kekuatan militer dan intrik politik Belanda sukses menggerogoti Mataram sekaligus menjinakkan kerajaan itu. Kegagalan makin sempurna di era Paku Buwana II yang sakit-sakitan dan sekarat di ranjangnya.

Thomas Stanford Raffless dalam The History of Java menyebut untuk menyelamatkan suksesi keluarga, ia tak berdaya ketika ditodong tanda tangan VOC untuk menggadaikan kedaulatannya.

“Selama dirinya dan para warisnya turun dari tahta kerajaan, kekuasaan negeri ini, diberikan kepada Pemerintah Hindia Timur, dan menyerahkan kekuasaan kepada mereka untuk mengaturnya, di masa depan, kekuasaan akan diserahkan kepada orang yang mempunyai kemampuan untuk memerintah dan untuk kebaikan bagi Kompeni dan juga bagi Jawa.”

Era itu menandai Jawa yang benar-benar tamat. (TGU)