Ilustrasi: Presiden Joko Widodo di depan gerbang tol Kualanamu, Sumatera Utara/setkab.go.id

Koran Sulindo – Demikianlah tertera dalam buku Banjir dan Macet: Opini Tempo tentang Problem Jakarta, yang ditulis Tim Buku Tempo dan dirilis pada Juli 2013: meski jalan tol urusan pemerintah pusat, Gubernur DKI berhak menolak. Buku ini sendiri merupakan kumpulan artikel dari rubrik Opini majalah Tempo. Artikel yang menyinggung soal enam ruas tol dalam kota itu berjudul “Jokowi 100 Hari”, yang pernah dimuat pada majalah Tempo edisi 27 Januari 2013.

Pada artikel tersebut juga dikatakan, telah banyak studi yang menyebutkan enam ruas jalan tol yang membelah Jakarta lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat. “Tanpa kebijakan pembatasan kendaraan, penambahan jalan tol dipercaya hanya menguntungkan produsen  otomotif dan spekulan tanah.

“Sudah lama terdengar, produsen mobil telah menunggu-nunggu disetujuinya proyek raksasa itu. Jalan bertambah, mobil laku keras—dan akhirnya macet makin menggila,” demikian antara lain ditulis dalam artikel majalah Tempo itu.

Sebagai gubernur, Jokowi pun lalu memutar otak. Karena, ia telanjur menolak rencana jalan tol tersebut saat berkampanye dalam pemilihan gubernur.  Bahkan, saat baru menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi juga mengatakan, proyek jalan tol dalam kota itu tidak akan membebaskan Jakarta dari kemacetan.

“Saya ini pro kepada transportasi massal. Jalan tol itu memberikan fasilitas untuk mobil, pasti akan tetap menyebabkan kemacetan,” tutur Jokowi di Balaikota DKI, Jakarta, 7 November 2012, seperti dikutip banyak media.

Kompas bahkan menulis, Jokowi akan merealisasi pembangunan enam ruas jalan tol yang mengangkat konsep layang tersebut apabila dialihfungsikan sebagai elevated bus. “Kalau mau bangun di atas tanah, ya, bangun monorel sekalian. Kalau enam ruas jalan tol itu dibangun, jadinya kan terbentur dengan moda transportasi lainnya seperti monorel dan MRT kalau jadi. Lebih baik dipakai untuk elevated bus saja,” ujarnya, seperti dikutip Kompas pada tanggal yang sama.

Namun, Jokowi sebagai gubernur akhirnya tak menolak. “Setelah dijelaskan detailnya oleh Wakil Menteri Pekerjaan umum, kita membutuhkan dua hal yang penting, yaitu transportasi massal dan kapasitas jalan di kota Jakarta,” tutur Gubernur Jokowi, 9 Januari 2012.

Sementara itu, dalam artikel majalah Tempo di atas ditulis: ia menawar proyek enam ruas jalan tol dengan mengajukan syarat. “Ia, misalnya, meminta jalur jalan tol boleh dipakai angkutan TransJakarta. Ia juga mensyaratkan jumlah pintu masuk jalan tol dikurangi—sesuatu yang bakal menghilangkan kesempatan pengelola jalan tol menarik laba. Ia mewajibkan analisis mengenai dampak lingkungan dipenuhi. Aksinya menggelar public hearing dengan penduduk dan pemangku kepentingan lain patut dipuji sebagai upaya menyertakan orang ramai dalam pengambilan keputusan pemerintah, selain menarik dukungan dari kelompok penentang enam ruas tol,” tulis Tempo.

Lalu, setelah Jokowi menjadi presiden, Basuki atau Ahok yang menggantikan sebagai gubernur juga menyatakan penolakannya terhadap rencana pembangunan enam ruas jalan tol tersebut. Menurut Ahok, melihat kondisi Jakarta, provinsi yang ia pimpin tidak membutuhkan jalan tol.”Pembangunan enam ruas jalan tol dibatalkan. Kita siapkan rencana baru, yakni jalan arteri layang,” tutur Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, 16 Februari 2016, seperti diberitakan banyak media.

Ahok menjelaskan, Jakarta justru kekurangan jalan arteri. “Kita pikirkan, enam ruas tol kita mau ubah jadi arteri layang. Itu kan pusat yang bereskan lahan. Sementara pusat konsentrasi, duitnya ke daerah. Saya enggak suka tol dalam kota sebenarnya. Arteri kita kurang soalnya,” kata Ahok.