Jamil Dakwar. Foto: witnesstoguantanamo.com

Koran Sulindo – Amerika Serikat menarik diri dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Human Rights Council, UNHRC) pada Selasa (19/6). Langkah tersebut dilakukan sebagai protes atas tudingan dari banyak negara panel Dewan yang menyatakan AS memiliki bias yang sudah mengakar terhadap Israel.

Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley, yang berdiri bersama Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, mengatakan dengan keras bahwa tudingan tersebut semakin ngawur dalam setahun terakhir. Apalagi, kemudian, ada kesan AS merupakan “pelindung bagi para pelanggar hak asasi manusia dan menjadi tangki  penampung limbah bias politik”. Misalnya mengizinkan Kongo menjadi anggota UNHRC, bahkan ketika kuburan massa ditemukan di negara itu. Juga soal gagalnya UNHRC menangani pelanggaran hak asasi di Venezuela dan Iran.

Haley pun mengecam Rusia, Cina, Kuba, dan Mesir yang menggagalkan upaya AS mereformasi UNHRC. Bahkan, ia juga melontarkan kritik ke negara-negara yang mendukung nilai-nilai yang dijalankan AS dan meminta Washington agar tetap di UNHCR. Menurut Haley, negara-negara itu “tak mau serius melawan status quo.”

AS sendiri memang baru separo jalan di UNHRC dari periode kerja dewan utama PBB tersebut yang tiga tahun. Namun, Presiden AS Donald Trump sudah sejak beberapa bulan lampau mengancam akan menarik mundur negaranya dari dewan yang bermarkas di Jenewa itu. Nikki Haley pun telah berupaya keras melakukan titah Washington untuk merombak UNHRC, yang beranggotan 47 negara. Salah satu yang kerap diupayakan Haley adalah mempermudah aturan soal pemecatan negara dari keanggotaan UNHRC, karena memiliki catatan pelanggaran hak asasi yang tinggi.

“Lihatlah keanggotaan Dewan dan Anda melihat ketidaksenangan yang mengerikan terhadap hak manusia yang paling dasar,” ujar Haley, seperti dikutip Reuters. Fokus yang tidak proporsional dan permusuhan tanpa akhir terhadap Israel, lanjutnya, adalah bukti nyata bahwa UNHRC dimotivasi oleh bias politik, bukan oleh hak asasi manusia. Ditambahkan Haley, penarikan AS dari UNHRC “bukan langkah mundur dari komitmen untuk penegakan hak asasi manusia kami.”

Namun, penarikan diri AS dari kesepakatan multilateral seperti itu bukanlah yang pertama kali dilakukan. AS juga menolak untuk mengikuti Perjanjian Iklim Paris dan kesepakatan soal nuklir Iran pada tahun 2015 lalu.

Baru-baru ini, AS bahkan dikecam kalangan internasional karena menahan anak-anak di perbatasan AS-Meksiko, yang terpisah dari orang tuanya yang menjadi imigran. Senin lalu (18/6), Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Zeid Ra’ad al-Hussein, menyerukan Washington menghentikan ketentuan yang tak berbudi (unconscionable) itu.

Para aktivis dari kelompok-kelompok pejuang hak asasi manusia juga kerap melontarkan kritik ke Trump dan jajarannya karena tidak menjadikan hak asasi sebagai prioritas program kerja luar negerinya. Menurut mereka, itu sama saja dengan mengirim pesan bahwa AS menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia di beberapa bagian dunia.

Terkait langkah penarikan diri AS tersebut, kelompok-kelompok pejuang hak asasi telah mengirim surat kepada Menteri Luar Negeri Mike Pompeo. Isinya berupa peringatan bahwa apa yang dilakukan AS itu akan membuat upaya menggugah kesadaran dan penegakan hak asasi manusia secara global akan lebih sulit. Karena, selama berada UNHRC saja, AS di bawah Trump secara terang-terangan menjalin “hubungan mesra” dengan banyak pihak yang menjadi pelanggar hak asasi, terutama Israel.

Direktur American Civil Liberties Union’s Human Rights Program, Jamil Dakwar mengatakan, program isolasionisme salah arah yang dijalankan Trump bukan saja merugikan kepentingan Amerika Serikat. “Tapi juga mengkhianati nilai-nilai kita sebagai sebuah bangsa,”  ujarnya.

Namun, kelompok hak asasi Yahudi, Simon Wiesenthal Center, justru bersikap sebaliknya. Mereka menyambut baik sikap AS itu dan mendesak negara-negara lain untuk bersikap sama dengan AS.  [RAF]