Koran Sulindo – Seperti guntur akhir sesorah Gajah Mada dalam pelantikannya sebagai Mahapatih Amangkubmi itu benar-benar mengejutkan.
Ia bersumpah bakal berpuasa tanpa ujung demi kebesaran Majapahit.
“Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, samana ingsun amukti palapa,” suara getas menggelegar itu seketika menelikung riuh pendapa Bale Manguntur membuat suasana benar-benar tintrim.
Hening semua orang di pendapa yang sesak itu menyimak apa yang diucapkan Gajah Mada. Tak semuanya segera mencerna karena hampir semua yang hadir masih terperangah.
Mereka tak menyangka kegilaan apa yang sedang terjadi karena sumpah itu jelas tak masuk akal. Berlebihan.
Ibarat mimpi itu janji itu teramat muluk dan benar-benar tak masuk akal. Bahkan bagi mereka yang mengenal Gajah Mada.
Pararaton menulis sumpah itu diucapkan Gajah Mada pada tahun 1258 Saka atau 1336 M.
Hening itu pelan-pelan terusik ketika pecah suara tertawa yang ditahan. Ra Kembar mengikik perlahan dan langsung menulari sebelah-menyebelahnya, Jabung Krewes, Ra Banyak, Warak hingga Arya Tadah mulai tertawa.
Bahwa benar bahwa Gajah Mada adalah yang berjasa menyelamatkan Jayanagra ke Badander ketika Darmaputra memberontak. Juga benar bahwa dia yang menumpas Tanca sesaat setelah membunuh Jayanagara.
Juga ketika Keta dan Sadeng mengibarkan bendera kraman tahun 1331, ia tampil menjadi senopati yang menumpasnya. Penumpasan itulah yang membawa Gajah Mada pada jabatan mahapatih di Majapahit menggantikan Arya Tadah yang mulai uzur.
Bagi mereka yang jerih, menganggap tempat-tempat itu adalah tempat yang jauh, sangat luas, dan bahkan tidak diketahui di mana letaknya. Mengurus Jawa saja sudah menjadi kerja besar dan melelahkan bagaimana mengurus wilayah yang membentang di ujung timur matahari terbit hingga ujung barat?
Ya, hanya mereka yang tertawa karena selebihnya semua orang di balairung justru sama semangatnya Gajah Mada. Itu termasuk para prajurit-prajurit Bhayangkara hingga Prabu Putri Tribhuanatunggadewi.
Membayangkan kebesaran Majapahit sekaligus membendung pengaruh Cina dan kerajaan-kerajaan daratan Asia lainnya, Gajah Mada mengadopsi ide Mandala Dwipantara yang dicetuskan Kertanagara. Menurutnya, semua orang harus bersatu dan menjadi bagian dari yang satu itu.
Pengalaman diserbu Tartar, nusantara harus bersatu. Majapahit harus menggandeng dan memaksa wilayah-wilayah dari Onin di ujung timur hingga Tumasek di ujung barat menjadi satu persatuan dan kesatuan. Dan jikamana perlu dengan kekuatan.
Muhammad Yamin, Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara menulis Ra Kembar dan Ra Banyak dengan terus terang mengatakan tak mempercayai sumpah Gajah Mada dan terus memaki-maki dengan perkataan yang kasar.
“Jabung Krewes dan Lembupeteng tertawa-tawa mengejek Gajah Mada yang dianggapnya sombong dan tinggi hati,” kata Yamin.
Gajah Mada memulai Sumpah Palapa dengan mereka yang meremehkannya, Ra Kembar ditantang duel dan mati di tengah alun-alun.
Slamet Mulyana menyebut kematian Kembar dan Banyak tak semata-mata soal pelecehan pada Sumpah Palapa yang diikrarkan Gajah Mada. Mereka sebelumnya memang sudah bertikai dengan sengit.
“Itulah kesempatan baik untuk melampiaskan dendamnya kepada Kembar yang mendahului pengepungan Sadeng. Hal tersebut dianggap sebagai suatu dosa terhadap Gajah Mada,” tulis Slamet dalam Menuju Puncak Kemegahan. “Kemenangan atas Keta dan Sadeng memberikan ilham untuk menjalankan politik Nusantara.”
Politik dan Ekonomi
Tentu saja saat mengucapkan Sumpah Palapa itu Gajah Mada tidak asal saja menyebut daerah-daerah itu. Semua wilayah tersebut merupakan daerah yang secara hati-hati dipilih dan mempunyai makna bagi penting bagi politik dan ekonomi Majapahit.
Bali yang dimaksud Pararaton adalah tempat berdiri Kerajaan Balidwipamandala yang beribukota di Singhadwala dengan penguasa Dinasti Warmadewa dari abad ke 8 hingga 10. Sementara Sunda di Jawa bagian barat yang dikenal sebagai tempat berdirinya kerajaan tertua yakni Tarumanagara di abad ke-4.
Tanjungpura masuk menjadi target Gajah Mada karena wilayah di Kalimantan itu pernah berdiri Kerajaan Kutai kuno dengan rajanya Mulawarmman di abad ke-4 sementara Palembang di Sumatra adalah bekas pusat kedudukan Sriwijaya yang berkembang di abad ke-8.
Menaklukkan daerah-daerah itu, Gajah Mada ingin menegaskan klaim bahwa Majapahit adalah pewaris sah dari kerajaan-kerajaan terdahulu.
Sementara itu, penyebutan Pahang dan Tumasik jelas menunjukkan niat Gajah Mada untuk menguasai rute dagang strategis sekaligus menetralisir pengaruh Cina.
Di sisi lain, Haru di Sumatra bagian utara merupakan salah satu simpul dagang di wilayah barat Nusantara yang memudahkan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Jambhudwipa atau India.
Dompo masuk menjadi target karena daerah ini merupakan wilayah penghasil cendana, sebuah komoditas yang sangat dibutuhkan dalam berbagai ritus keagamaan dan laku keras di luar Nusantara.
Sementara itu Seran dan pulau-pulau di sekitarnya sejak merupakan penghasil rempah-rempah yang dalam abad ke-14 mulai dicari dan diminati oleh para pedagang India untuk dikirim ke kawasan Timur Tengah dengan harga yang tinggi.
Setelah menyingkirkan para penentangnya di lingkaran dalam Majapahit, Gajah Mada memulai pengiriman ekspedisi ke luar Jawa dengan Pabali di era Tribuanatunggadewi. Sumber-sumber Bali menyebut ekspedisi Majapahit itu berangkat ke Bedahulu pada tahun 1343 yang dipimpin langsung Gajah Mada dan Pu Aditya.
Armada ini mendarat di pantai utara, timur, dan daerah pantai selatan Bali. Dari sanalah mereka berjalan kaki menyerang ibu kota Bali Kuno yang kemungkinan terletak di wilayah Gianyar sekarang. Hanya setelah peperangan lama dan melelahkan Bali akhirnya tunduk juga. Tak hanya ke Bali, Majapahit juga mengirim tentara ke Dompo.
Perluasan Mahapahit selanjutnya adalah mengincar wilayah di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga, Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Menggantikan ibunya, Hayam Wuruk melanjutkan kebijakan ekspansif Majapahit dan terus mengirim pasukan ke timur hingga tahun 1357. Beberapa daerah yang menjadi tujuan ekspedisi itu adalah Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar atau Saparua, Solor, Bima, Wandan atau Banda, Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Majapahit juga mengirim armada laut ke Swarnnabhumi, Bintan, Tumasik dan Semenanjung Malaya.
Abdullah bin Abdulkadir al-Munsyi dalam kitab Sejarah Melayu mencatat pengiriman tentara Majapahit ke Tumasik. Mereka berhasil menundukkan daera itu karena penghianatan salah seorang pembesar Tumasik yang bernama Rajuna Tapa.
Slamet Mulyana menyebut berkat Rajuna Tapa itulah Majapahit mengetahui kelemahan-kelemahan Tumasik. Setelah peperangan usai dan Tumasik mengakui kewibawaan Majapahit, konon Rajuna Tapa menuai kutukan negeri dan berubah menjadi batu di tepi sebuah kali di Singapura. Rumahnya roboh, dan beras simpanannya menjadi tanah.
Mitreka Satata
Selain mengirimkan kekuatan militer, Majapahit juga memperkuat wilayahnya dengan berbagai macam kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain.
Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama menyebut di era kejayaan Majapahit di bawah Hayam Wuruk, terdapat beberapa negara mitra satata di luar Nusantara, selain daerah-daerah yang telah mengakui Majapahit.
Pupuh 15 Nagarakrtagama menyatakan sebagai berikut; “nahan lwir ning di antara kacaya ri narapati tuhun tang syangkovad dapura kimutang dharmanagari, marutma mwang riang rajapura nguniweh singhanagari, campa, kambonyanyat i yawana mitreka satata.”
Di antara negara-negara yang bersekutu Majapahit dan dianggap sebagai Mitreka Satata dengan Majapahit itu adalah Syangka di Thailand, Dharmanagari di Kedah, Marutma, Campa, Kambonyanyat di Kamboja dan Yawana di Annam.
Bersama dengan Majapahit keedelapan negara itu bersama- terikat dalam suatu persahabatan kekal atau Mitreka Satata.
Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Pemikiran inilah yang diduga menjadi alasan Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi, putri Kerajaan Sunda sebagai permaisuri.
Secara umum sejarawan menyepakati konsep pembagian kekuasaan Majapahit secara kewilayahan. Wilayah Majapahit terbagi menjadi empat yakni negaragung, mancanegara, nusantara dan mitreka satata.
Negaragung merupakan wilayah ibukota Majapahit yang merupakan wilayah inti Majapahit sementara mancanegara umumnya dijalin dalam hubungan berbentuk vassal atau pernikahan.
Pada wilayah ini, Majapahit yang memiliki kepentingan biasanya menempatkan birokrat dan militer dengan tujuan memperkuat diri dan kerajaan setempat.
Sementara itu nusantara merupakan wilayah ekspansi Majapahit namun tetap memiliki otoritas luas tanpa penempatan birokrat dan militer Majapahit. Beberapa daerah itu tetap dikenakan pajak untuk Majapahit.
Mitreka Satata merupakan wilayah aliansi Majapahit dengan tetap mengakui kedaulatannya dan tak pernah melakukan intervensi politik. Secara umum luas wilayah Nusantara dan mitreka satata dinamis dan berubah-ubah.
Masa Surut
Mpu Prapanca dalam Nagarakartagama menggambarkan administrasi pemerintahan langsung oleh Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali. Di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka.
Tapi bagi segala pemberontakan atau tantangan pada Majapahit atas daerah tersebut bakal memicu reaksi sangat keras.
Beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit mengirim armada lautnya untuk menumpas pemberontakan di Palembang pada tahun 1377.
Sumber dari Kronik Cina dari era Dinasti Ming bercerita tahun 1377 Suwarnabhumi diserbu tentara Jawa. Menurut berita itu, putra mahkota Suwarnabhumi tak berani naik tahta tanpa bantuan dan persetujuan kaisar Cina sementara di sisi lain ia jerih dengan Raja Jawa.
Meski tentara Jawa mencegat dan membunuh utusan Cina yang mengantar surat persetujuan pengangkatan putra mahkota itu. Kaisar Cina tak melakukan tindakan apapun terhadap pada Jawa. Bagi mereka tindakan balasan tidak bakal ada gunanya.
Menurut Slamet Mulyana, merujuk tahun penyerbuan itu bisa dipastikan Raja Jawa yang dimaksud adalah Hayam Wuruk. Penyerbuan itu dipicu pengiriman utusan Suwarnabhumi ke Cina tanpa izin. Bagi Majapahit tindakan itu adalah pelanggaran.
Mencapai puncaknya di abad ke-14, kejayaan Majapahit berangsur-angsur turun menyusul mangkatnya Hayam Wuruk di tahun 1389. Sejak saat itu Majapahit terus dirongrong konflik perebutan takhta.
Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani yang menikahi sepupunya sendiri, yakni Wikramawardhana. Di sisi lain, Hayam Wuruk memiliki seorang anak dari istri selirnya yakni Wirabhumi.
Tuntutan Wirabhumi atas tahta inilah yang kemudian memicu perang saudara yang dikenal sebagai Perang Paregreg pada tahun 1405-1406. Meski Wirabhumi kalah dan dipancung, perang saudara ini benar-benar melemahkan Majapahit pada daerah-daerah taklukannya.
Di sisi lain, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin Cheng Ho, jenderal muslim Cina beberapa kali tiba di Jawa pada periode 1405 hingga 1433.
Sejak tahun 1430, Cheng Ho bahkan telah menciptakan komunitas muslim Cina dan Arab di beberapa kota pelabuhan utama di pantai utara Jawa seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel. Wilayah-wilayah inilah yang menjadi pijakan Islam di masa-masa berikutnya.
Memerintah hingga tahun 1426, Wikramawardhana digantikan putrinya, Ratu Suhita yang berkuasa tahun 1426 sampai 1447.
Suhita adalah putri kedua Wikramawardhana dari selir yang merupakan putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya yang memerintah hingga 1451.
Bre Pamotan menggantikan menjadi Raja setelah Kertawijaya mangkat dan bergelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan dan mangkat tahun 1453.
Akibat krisis pewarisan takhta, tahta Majapahit sempat kosong hingga tiga tahun sebelum akhirnya Girisawardhana, anak Kertawijaya naik takhta pada 1456 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana 1466.
Dua tahun kemudian pemberontakan kembali terjadi ketika Kertabhumi mengangkat senjata melawan Singhawikramawardhana.
Kalah bersaing dari Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana melarikan diri ke pedalaman Daha di Kadiri dan melanjutkan pemerintahan dari tempat itu.
Singhawikramawardhana digantikan putranya Ranawijaya pada tahun 1474 dan berhasil mengalahkan Kertabhumi empat tahun kemudian sekaligus kembali mempersatukan Majapahit.
Sementara perang saudara terus melemahkan Majapahit, di pantai utara Demak makin kuat. Candrasengkala yang tertulis pada ‘Gapura Bajang’ berbunyi sirna ilang kretaning bumi menandai masa-masa akhir Mahapahit.
Candrasengkala yang berarti ‘sirna hilanglah kemakmuran bumi’ itu menunjuk kronogram 0041 yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Sebenarnya, yang digambarkan candrasengkala adalah waktu gugurnya Bhre Kertabumi raja ke-11 Majapahit oleh Girindrawardhana.(TGU)