Koran Suluh Indonesia Volume 11 Tahun III, 28 Mei - 10 Juni 2018

Koran Sulindo – Sila-sila dalam Pancasila adalah satu kesatuan, tak bisa dipisah-pisahkan, lima serangkai. Kelima sila tersebut harus secara simultan menjadi bahan pertimbangan pertama dan utama dalam membuat peraturan atau keputusan apa pun dalam kehidupan bernegara dan berbangsa di Republik Indonesia. Karena, Pancasila adalah dasar negara, landasan bernegara dan berbangsa.

Konsekuensinya: sebuah undang-undang, peraturan, atau keputusan lain yang dibuat penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) tak bisa dibuat hanya mempertimbangkan satu atau beberapa sila saja dari Pancasila. Dari sila pertama sampai sila kelima harus sekaligus dijadikan pedoman. Bahkan, pertimbangan itu pun sudah semestinya juga dilakukan oleh perangkat negara seperti kepala desa.

Meski sebenarnya merupakan hal yang mendasar, banyak pembuat keputusan di negara ini seakan melupakan fase yang sangat penting itu. Banyak peraturan dan keputusan yang dibuat tak mencerminkan adanya pertimbangan tersebut. Dan, yang sering kali ditinggalkan adalah sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Itu sebabnya ketidakadilan sosial seolah terus melekat pada garis tangan bangsa ini sejak beberapa puluh tahun lampau. Secara statistik, grafiknya memang naik-turun. Namun, tetap saja ketidakadilan atau ketimpangan itu masih sangat kasat mata.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada penurunan angka ketimpangan sosial-ekonomi (rasio gini) setiap tahun sejak 2014. Tahun 2017 lalu, rasio gini Indonesia pada masih di angka 0,391.

Kalau dilihat dari angka itu, ketidakadilan atau ketimpangan sosial yang terjadi di negara ini belum tergolong parah. Tapi, menurut ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, yang dinyatakan BPS itu adalah angka ketimpangan pengeluaran, bukan ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan. BPS hanya menghitung rasio gini berdasarkan pengeluaran yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jelaslah, ungkap Faisal, ketimpangan pengeluaran lebih rendah tinimbang ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan.

“Karena perbedaan konsumsi orang terkaya dibandingkan konsumsi orang termiskin cenderung jauh lebih kecil dibandingkan perbedaan pendapatan dan kekayaannya,” tulis Faisal dalam blog resminya.

Credit Suisse Global Wealth Report 2016 pun mengungkapkan, 50% kekayaan nasional di Indonesia dan Brazil dikuasai 1% masyarakat kaya di masing-masing negaranya. Lalu, pada akhir Februari 2017 lalu, International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) bersama Oxfam juga merilis laporan ketimpangan di Indonesia: 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari 100 juta penduduk termiskin. Menurut Infid, ketimpangan itu bukan saja memperlambat pengentasan kemiskinan, tapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan dapat menimbulkan gejolak sosial.

Bulan Juni ini adalah Bulan Pancasila, Bulan Bung Karno sang Penggali Pancasila, marilah kita sama-sama merenungi amanat Bung Karno dalam pidatonya yang diberi tajuk “Menemukan Jiwa Revolusi Kita”. Pidato itu adalah Pidato Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1959. Demikian petikannya.

“Liberalisme meracuni kesadaran sosial kita itu, individualismenya meretakkan dan merekahkan semua kohesinya persatuan kita, kegotong-royongan kita, keholopiskuntulbarisan kita, sehingga kita menjadi satu bangsa yang penuh dengan kankernya daerahisme, kankernya sukuisme, kankernya multiparty-isme, kankernya golongan-isme, dan lain-lain. Individualisme, itu musuh terbesar daripada ide keadilan sosial, menyelinaplah ke dalam kalbunya bangsa Indonesia, bangsa Indonesia yang dari dulu terkenal sebagai satu bangsa gotong-royong, dan yang di dalam revolusi fisik memang benar-benar bersikap sebagai satu bangsa yang kompak bergotong-royong.

“Bagaimana kita bisa membangun satu masyarakat keadilan sosial kalau individualisme merajalela di dalam kalbu kita? Oleh karena itu, perlu sekali kita sekarang mengadakan satu herordening sosial, agar supaya dapat terlaksanalah apa yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar ’45 pasal 33 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” [PUR]