Syaikh Nawawi al-Bantani

Koran Sulindo – Mekah, di paruh kedua abad 19, bagaikan “jantung kehidupan” bagi peradaban dan ilmu pengetahuan Islam di seluruh dunia. Selain sebagai tujuan ibadah haji, di masa itu Mekah menjadi pusat  penghasil utama ulama, bersamaan dengan kemunculannya sebagai tujuan belajar umat Islam.

Kekuasaan Syarif Usman, penguasa Mekah yang representasi Kesultanan Ottoman Turki yang menguasai tanah Hijaz waktu itu, mendorong tumbuhnya iklim intelektual yang kondusif dimana ulama dari berbagai mazhab hukum Islam yang berbeda-beda dapat hidup.

Situasi ini didukung pula perkembangan transportasi laut (dibukanya Terusan Suez dan produksi massal kapal uap) membuat para imigran dari penjuru dunia berdatangan ke kota suci umat Islam itu. Mereka mengisi hampir setengah penduduk Mekah yang mencapai 150.000 jiwa di masa itu. (Burhanudin 2012: 113).

Para ulama dari negeri-negeri Islam pun kemudian mendirikan halaqah (lingkaran pengajaran) di Masjidil Haram bagi rekan-rekan setanah-air mereka yang datang ke Mekah untuk menunaikan haji dan menuntut ilmu. Sedikitnya ada 120 halaqah di Mekah waktu itu, tempat para ulama mengajarkan kepada muridnya berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam.

Tidak terkecuali kalangan komunitas Jawi—kaum muslim yang berasal dari Hindia-Belanda dan kawasan Asia Tenggara lainnya– di kota suci umat Islam tersebut. Pengalaman komunitas Jawi menghadirkan bukti-bukti munculnya persepsi baru tentang Timur Tengah, khususnya Mekah, di tengah-tengah muslim Nusantara.

Mereka yang belajar Islam bermula dari haji, yang menjadi bagian inheren di dalamnya. Mekah tidak lagi dimaknai sebagai pusat spiritual bagi kekuasaan politik bagi kerajaan-kerajaan di Nusantara, tapi mulai dimaknai sebagai pusat pembelajaran ilmu-ilmu keislaman.

Di akhir abad 19 inilah komunitas Jawi menemukan bentuknya, dengan puluhan halaqah yang tersebar di penjuru Mekah. Christian Snouck Hurgronye, dalam salah satu tulisannya, menggambarkan fenomena itu:

“Hampir semua (ulama yang mengajar di Tanah Suci mencapai posisi demikian tinggi karena semata-mata belajar di Mekah…. Karir orang-orang terdidik ini kemudian membentuk bagian sangat penting dari sejarah koloni Jawi, dan menjadi karakteristik utamanya, karena banyak rakyat duduk bersimpuh di kaki mereka seraya memandangnya telah mencapai cita-cita tertinggi dari usaha mereka”.  

Benih pembentukan komunitas ulama Jawi itu sebenarnya disemai para ulama asal Nusantara di abad 17 (seperti Nuruddin Al-Raniri, Abdul Rauf al-Sinkili, dan Muhammad Yusuf Al Maqassari) serta di abad 18 (Syaikh Abd al-Shamad al-Palimbani, Kemas Fakhr al Din, Syihab al Din, dan Muhammad Arsyad al Banjari).

Tradisi itu dilanjutkan pula oleh ulama-ulama Jawi yang bermukim di Mekah pada awal abad 19, seperti: Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, dan Syaikh Ahmad bin Zaid.

Yang paling berpengaruh dari ulama Jawi di abad 18 itu adalah Syaikh Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789). Tokoh ini lahir di Palembang, dari ayah seorang sayid (berasal dari Sana’a, Yaman) dan ibu berdarah Palembang. Sejak kedatangannya di Mekah, al-Palimbani belajar dari ulama-ulama terkemuka Mekah di masa itu.

Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII atau XVIII:

“Mengingat jenis ulama dengan siapa dia belajar, pendidikan al-Palimbani sangat tuntas, dia pasti mempelajari ilmu-ilmu seperti hadis, fikih, syariat, tafsir, kalam, dan tasawuf. Al-Palimbani tampaknya mempunyai kecenderungan kuat terhadap mistisisme, dan jelas mempelajari tasawuf terutama dengan al-Sammani, yang darinya dia juga mengambil tarekat Khalwatiyah dan Sammaniyah”. (Azra 2013: 325)

Sejak kedatangannya di Mekah, Syaikh Abd al-Shamad al-Palimbani tidak pernah pulang ke tanah kelahirannya. Meski begitu, ia tetap menaruh perhatian besar terhadap Islam dan kaum muslimin di wilayah Indonesia. Bersama ulama Jawi semasanya, ia juga aktif berkecimpung dalam komunitas Jawi di Mekah dengan mengajar dan menulis cukup banyak kitab.

Karya al-Palimbani yang paling terkenal adalah kitab Fadha’il al-Jihad, yang menguraikan keutamaan-keutamaan perang suci menurut Al-Qur’an dan Hadits. Kitab itu juga mewajibkan bagi kaum muslim melancarkan perang suci melawan kaum kafir, terutama kaum penjajah kolonial.

Al-Palimbani mengakhiri kitab Fadha’il al-Jihad dengan sebuah doa pendek yang akan membuat kaum mujahidin (orang-orang yang melakukan jihad) kebal tak terkalahkan. (Azra 2013: 374)

Kitab Fadha’il al-Jihad ini kemudian disiarkan lewat murid-murid al-Palimbani di berbagai wilayah Nusantara, dan kemudian menginspirasi kaum muslim untuk berjihad melawan kolonialisme Belanda. Hikayat Perang Sabil, syair penyemangat untuk para pejuang saat Perang Aceh (1873-1904), juga terinspirasi dari Fadha’il al-Jihad.

Komunitas Jawi Makin Kukuh

Di paruh kedua abad 19, tokoh yang berperan penting dalam perkembangan komunitas Jawi di Mekah itu adalah Syaikh Nawawi al-Bantani(1813-1897) dan muridnya, Syaikh Mahfudz Tremas (1868-1919).

Syaikh Nawawi al-Bantani lahir di Tanara, sebuah desa di Banten, tahun 1813. Ia diasuh kedua orangtuanya dalam pendidkan Islam yang taat. Terutama dari ayahnya, Umar bin Arabi –seorang penghulu yang masih keturunan Sultan Maulana Hassanuddin, yang termasyhur di abad 17- Nawawi memperoleh dasar-dasar ilmu keislaman yang mumpuni.

Sebagaimana tradisi santri, Nawawi muda juga belajar berkeliling kepada ulama-ulama terkemuka setempat. Sejak mua, ia memang haus akan ilmu keislaman. Untuk memenuhi dahaga akan ilmu itu, di usia 15 tahun, Nawai melakukan ibadah haji dan menuntut ilmu ke Hijaz.

Di sana ia berguru pada ulama-ulama besar di Makkah dan Madinah. Tiga tahun kemudian, ia pulang kampong ke halamanny. Dia berbekal ilmu keislaman yang diperoleh di Hijaz, Syaik Nawawi mengabdikan diri mengajar para santri di tanah kelahirannya.

Syaikh Nawawi al-Bantani kembali menetap di Mekah pada tahun 1855, hingga akhir hayatnya (di tahun 1897). Ia menjadi salah seorang ulama Jawi yang paling terkenal di Haramain. Kali ini, ia belajar kepada sejumlah ulama terkenal di Haramain dan Mesir.

Diantaranya: Syekh Ahmad Nahrawi, Syaikh Sayyid Ahmad Al-Dimyati, Syaikh Sayyid Ahmad Dahlan, Syekh Abdul Hamid al-Digitstani. Sehingga pemikirannya juga banyak dipengaruhi ulama-ulama Mesir. Di Madinah ia belajar kepada Syaikh Muhammad Khatib Al-Hambali, ia juga belajar kepada sejumlah ulama Syiria

Beliau juga belajar kepada ulama Nusantara yang mukim di Mekah, antara lain: Syaikh Ahmad Khatib Sambas dan Syaikh Abdul Ghani Bima. Kemudian antara tahun 1860-1870, Syekh Nawawi mengajar di Masjidil Haram, sambal dalam waktu senggang menulis buku-buku. Baru, setelah tahun 1970 ia memusatkan aktifitasnya untuk menulis kitab-kitab berbagai ilmu keislaman. Hing

Kemasyhuran Syaikh Nawawi al-Bantani meluas di seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar tertutama di negara-negara yang menganut paham syafi’iyyah. Kitab tafsirnya Marah al-Labid yang terbit di Kairo sangat terkenal dan diakui ketinggian mutunya karena memuat persoalan-persoalan penting hasil diskusi perdebatannya dengan ulama-ulama Al- Azhar. Pada kitab tafsir cetakan Kairo itu dipajang julukan namanya” Sayyid Ulama Hijaz”.

Ketika kitab tafsir ini dicetak pada tahun 1887, tafsir ini masih diajarkannya lansung kepada murid-muridnya, yang kelak menjadi ulama-ulama terkemuka di Nusantara, seperti: KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Khalil Bangkalan, Madura, KH. Asnawi dari Caringin.

Dalam pengantarnya Nawawi mengatakan bahwa ia butuh waktu lama membangun keberanian untuk menulis tafsir ini sekalipun dorongan yang bertubi-tubi datang dari berbagai pihak. Ia khawatir terjerumus pada ancaman Nabi yang mengatakan “barang siapa berbicara tentang Al-Qur’an dengan ra’yunya, maka silahkan mengambil tempat di neraka”.

Setelah berhasil membangun keberanian, Nawawi akhirnya memutuskan untuk menulis tafsir ini. Ia menyebutnya sebagai upaya meneladani para ulama’ salaf yang senantiasa  menulis dan membukukan pemikiran-pemikirannya.

Menurut Johns, Syekh Nawawi menggunakan metode tafsir tradisional yang banyak memakai hubungan (munasabat) ayat dengan ayat atau surat dengan surat yang terdapat dalam Alqur’an. Marah Labid diakui memberikan kontribusi kepada kekayaan intelektual di dunia Islam.

Berkaitan dengan tradisi pesantren di Nusantara, Nawawi memilki kedudukan istimewa dalam kaitan perkembangan intelektual dan produksi ulama. Kitab-kitabnya sangat terkenal dan menjadi sumber bagi pembentukan diskursus Islam berbasis pesantren. Beberapa diantaranya masih menjadi bahan penting bagi pengajaran di pesantren.

Mengikuti jejak gurunya, Syaikh Mahfudz Tremas—kelahiran Desa Tremas, Pacitan, di tahun 1868—menghabiskan hidupnya di Mekah, memberi pengajaran terutama kepala ulama Jawi di halaqah di Masjidil Haram.

Ia juga menjadi guru spiritual para ulama pesantren. Meski dikenal sebagai ahli hadits—terutama hadits Buhkhari—Mahfudz Tremas juga memiliki pengetahuan mendalam dalam ilmu tafsir, fiqh, tasawuf, dan sebagainya.

Murid-muridnya tidak hanya berasal dari Nusantara, tapi juga dari negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Selatan (terutama India). Kemashyuran Syaikh Mahfudz Tremas tampak ketika ia wafat, di tahun 1919, ribuan kaum muslim menshalatkan dan mengantarkan jenasahnya ke sebuah pemakaman keluarga di Mekah. Pesantren yang didirikannya di Tremas, Pacitan, tercatat sebagai salah satu pesantren tertua di Indonesia, dan hingga kini masih berdiri.

Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Mahfudz Tremas diakui berperan penting dalam proses transmisi Islam di Nusantara. Mereka juga meletakkan dasar bagi terciptanya jaringan ulama di Jawa dan wilayah lain di Nusantara, yang kemudian berkembang menjadi komunitas ulama. Selain membangun pesantren, komunitas ulama Jawi ini memiliki hubungan kuat dalam bidang spiritual maupun intelektual.

Kemunculan kaum reformis  

Menjelang akhir abad ke-19, Mekah dan Madinah—yang telah lama menjadi pusat model pengajaran tradisional pesantren—mulai berubah. Terutama Mekah telah didominasi oleh pemikiran kaum reformis yang menentang beberapa praktek ajaran-ajaran sufi. Ide-ide baru dimenangkan oleh Jamal al-Din al-Afgani dan Muhammad Abduh di Mesir, dan ulama-ulama Wahabi di Mekah.

Dan menjelang wafatnya Syaikh Nawawi al-Bantani, muncullah Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabauwi (1855-1915) sebagai pemimpin komunitas Jawi di Mekah. Ahmad Khatib tiba di Mekah tahun 1876, tak lama selepas ia menamatkan Kweekschool di Bukittinggi.

Seperti anggota komunitas Jawi lainnya, ia bergabung dengan halaqah. Di kota suci ia terutama belajar dari keluarga Syatta dari Mesir yang tinggal di Mekah, dan yang paling berpengaruh dalam membentuk pengetahuan Islamnya adalah Abu Bakar Syatta.

Ketika belajar dari Abu Bakar Syatta inilah Ahmad Khatib sempat bertemu dengan Snouck Hurgronye yang tengah melakukan studi mendalam tentang Islam dan komunitas Jawi di Mekah (1885-1886). Tapi, saat itu sosoknya belum menarik perhatian Hurgronye.

Baru setelah Ahmad Khatib berada di puncak karirnya di akhir abad 19, karya dan kiprahnya membetot perhatian Hurgronye. Orientalis berkebangsaan Belanda ini segera membaca karya-karya Ahmad Khatib yang ditulis dalam bahasa Arab– yang tidak saja menggambarkan potret intelektual dan pengetahuan keislaman yang luas, tapi juga keterlibatan aktifnya dalam persoalan-persoalan umat Islam di Hindia-Belanda, terutama di Minangkabau. (Burhanudin 2012: 244)

Setelah Syaikh Nawawi al-Bantani wafat, Ahmad Khatib pun menggantikan kepemimpinan posisi Nawawi di komunitas Jawi. Sikap dan ekspresi intelektual Ahmad Khatib berbeda dengan Nawawi: ketimbang menulis syarah dari kitab-kitab Arab standar—seperti yang dilakukan Nawawi—ia menulis karya-karya yang orisinal.

Ia juga terlibat dalam masalah-masalah keislaman yang diperdebatkan di Minangkabau dan Hindia-Belanda. Ia mendedikasikan karya tulisnya untuk merespon isu-isu keislaman aktual yang terjadi di masa itu.

Di tangan Ahmad Khatib spirit Islam Mekah yang berorientasi syariat meningkat, hingga terwujud dalam sikapnya yang tidak mengenal kompromi terhadap apa yang dianggapnya berlawanan dengan prinsip-prinsip syariat.

Dalam kitab al-Minhaj al-Mashru, dengan jelas Ahmad Khatib mengkritik adat Minangkabau, yang digambarkannya sebagai adat pra-Islam (jahiliyah) dan karenanya bertentangan dengan ajaran Islam. Ia bahkan menganggap praktik adat itu telah menggiring masyarakat Minangkabau sebagai orang-orang yang tidak beriman.

Melalui karya-karya tulisnya itu, peranan Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabauwi meningkat, tidak hanya sebagai pengajar di Masjidil Haram juga mendapat otoritas sebagai seorang mufti. Komunitas Jawi di Mekah lebih memilih meminta fatwa kepada mufti Jawi mereka (Ahmad Khatib) daripada kepada mufti resmi mazhab Syafii di Mekah.

Lewat murid-muridnya yang telah menjadi ulama modernis terkemua di Minangkabau—seperti Haji Rasul (Abdul Karim Amrullah), Syaikh Muhammad Jamil Jambek, dan Haji Abdullah Ahmad– pemikiran Ahmad Khatib membentuk jaringan ulama dan intektual modernis di Indonesia. Murid lainnya, Haji Ahmad Dahlan, kemudian mendirikan Muhammadiyah—organisasi Islam modernis utama di Indonesia yang masih bertahan hingga saat ini.

Meski begitu, sebagian murid-muridnya tetap menjadi ulama dan pemimpin terkemuka di kalangan Islam tradisional, seperti Syaikh Sulaiman ar-Rasuli (salah seorang ulama terkemuka kaum tua/kaum adat di Minangkabau) dan Kiai Haji Hasyim Asyari.

Dari kisah diatas, jelaslah jaringan komunitas ulama Jawi di Mekah yang telah disemai di abad 17 dan abad 18, dan menemukan bentuknya yang kukuh di akhir abad 19, telah mempengaruhi perkembangan syiar Islam di masa-masa selanjutnya.

Bahkan, telah menginsipirasi perlawanan terhadap kolonalisme Belanda dan pergerakan kebangsaan di Indonesia.(Satyadarma)