Bob Freeberg Pilot RI-002 Dakota. Hilang pada tanggal 1 Oktober 1948

Koran Sulindo – Di Filipina setelah Perang Dunia II bagaimanapun pekerjaan adalah pekerjaan. Itu bisa berarti tak perlu banyak pertanyaan agar mendapatkannya.

Itu juga yang terjadi pada dua mekanik di Manila saat menerima tawaran Bob Freedberg untuk sebuah uji terbang. Mereka juga tak banyak tanya meski tahu bahwa tak lazim uji terbang dilakukan malam hari.

Keduanya juga tak banyak tanya ketika sekali mengudara pesawat itu langsung tancap ke selatan dan baru mendarat empat jam kemudian di Labuhan mengisi ulang bahan bakar.

Ya, meski mereka tahu dibodohi, namun ‘bau’ petualangan di depan hidung jelas berhasil mengalahkannya. Selebihnya mereka memang menaruh kepercayaan pada pilot muda ini.

Mereka langsung paham, itu adalah dark flight alias penerbangan gelap tanpa catatan dan jadwal.

Masalah justru baru timbul ketika harus membaca arah. Dengan peta satu banding sepuluh juta di tangan Bob, Pulau Jawa ukurannya tak lebih dari sepuluh sentimeter.

Menganggap Karimun di Laut Jawa sebagai Bawean, Bob terbang ke barat hingga tiga ratus kilometer lalu berbelok ke selatan memotong Jawa. Sial, sampai daratan habis di pantai selatan, Bob gagal menemukan kota tujuannya.

Jeremy Allan dalam Ghostwriting the Dead menulis berpikir masih jauh ke timur dari posisinya yang sebenarnya, Bob mengarahkan pesawatnya ke barat mencari landmark yang bisa dikenalinya.

Ketika bahan bakarnya kerontang, hamparan pasir di pantai selatan dipilih untuk pendaratan daruratnya. Dakota C-47 versi militer dari DC-3 itu mulus menyusur pasir dan berhenti tanpa goresan.

Pasir pantai yang didarati Bob adalah Cikalong di Tasikmalaya. Dan itu masih ratusan kilometer dari tujuannya. Di tangki bahan bakar hanya tersisa beberapa liter saja.

Membuka pintu kargo belakang dan melihat keluar Bob berteriak kepada orang-orang yang perlahan-lahan muncul dari di balik pepohonan. “Kapten Petit Muharto, Jogjakarta!”

Di tempat yang sama sekali asing, kalimat itu menjadi pilihan paling masuk akal dan berharap seseorang bakal mengerti dan memahami maksudnya.

Ya, tujuan Bob terbang jauh-jauh dari Manila memang ke Yogyakarta dan Petit Muharto adalah temannya.

Lahir di daerah pertanian yang sepi di kota kecil Mc Cune di Kansas tahun 1921, orang tua Robert Earl Freeberd adalah pendatang keturunan Swedia.

Dituntun jiwa petualangnya, ia mendaftarkan diri pada Angkatan Laut dan memulai karirnya sebagai pilot Amerika ketika pecah perang Pasifik.

Ketika perang berakhir, Bob tak mau pulang ke Kansas dan memutuskan tetap menjadi penerbang. Ia meneken kontrak beberapa bulan Commercial Air Lines Inc (CALI) sebelum akhirnya membeli pesawat dan mendirikan maskapainya sendiri.

Di kalangan teman-temannya, Bob dipanggil dengan hormat sebagai Fearless Freeberg.

Mencari Lisensi

Mengikuti ajakan pengusaha keturunan Cina yang meluaskan bisnisnya, KSAU Soerjadi Suryadarma mengizinkan salah satu anak buahnya Petit Muharto pergi ke Australia.

Di negeri itu, Petit berencana menambah wawasan sekaligus meraih lisensi penerbangan sebanyak-banyaknya.

Suryadarma juga sepakat, kepergian itu berstatus cuti panjang dengan gaji Petit bakal diterimakan pada ibunya.

Menggunakan pelayaran barter, mereka menggunakan jalur laut menuju Singapura dari Pelabuhan Cirebon. Ketika akhirnya mereka sampai di Singapura, masalah menghadang. Tanpa selembarpun dokumen kewarganegaraan, niat Petit ke Australia jelas tak mungkin terwujud. Lagipula bertambah hari, omongan si Tan tentang Indonesia makin tak enak di telinga Petit.

Meski resminya cuti, dengan blokade Belanda mencekik republik Petit tak bisa berleha-leha. Ia merayu pilot-pilot veteran AS dan maskapai sipil yang banyak mangkal di Singapura agar mau terbang ke Yogyakarta. Tentu saja iming-imingnya uang

Di sinilah Petit kenal Bob yang kala itu masih terbang untuk CALI dan berteman.(TGU)