Koran Sulindo – Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta hari ini melemah sebesar 35 poin menjadi Rp14.028, dibanding posisi sebelumnya Rp13.993 per dolar AS.
Posisi rupiah ini terendah sejak Desember 2015, atau sekitar 28 bulan terakhir. Kondisi ini terjadi sejak akhir April lalu.
Pada perdagangan sore ini, rupiah ditutup melemah 51 poin, atau 0,36% di posisi Rp14.052 per dolar AS. Sepanjang hari ini, rupiah terus bergerak melemah
Baca juga: Rupiah Terus Melemah, Terendah Sejak Desember 2015
Namun Bank Indonesia (BI) menilai peluang penguatan nilai tukar rupiah masih terbuka.
“Dari sisi kondisi domestik yang terjaga,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Waluyo, di Jakarta, Selasa (8/5/2018), seperti dikutip antaranews.com.
Belum Ganggu APBN
Sementara itu Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, menilai pengelolaan APBN belum terganggu dengan pelemahan nilai tukar rupiah.
“Kalau dari sisi pengelolaan APBN, tidak ada hal yang mengkhawatirkan,” kata Suahasil di Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Pergerakan nilai tukar rupiah saat ini mulai menjauhi asumsi yang ditetapkan dalam APBN 2018 yang sebesar Rp13.400 per dolar AS.
Penurunan kurs rupiah membuat beban subsidi maupun pembayaran bunga utang naik.
“Kalau kita net antara pengeluaran dan penerimaan, efeknya masih lebih tinggi ke penerimaan,” kata Suahasil, di Jakarta, Selasa (8/5/2018), seperti dikutip antaranews.com.
BI
Sementara ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, menilai pemerintah harus menjaga stabilitas harga BBM, listrik dan pangan untuk tetap mampu mengendalikan inflasi, terutama menjelang tren konsumsi tinggi di Ramadhan.
BI juga dimintanya tidak perlu ragu untuk menaikkan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo sebesar 25-50 basis poin, jika tekanan terhadap rupiah terus deras. Jika suku bunga acuan naik, maka imbal hasil instrumen keuangan di Indonesia akan meningkat. Hal itu yang bisa menahan arus modal keluar sehingga pelepasan aset rupiah bisa tertahan.
“Cadangan devisa akan terus tergerus untuk stabilisasi nilai tukar. BI tidak bisa andalkan hanya cadangan devisa sebagai satu-satunya instrumen menstabilisasi nilai tukar,” kata Bhima.
Hingga akhir Maret 2018, cadangan devisa Indonesia sebesar 126 miliar dolar AS atau turun 2,06 miliar dolar AS dari jumlah pada Februari 2018.
Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan ruang penyesuaian suku bunga acuan terbuka jika pelemahan nilai tukar rupiah menimbulkan ancaman kepada stabilitas sistem keuangan atau membawa ancaman kepada tercapainya sasaran inflasi di 2,5-4,5 persen.
Dalam posisi sekarang, ruang fiskal perekonomian Indonesia terbatas, meski masih tetap bisa membayar utang jatuh tempo.
Berdasarkan data BI, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yg jatuh tempo di 2018 mencapai 9,1 miliar dollar AS yang terbagi menjadi 5,2 miliar dollar AS utang pokok sementara 3,8 miliar dollar AS sisanya adalah bunga.
Selain itu, depresiasi rupiah itu juga menaikkan biaya impor, karena baik bahan baku, barang modal dan barang konsumsi yang sebagian besar menggunakan kapal asing akan membutuhkan dolar sebagai biaya logistik.
“Ini pasti semakin membebani industri domestik. Sementara daya beli sedang lesu, jadi penjual tidak akan sembarangan naikan harga barang,” kata Bhima. [DAS]