Koran Sulindo – Saat Amerika, Inggris dan Prancis membom Suriah atas klaim mendukung rakyat negeri itu pada kenyataannya buta terhadap kesengsaraan bencana kemanusiaan di Gaza.
Dukungan serupa tak berlaku bagi warga Gaza karena penjajahnya adalah Israel, sekutu dekat Barat sekaligus si pembuat masalah di Timur Tengah.
Barat dan komunitas internasional mengabaikan pendudukuan keji sepanjang tujuh dekade Israel sekaligus memamerkan standar ganda mereka yang telanjang.
Ketika Israel menepuk dada membanggakan diri sebagai satu-satunya negara demokrasi di Timur Tengah, bencana kemanusiaan di Gaza justru membuktikan bahwa Israel adalah negara rasis dan penuh kekerasan.
Butuh berapa lama lagi sebelum seluruh dunia bangun untuk mengambil tindakan mengakhiri rasisme dan kekerasan Israel baik di Gaza maupun Tepi Barat sekaligus membiarkan mereka pulang dengan bebas.
Sepanjang tiga minggu terakhir ini, ribuan orang-orang Palestina berkumpul di sepanjang pagar yang memisahkan Jalur Gaza dari bagian lain Palestina sebagai bagian protes “The Great March of Return” yang tengah berlangsung.
Sejauh ini gerombolan penembak jitu dan tentara Israel telah menewaskan sedikitnya 34 orang sekaligus melukai sedikitnya 1.500 warga Palestina sejak 30 Maret, ketika gelombang protes dimulai.
Bagaimanapun serangan itu hanya salah satu dari sekian banyak serangan Israel selama beberapa dasawarsa terakhir yang mengubah Gaza menjadi sebuah ghetto dan penjara terbuka terbesar di dunia.
“The Great March of Return” adalah pernyataan paling berani dari orang-orang di Gaza untuk kembali ke tanah dan rumah mereka. Gerakan itu menjadi sangat penting karena mengingatkan dunia yang melupakan bahwa mereka ada.
Ini adalah pengorbanan besar rakyat Palestina yang masih harus menghadapi intimidasi atau ditahan atas tuduhan rasisme, kekerasan dan kebohongan yang dilakukan Israel dan media arus utama Barat.
Bahwa mereka menuntut hak mereka atas kekuatan kolonial yang didanai dan dipersenjatai demokrasi Barat yang secara munafik mengutuk paham kemanusiaan negara-negara yang ingin mereka gulingkan.
“Mereka semua dibayar oleh Hamas, mereka semua terhubung dengan Hamas,” kata Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman dalam sebuah wawancara merujuk pada ribuan orang Palestina yang berpartisipasi di Great Return March.
Selama wawancara radio itu, Lieberman juga mengklaim bahwa tidak ada orang yang tidak bersalah di Gaza, yang berarti bahwa Israel melihat lebih dari satu juta anak-anak yang tinggal di Gaza juga bersalah atas kejahatan dan pantas dihukum.
Jauh sebelum Lieberman membuat pernyataan itu, Israel telah meracik formula hubungan-publik yang membenarkan ide itu sekaligus dan membenarkan pembunuhan rakyat Palestina secara teratur dan sistematis.
Rumus itu sangat sederhana sehingga sulit dipercaya cara kerjanya, militer menjatuhkan bom dari udara, tank dan mortir ke rumah-rumah, atau infanteri menembak penduduk sipil, lantas mengklaim bahwa sasarannya mereka adalah ‘teroris’.
Kelompok hak asasi manusia asal Israel, B’Tselem menggelar kampanye bertajuk “Maaf Komandan, Saya Tidak Dapat Menembak” menghadapi rencana protes damai memperingati Nabka Day atau Hari Bencana.
Pengunjuk rasa bakal melakukan pawai damai di sepanjang 28 mil perbatasan Israel dengan beberapa diantaranya berniat mencegah beraksinya penembak jitu Israel dengan membuat penghalang asap dan pantulan cermin.
Hari Bencana merujuk peristiwa berdirinya negara Israel pada 17 Mei 1948 yang secara brutal ditandai dengan pemindahan paksa tiga perempat juta warga Palestina oleh milisi Israel.
“Kami menerbitkan iklan surat kabar di Israel dengan judul ‘Maaf Komandan, saya tidak bisa menembak’ yang menjelaskan kepada tentara bahwa mereka harus menolak menembaki demonstran tak bersenjata di Gaza,” tulis kelompok itu di akun twitternya.
Menurut B’Tselem, kampanye itu dilakukan untuk mencegah terulangnya insiden penggunaan peluru tajam yang membunuh 17 orang Palestina sepanjang pekan lalu.
“Seperti semua negara lain, tindakan Israel harus tunduk pada ketentuan hukum internasional dan pembatasan yang mereka kenakan pada penggunaan senjata, dan khususnya penggunaan peluru tajam,” tulis kelompok itu.
Protes pekan lalu merupakan yang terbaru dalam serangkaian aksi protes non-kekerasan yang direncanakan selama enam minggu untuk memperingati perampasan tanah rakyat Palestina.
Protes dimulai tanggal 30 Maret di sepanjang perbatasan Israel-Gaza dengan demonstrasi harian yang dijuluki sebagai The Great March of Return. Aksi itu disikapi Israel dengan menempatkan penembak jitu untuk menghentikan warga Palestina menembus perbatasan. (TGU)