Koran Sulindo – Di antara bangsa-bangsa lain di Eropa, orang-orang yang berdiam di dataran rendah tepi Samudera Atlantik yang miskin sumber daya itu tak pernah dianggap penting. Tanpa wilayah pertanian, orang-orang di sana secara alami menggantungkan penghidupannya sebagai pedagang.
Karena secara politik dan militer lemah, mereka selalu menjadi bulan-bulanan tetangga-tetangganya yang lebih kuat. Negeri itu adalah Belanda.
Sejarah mencatat, tak satupun sosok unggulan atau tokoh militer yang menorehkan prestasi gemilang di medan perang. Di masa lalu maupun masa sekarang. Mereka dikenal terlalu pengecut di medan perang manapun.
Di masa Perang Dunia ke II, seperti dalam perang besar sebelumnya mereka langsung menyatakan netralitasnya. Adolf Hitler tidak perduli, dan Belanda tetap diserbu.
Begitu Roterdam jatuh, pasukan Belanda langsung menyerah dan seluruh negeri takluk sementara pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan kabur ke pengasingan di London.
Akibat kekalahan itu, Belanda menjadi ‘jajahan’ Jerman hingga mereka menyerah pada Sekutu di bulan Mei 1945. Perlawanan hanya dilakukan segolongan kecil pejuang, sementara sejarah mencatat tingkat kolaborasi Belanda paling tinggi dibanding negara Eropa lain yang dikuasai Jerman.
Tak jauh beda dengan kelakuan di negeri induk, orang-orang Belanda di Hindia juga tak kalah pengecutnya. Ketika gelombang bala tentara Dai Nippon menyapu Asia Tenggara, tak ada usaha strategis untuk mempertahankan koloni yang selama beradab-abad telah memberi mereka kekayaan dan kemakmuran.
Jangan membayangkan tentara Belanda berperang seperti kisah heroik pejuang Sparta membendung serbuan Persia, yang didengar orang justru cerita kepengecutan mereka yang tunggang langgang kabur dari pos pertahanan menghindari pertempuran.
Setelah Tarakan, Balikpapan, Minahasa hingga Ambon, Pontianak dan Banjarmasin jatuh, Jawa benar-benar di ujung tanduk. Ketika Jepang menyerbu Batavia tanggal 5 Maret menyusul kemudian serbuan ke Bandung 8 Maret, Belanda langsung mundur ke Kalijati dan menyerah tanpa syarat hari itu juga.
Pengecut, dan kisah itu tak lebih merupakan pengulangan sejarah 131 tahun sebelumnya ketika Inggris menyerbu Jawa.
Melawan Inggris
Di daratan Eropa, Napoleon Bonaparte yang tengah berada di puncak kejayaannya membawa Prancis pada perang besar melawan tentara gabungan Inggris, Prusia, dan Rusia. Belanda yang takluk, berada di sisi Prancis melawan Inggris.
Tak hanya di negara induk, perang juga merembet ke semua wilayah koloni mereka. Pertempuran besar juga terjadi di Austerlitz, Laut Trafalgar, delta Sungai Nil di Mesir hingga di Batavia.
Di bawah Gubernur Jenderal Lord Minto yang berkedudukan di Kalkuta, Inggris berniat menyerang Jawa yang dianggapnya sebagai benteng terakhir Prancis-Belanda.
Jauh-jauh hari sebenarnya Gubenur Jenderal Herman Willem Daendels yang pro-Prancis sudah mengantisipasi serangan ini. Ia memperbaiki jalan dari Anyer-Panarukan untuk kepentingan pengiriman logistik, pertahanan dan mobilisasi pasukan sekaligus membangun pabrik senjata di Surabaya dan Semarang.
Di Batavia, Deandels membangun benteng Meester Cornelis yang dilengkapi parit sedalam tiga meter dengan lebar empat meter dari Matraman ke selatan hingga Stasiun Jatinegara.
Menggantikan Daendels, pertahanan Jawa dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens dengan 18.000 pasukan campuran dari Prancis, Belanda dan milisi lokal.
Janssens terkenal karena kekalahannya dari Inggris dalam Pertempuran Blaauwberg di Afrika Selatan tahun 1806. Konon, ketika Napoleon mengirimnya ke Jawa sudah mendapat peringatan yang tidak menyenangkan, “Ketahuilah, tuan, bahwa seorang Jenderal Prancis tidak pernah mendapatkan kesempatan kedua.”
Lord Minto mengirim dua armada yang berangkat dari Madras di pantai timur India pada 18 April 1811 dan dari Kalkuta pada tanggal 21 April. Kedua armada itu tiba di Malaka pada tanggal 1 Juni dan bergabung dengan tentara dari Divisi Bengal.
Total kekuatan armada penyerbu menjadi 11.960 prajurit setelah 1.200 lainnya diturunkan di Malaka.
Sebelumnya, Inggris sudah mengirim skadron kapal perang yang telah malang melintang di Laut Jawa mengganggu armada Prancis dan Belanda. Pada tanggal 23 Mei 1811 di bawah komando kapal HMS Sir Francis Drake menyerang armada 14 kapal Belanda di lepas Surabaya dan menangkap sembilan dari mereka. Di Merak, mereka menyerang dan menghancurkan benteng pertahanan pada 30 Juli.
Pada hari yang sama HMS Procris menyerang enam kapal perang Belanda menangkap lima di antaranya dan menenggelamkan kapal keenam. Skadron-skadron kapal perang itu kemudian rendeveus dengan kapal-kapal pendarat di perairan Batavia.
Mereka mengirim Kolonel Mackenzie untuk mengintai pantai dan menyarankan tempat pendaratan di Cilincing yang kala itu merupakan sebuah desa nelayan yang tak berpenjaga 19 km di sebelah timur Batavia lama.
Armada itu berlabuh di Sungai Marandi pada 4 Agustus, dan mulai mendaratkan pasukan menjelang siang.
Tempat pendaratan tersebut benar-benar tak disangka Belanda hingga hampir enam jam berlalu sebelum pasukan gabungan Prancis-Belanda mulai memberikan perlawanan. Terlambat, karena Ingris telah mendaratkan lebih dari 8.000 tentara.
Gagal mencegah pendaratan, Janssens mundur ke Batavia dengan pasukannya yang berjumlah antara 8.000 dan 10.090 orang. Mereka merencanakan konsentrasi pertahanan di Benteng Cornelis Mesteer.
Bumi Hangus
Alih-alih mempersiapkan pertahanan tangguh di Batavia, Janssens justru mengandalkan iklim tropis dan penyakit untuk melemahkan tentara Inggris. Mereka menerapkan taktik bertahan bumi hangus dan membakar gudang logistik dan merusak fasilitas umum seperti gedung dan jembatan.
Taktik pengecut ini meninggalkan berkarung-karung kopi dan peti rempah yang berceceran menjadi sasaran penjarahan.
Janssens membayangkan Inggris bakal cepat menyerah pada endemik malaria, dan dengan gampang ditembaki. Ia bahkan menambahkan tindakan-tindakan absurd dengan memerintahkan membiarkan minuman-minuman beralkohol tetap di rumah-rumah yang ditinggalkan dan berharap tentara Inggris membiarkan diri mereka mabuk kehilangan kesadaran. Sayangnya, harapan Janssens jauh dari kenyataan.
Menyusuri persawahan melewati Tanjung Priok dan Ancol, tentara Inggris mencapai Batavia lama pada tanggal 8 Agustus dan menemukan kota itu kosong tanpa pertahanan.
Di Batavia, permukiman Belanda membentuk perkembangan linier yang mengalir ke daratan dari muara Sungai Ciliwung dan membangun garnisun modern Weltevreeden yang berjarak delapan kilometer dari benteng Meester Cornelis.
Dua hari berikutnya, Inggris mengirim 1.500 tentaranya untuk menyerbu Weltevreeden. Sekali lagi, tempat itu kosong dan hanya mendapati perlawan tak berarti. Orang-orang Belanda telah kabur dan berkubu di benteng Cornelis Meester sebagai pertahanan terakhir. Weltevreeden adalah pangkalan ideal bagi Inggris untuk mengepung Fort Cornelis.
Meester Cornelis adalah benteng yang tangguh dengan 280 meriam berat diapit ke barat oleh Sungai Ciliwung yang berkelok-kelok, dan ke timur dengan saluran dalam yang disebut Slokan. Sementara wilayah pedesaan di sekitarnya merupakan gabungan jurang, perkebunan, menyerupai tanah hop dan hanya bisa dilalui oleh satu rombongan.
Pada tanggal 14 Agustus, Inggris menyelesaikan pembabatan hutan dan perkebunan lada untuk memungkinkan membawa senjata berat dan amunisi untuk menyerbu benteng dari utara.
Sementara tentara Inggris bersusah-payah membangun kubu-kubu mereka, tentara Belanda tak melakukan apapun untuk menghambatnya. Mereka hanya bertahan secara pasif sambil membombardir kedudukan Inggris sesekali. Selebihnya, hari-hari dijalani dengan normal bahkan di malam hari mereka tetap tidur nyenyak tak seperti dalam keaddan berperang.
Melarikan diri
Ketika akhirnya Inggris melancarkan serangan dadakan pada tengah malam 25-26 Agustus, mereka mengirim unit-unit kecil untuk menyerang benteng dari segala penjuru. Termasuk serangan ke ke Slokan dari sisi timur yang anggap merupakan titik terlemah.
Belanda langsung kocar-kacir dan sisi timur benteng jatuh sebelum matahari terbit. Gerak maju sedikit terhambat ketika beberapa perwira Prancis meledakkan dirinya dengan tong mesiu.
Dampak dari pengorbanan itu dramatis itu dicatat seorang perwira Inggris, Mayor William Thorn yang menggambarkan dalam The Conquest of Java, “Tanah dipenuhi mayat-mayat yang hancur dan kaki-kaki dan musuh-musuh yang tercecer, tercampur bersama dalam ‘persaudaraan’ yang mengerikan.”
Ketika matahari meninggi, hampir bisa dipastikan kejatuhan Meester Cornelis saat tentara Inggris melintasi Slokan dan melumpuhkan perkubuan di sisi timur dalam pertempuran jarak dekat.
Serangan itu langsung meruntuhkan moril tentara Belanda yang segera melarikan diri ke selatan melalui hutan menuju Buitenzorg. Tak membiarkan musuhnya kabur begitu saja, tentara Inggris terus mengejar. Dasar pengecut, hanya kurang dari sepuluh mil tentara Inggris berhasil mengumpulkan sedikitnya 5.000 tentara yang menyerah.
Seorang perwira Napoleon yang terkejut dengan kelakuan tentara Belanda mencatat kejadian tersebut saat ia diseret menjadi tawanan Inggris.
“Dengan perasaan malu dan marah, saya melihat lebih dari satu perwira Belanda menginjak-injak cockade Prancis-nya, yang ia telah bersumpah setia atasnya dengan skandal ketidaktaatan dan bersumpah untuk meyakinkan orang Inggris, ‘Saya bukan orang Prancis, tapi orang Belanda.”
Lord Minto yang mengunjungi medan perang keesokan harinya mengaku ngeri dengan akibat pertempuran di Meester Cornelis. “Jumlah korban tewas dan jumlah kematian yang mengejutkan ini tidak dibayangkan.”
Sebenarnya, Inggris di Meester Cornelis mencapai kemenangan dengan biaya sangat minimal dengan 630 tentara tewas sementara di dalam benteng mereka menemukan setidaknya 1.000 orang tewas dan lebih banyak lagi yang terbunuh dalam pengejaran oleh kavaleri Inggris.
Dikejar terus bahkan hingga ke Bogor, Janssens terus melarikan diri ke timur hingga ke Semarang sambil mengumpat-umpat karena bantuan cadangan dari kraton Jawa yang diharapkan tak datang tepat waktu.
Di Semarang, pasukan cadangan itu ditempatkannya di kaki Gunung Ungaran yang dianggapnya bakal menjadi pertahanan kedua Hindia. Ia sesumbar, “Meskipun orang-orang pergi, saya saya tidak akan pernah menyerah.”
Sayang, sesumbar itu nyatanya jauh dari kenyataan. Hanya dengan sekali tembakan meriam, 1.200 tentara cadangan di bawah Pangeran Prang Wedono yang membantu Janssen langsung bubar dan tanggal 16 September, Salatiga jatuh ke tangan Inggris.
Hanya ditemani beberapa gelintir tentaranya, Janssens akhirnya menyerah dua hari kemudian dalam Kapitulasi Tuntang.
Kapitulasi itu menyebutkan bahwa Belanda menyerahkan semua daerah kekuasaannya kepada Inggris, dan meminta semua tentara dan pegawai boleh menjadi pegawai Inggris.[TGU]
Baca juga: