Kamp tawanan zaman Hidnia Belanda di Boven Digul.

Koran Sulindo – Tak ada segumpal awan pun. Udara siang itu benar-benar cerah. Matahari seutuhnya bekuasa dengan sinarnya yang memantul langsung di rerumputa, dedaunan pepohonan, batu, dan sungai.

Seperti berabad-abad sebelumnya, sungai hari itu juga mengalir deras seperti biasa. Beberapa anak ramai bermain perahu dan beberapa lainnya hanya mandi di tepian yang penuh kerikil dan pasir hitam.

Itu Sungai Digul di Tanah Merah Boven dan almanak menunjuk tanggal 8 April 1928. Tepat genap setahun pada hari itu, “neraka” tersebut menjadi rumah bagi orang pergerakan kemerdekaan yang dibuang gubernur jenderal kolonial Belanda.

Beberapa orang dewasa juga ramai meriung. Tampak Mangoenatmodjo di anatara mereka. Dia turun ke sungai membawa piring-piring, panci, dan alat-alat masak lain, bekas makan besar dua hari sebelumnya. Ada yang memancing dan mendapat seekor buaya. Itu memang menu makan besar mereka: daging buaya.

Sebenarnya, jatah ransum yang “orang buangan” itu tak terlalu buruk-buruk amat, selalu ada rondvlees, ikan sardin, kornet, bruinenbonen, dan beberapa makanan pelengkap lainnya. Tapi, memang, ikan dan daging segar tak termasuk daftar.

Begitulah. Mangoenatmodjo, dibantu beberapa teman senasibnya, menyembelih buaya hasil pancingan itu sekaligus mengolahnya menjadi makanan berbumbu lumayan lengkap. Jadi, ketika turun ke kali untuk mandi, Mangoenatmodjo memang berniat sekaligus mencuci piring-piring dan alat dapur yang kotor.

“Mbah, hati-hati, di hilir ada seekor buaya kuning sedang berenang ke hulu,” teriak dua orang anak berperahu ketika melewati tempat Mangoenatmodjo. Dua anak itu adalah Parno dan Darsono.

“Biar, biar saja, wong daging buaya juga enak,” jawab Mangoenatmodjo.

Benar saja, tak perlu menunggu lama, ketika Darsono yang mengemudikan perahu menoleh ke belakang, dia sunguh-sungguh terkejut. Buaya kuning itu tengah mengangkat kepalanya, sementara tubuh Mangoenatmodjo terlihat jelas melintang di mulutnya.

Kontan saja, Parno dan Darsono lintang pukang sambil berteriak-teriak meminggirkan perahu dan naik ke darat. “Mbah Mangoen diterkam buaya, Mbah Mangoenn diterkam buaya….”

Seperti ditumpahkan, penduduk Tanah Merah yang tak seberapa jumlahnya itu berlarian ke tepi sungai. Beberapa membawa parang atau panah, sementara sepasukan KNIL bersenjata juga datang tergopoh-gopoh.

Dor…, dor…, dor…. Berulang letusan terdengar, air menciprat ketika peluru menghantam muka sungai.

Buaya kuning yang ganas itu sebentar-sebentar mengangkat kepalanya ke permukaan air, namun segera menyelam lagi. Aman. Peluru bedil sepertinya tak cukup membunuh buaya ganas itu.

“Bung Suro, pinjam belatinya,” kata Darsono, ini Darsono yang lain. Bukan Darsono yang bocah berperahu yang takut dan berteriak-teriak itu.

Dengan belati di tangan, meski berperawakan kecil, Darsono yang asli Semarang ini gerakannya gesit. Dia memang jago renang dan sekaligus ahli silat. Hanya bercelana pendek, dia berenang ke arah buaya di tengah sungai dan langsung menungganginya, mirip cerita Joko Tingkir mengendarai bajul saat menuju Demak.

Dari punggung buaya itu, Darsono tak kalah ganas menghujamkan belati pinjaman itu berkali-kali ke tubuh buaya. Tak cuma punggung, belati juga merobek-robek perut buaya malang tersebut hingga akhirnya mati lemas.

Beramai-ramai orang menarik buaya malang itu ke pinggir sungai. Luar biasa, jenazah Mangoenatmodjo masih berada di mulut buaya. Menggunakan pikulan, mulut buaya itu dipaksa membuka untuk mengeluarkan tubuh Mangoenatmodjo.

Ya, Mangoenatmodjo meninggal tanggal 8 April 1928 dan dimakamkan di pemakaman ujung Kampung B, satu-satunya tempat pemakaman di Tanah Merah Digul. Belakangan, di pemakaman itu juga ditanam tubuh Aliarcham, Marco Kartodikromo, dan Entol Enoh tokoh pemberontakan di Banten.

Begitulah cerita Tri Ramidjo mengenang meninggalnya Mangoenatmojo, yang diabadikan dalam Kisah-Kisah dari Tanah Merah. Ramidjo yang lahir di Kutoardjo, Jawa tengah, 27 Februari 1926 itu dibawa orang tuanya ke Digul saat masih bayi. Dia adalah anak Kiai Dardiri Ramidjo dan Nyi Darini Ramidjo. Mereka dibuang ke Digul karena dituding terlibat pemberontakan komunis melawan pemerintah Belanda pada tahun 1926. Dardiri dan Darini masih sepupuan dan merupakan cucu Kiai Hasan Prawiro, pengikut setia Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa pada tahun 1825-1830.

Lalu, siapa Mangoenatmojdo yang garis tangannya berakhir di mulut buaya ganas Sungai Digul?