Mendagri Tjahyo Kumolo/Kemendagri.go.id

Koran Sulindo – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan siap melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el).

“Dengan Putusan MK dalam pengujian undang-undang (UU) Adminduk terkait pengosongan kolom agama yang dikabulkan oleh MK maka Kemdagri akan melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat,” kata Tjahjo dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (7/11).

Menurut Mendagri, hal ini berimplikasi bahwa bagi warga negara yang menganut aliran kepercayaan dapat dicantumkan pada kolom agama di KTP elektronik.

Putusan MK ini bersifat konstitusional bersyarat yaitu:
“Menyatakan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’,”

Artinya kata ‘agama’ dimaknai termasuk ‘kepercayaan”.

“Kemendagri akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan untuk mendapatkan data kepercayaan yang ada di Indonesia. Kemdagri melalui Ditjen Dukcapil akan memasukkan kepercayaan tersebut ke dalam sistem administrasi kependudukan,” kata Tjahjo.

Ia menuturkan, setelah data kepercayaan diperoleh maka Kemendagri memperbaiki aplikasi SIAK dan aplikasi data base serta melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia (514 kabupaten dan kota).

“Kemdagri akan mengajukan usulan perubahan kedua UU Adminduk untuk mengakomodir putusan MK dimaksud,” kata Tjahjo.

Diskriminatif

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa penghayat kepercayaan bisa ditulis di kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Hal ini diputuskan oleh MK setelah mengabulkan gugatan sejumlah warga penghayat kepercayaan.

Warga penghayat kepercayaan ini menggugat Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Kedua pasal itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat, di Gedung MK di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (7/11).

Dalam pertimbangan hukumnya, lanjut Arief, MK menilai ada perlakuan tidak adil dan berbeda antara penganut agama yang diakui di Indonesia dengan penganut kepercayaan. Menurut Arief, perlakuan tidak adil pun menimbulkan perlakuan diskriminatif.

“Pembatasan hak a quo justru menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penghayat kepercayaan sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon. Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, maka pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antarwarga negara merupakan tindakan diskriminatif,” katanya.

Menurut Arif, ketika penganut kepercayaan tidak masuk dalam terminologi “agama”, maka hal tersebut tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama kepada warga negara di hadapan hukum. Penganut kepercayaan juga sulit masuk dalam kolom KTP dan KK. [CHA]